Berikut adalah kolom untuk bertanya pada Romo. Silakan menulis nama dan pertanyaan di kolom komentar. E-mail dan website dikosongkan saja apabila tidak punya.
15 Comments
Puncta 18 Juni 2025
Rabu Biasa XI Matius 6:1-6.16-18 Dunia ini panggung sandiwara. Ceritanya mudah berubah. Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani. Setiap kita dapat satu peranan yang harus kita mainkan. Ada peran wajar, ada peran berpura-pura. Mengapa kita bersandiwara. Mengapa kita bersandiwara. Lirik lagu Achmad Albar itu menceritakan bahwa dunia ini sekarang menjadi panggung untuk pamer apa saja. Setiap orang bisa mengunggah segala aktivitasnya. Bahkan aktivitas sosial dan rohani bisa dipamerkan di akun-akun pribadinya agar dilike banyak orang. Melakukan derma atau sumbangan sosial ke Panti asuhan, ziarah, bahkan misa-misa pun banyak imam-imam yang mengunggahnya di medsos. Alasannya sangat bagus untuk pewartaan. Entah mewartakan diri sendiri demi popularitas atau untuk mengedukasi orang lain. Kalau tidak hati-hati kita jatuh ke semangat popularisme. Demi mengejar followers yang banyak, orang tidak menghargai kekhusukan ibadat sampai “jag-jagan sliwar-sliwer” di depan altar. Tidak sadar bahkan cuek dengan orang-orang di sekitar yang ingin khusuk berdoa kepada Tuhan. Ingin terkenal, populer dan bangga punya jutaan influencer menjadi godaan kita. Banyak dari kita yang senang dipuji, ingin diakui dan dihargai. Pujian dan penghargaan itu bukan tujuan utama. Itu hanyalah bonus tambahan. Tujuan dari segala tindakan kita adalah Bapa di sorga. "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." Yesus juga pernah berkata, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Sering kita punya kekawatiran tidak dianggap, diakui, dihargai, dipuji, maka lari mencari panggung supaya dikenal. Jangan-jangan kita sedang sakit “cari perhatian atau butuh pengakuan diri.” Kebajikan rohani atau keluhuran budi akan terlihat saat kita tidak mengejar pujian atau decak kagum dari banyak orang tetapi tetap rendah hati melakukan kebaikan dalam hening dan sepi. Naik perahu di telaga Sarangan, Sambil menikmati hijaunya hutan. Janganlah suka pamer kehebatan, Kita bisa jatuh pada kesombongan. Wonogiri, aja dumeh Rm. A.Joko Purwanto, Pr Puncta 17 Juni 2025
Selasa Biasa XI Matius 5:43-48 SAYA tidak pernah bosan melihat Film “Les Miserables,” yang diambil dari novel karya Victor Hugo. Liam Neeson memerankan Jean Valjean. Geoffrey Rush memerankan Kolonel Javert dan Uma Thurman memerankan Fantine. Tokoh utamanya adalah Jean Valjean yang mengalami penyiksaan saat di penjara. Ia sering dihukum dan disiksa oleh Javert, kepala polisi penjara yang berpikir bahwa sekali orang berlaku jahat, selamanya ia adalah penjahat. Setelah keluar penjara dan bertemu dengan Uskup Meyriel, Valjean berubah menjadi orang yang baik, sabar, suka mengampuni dan menolong mereka yang miskin dan menderita. Namun bagi Javert, kebaikan dan keutamaan Valjean itu hanya dilihat sebagai kamuflase saja. Ia terus mengejar dan berusaha memenjarakan orang jahat itu. Namun Valjean tak bergeming terus berbuat baik dan mengampuni sampai akhirnya Javert bunuh diri di Sungai Seine, dekat Katedral Notre Dame, Paris. Pertanyaan Javert sebelum dia mengakhiri hidupnya, “Mengapa engkau (Valjean) selalu berbuat baik, sementara aku terus memburumu?” dijawab oleh Yesus dalam pengajaran-Nya kepada para murid dalam bacaan hari ini. Yesus berkata, “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Memang ini adalah ajaran yang paling sulit. Tidak semua orang mampu menjalankan perintah ini. Tetapi Yesus telah memberi teladan dan melakukan-Nya dengan mendoakan dan mengampuni mereka yang menyalibkan-Nya. “Ya Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak mengerti apa yang telah mereka lakukan.” Kalau kita tidak bisa mengampuni, mari kita mendoakan mereka yang telah membenci dan menjatuhkan kita. Wisata Raja Ampat adalah warisan dunia, Dihancurkan oleh nafsu serakah manusia. Mengampuni adalah kasih paling sempurna, Jadilah seperti Bapa yang sempurna adanya. Wonogiri, teruslah mengampuni Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 16 Juni 2025
Senin Biasa XI Matius 5: 38-42 PUNTADEWA digambarkan sebagai manusia yang berdarah putih. Dