Paroki St. Yohanes Rasul Wonogiri
  • Home
  • Profil Paroki
  • Katekese
  • Pelayanan
  • Berita Paroki

Pelayanan

Merawat Jiwa-Merawat Raga

10/23/2021

1 Comment

 
Oleh Markus NIBS
Setiap tanggal 10 Oktober kita selalu diperingati sebagai hari Kesehatan Mental Dunia. Menurut WHO, tujuan umum peringatan hari Kesehatan Mental Sedunia adalah kita diingatkan untuk meningkatkan kesehatan mental atau jiwa. Merawat kesehatan mental maka kita menyamakan proses itu dengan merawat kesehatan tubuh secara fisik. Bahkan, dapat dikatakan bahwa keluhan yang muncul dapat memicu masalah kesehatan fisik. Sehingga, tema yang sering ditawarkan dalam hari Kesehatan Mental  Sedunia adalah selalu menyoroti pentingnya mewujudkan perawatan kesehatan bagi diri sendiri. Hal ini ditekankan karena menjadi sehat secara mental maka seseorang bisa menjadi sejahtera dan mampu mewujudkan serta mengembangkan potensi dirinya.
 
Secara detail, WHO menjelaskan definisi Kesehatan Mental sebagai “kondisi sejahtera secara psikologis dengan ciri yaitu seseorang mampu menyadari kemampuannya secara utuh, mampu menyelesaikan masalah sehari-hari, mampu bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi bagi lingkungan di sekitarnya”. Menurut Sartorius, konsep sehat mental dipahami sebagai keseimbangan antara fisiologis atau fisik, mental atau psikologis, sosiokultural, spiritual, dan faktor personal antarindividu, orang lain, dan lingkungan. Berdasarkan pemahaman konsep tersebut, kesehatan mental merupakan pondasi dasar bagi kesejahteraan psikologis karena memiliki fungsi efektif bagi seseorang baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam lingkungan, seperti keluarga, sekolah, sosial masyarakat, dan pekerjaan.
 
Kesehatan mental dan isu kerentanannya merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Hal ini dikarenakan isu kerentanan kesehatan mental ini bisa terjadi pada siapa saja dan kelompok mana saja, baik itu anak-anak, remaja, dewasa, lansia, pekerja, bahkan seseorang yang memelajari ilmu psikologi sekalipun. Ada satu cerita ketika seorang kawan berkeluh kesah bahwa dia sebenarnya sedang mengalami stres karena tuntutan pekerjaan yang menumpuk dan masih ditambah dengan situasi masalah dalam keluarganya. Hanya saja, kemudian ia tertawa karena ia mengatakan bahwa untungnya ia sempat belajar mengenai ilmu psikologi. Sehingga, ia masih merasa menjadi pribadi yang cukup sehat dan mampu mengendalikan situasi yang dialaminya.
 
 
Berkaca dari isu kesehatan mental, kerentanan, dan kasus seorang kawan di atas, lantas bagaimana kita mengetahui bahwa seseorang itu sehat secara mental atau dikatakan menjadi pribadi yang sehat?
 
Dalam ringkasannya, Schultz mengatakan bahwa orang yang mempunyai mental dan pribadi yang sehat adalah orang yang secara psikologis mampu mengetahui diri mereka secara mendalam. Artinya, orang-orang ini menyadari dan memahami diri mereka sendiri, yaitu mampu menyadari kekuatan, kelemahan, kebaikan, dan keburukan diri sendiri, dan pada umumnya sabar serta dapat menerima hal tersebut dengan lapang dada. Orang-orang ini juga mengetahui batasan dirinya, artinya tahu kecukupan bagi dirinya seperti apa. Karena sehat, mereka juga mampu membuat keputusan dan dapat menghargai serta menjaga kesehatan mentalnya. Satu hal yang paling penting adalah, seorang yang mempunyai mental dan pribadi yang sehat, dapat mengetahui dan memahami bahwa dalam situasi dan pengalaman hidupnya juga tidak berarti tanpa masalah. Mereka menyadari bahwa hidup mereka pun juga memiliki masalah, namun bedanya, orang yang sehat  selalu berusaha untuk mengelola dan mengatasi masalahnya dengan tepat dan selalu yakin bahwa “bantuan selalu ada” .. bagaimanapun bentuk, wujud, dan caranya.
 
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara kesehatan mental tetap terjaga dan tetap menjadi pribadi yang sehat? Ada beberapa hal yang dapat dilakukan supaya kesehatan mental tetap terjadi dan senantiasa menjadi pribadi yang baik.
 
Pertama. Kemampuan menjadi diri sendiri. Orang yang mampu menjadi diri sendiri tidak berkeinginan untuk menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Meskipun seseorang itu dapat memainkan peran sosial untuk memenuhi tuntutan orang lain atau situasi di sekitarnya, namun mereka tidak mengacaubalaukan peranan ini dengan diri mereka yang sebenarnya. Contohnya adalah seorang pengajar yang dalam situasi di lingkungan akademisnya memang harus mempunyai citra berwibawa, tetapi bukan berarti lalu selalu menjaga citra kewibawannya tersebut secara berlebihan; misalnya kemudian tidak malu untuk jajan di angkringan, mau berjalan kaki  untuk tujuan yang dekat, hanya memakai sandal jepit berharga murah, memberikan layanan secara tulus, membantu tetangga yang sedang membutuhkan. 
 
Kedua. Hidup di masa kini. Secara umum disetujui bahwa sifat kesehatan psikologis adalah bersandar kuat dengan masa sekarang atau saat ini.  Orang yang sehat secara mental dan psikologis tidak hidup di masa lampau bahkan masih merasa menjadi korban dari konflik masa lalu. Orang yang sehat secara psikologis mampu menyadari bahwa saat ini ada yang bisa dilakukan. Orientasi pandangan masa depan juga menjadi penting, tetapi tidak mengganti masa sekarang dengan masa depan. Artinya, orang yang hidup di masa kini adalah orang yang terus menyadari dan menaruh perhatian pada kehidupan yang terus menerus berlangsung dengan segala dinamikanya. Misalnya, dalam hidup terus mengupayakan adanya kebaikan dengan berorientasi bahwa hal itu akan membawa dampak yang positif. Contoh yang paling mudah adalah berbuat baik, minimal memberikan suatu senyuman, sapaan, atau bertanggung jawab pada tugasnya.
 
Ketiga. Orang yang sehat secara psikologis ternyata juga membutuhkan stress atau tekanan dari suatu tuntutan tertentu. Namun bedanya, apa yang dibutuhkan adalah tentunya stress yang positif. Maksudnya adalah, orang yang sehat secara psikologis tidak merindukan suatu ketenangan dan kestabilan belaka. Karena perlu disadari bahwa hidup penuh dengan dinamika, bahkan di setiap harinya. Dalam hal ini, orang yang sehat mentalnya atau psikologisnya, selalu rindu akan tantangan dan kegembiraan dalam hidup berupa tujuan dan pengalaman baru. Orang yang demikian selalu menyadari bahwa masalah pasti ada, tetapi dapat melihat bahwa masalah itu bukanlah sebagai hambatan, rintangan, atau halangan, namun sebagai suatu tantangan. Dapat diibaratkan bahwa situasi ini seperti kalau mau naik wahana roller coaster di arena hiburan. Roller coaster dilihat sebagai sarana untuk meluapkan kegembiraan bukan sebagai sesuatu yang menakutkan sehingga tidak berani untuk mencoba.
 
Maka dari itu, marilah kita menjadi orang yang selalu bisa mengupayakan untuk menjaga kesehatan jiwa, mental, serta raga kita. Tuhan memberkati. (ng102021, dari berbagai sumber).
1 Comment
universitas muhammadiyah surabaya link
4/10/2023 09:47:24

artikel yang sangat bagus..

Reply



Leave a Reply.

    Categories

    All
    Devosionalia
    Kumpulan Doa Katolik
    Ruang Kaca
    Sekretariat Paroki

Site powered by Weebly. Managed by Rumahweb Indonesia
  • Home
  • Profil Paroki
  • Katekese
  • Pelayanan
  • Berita Paroki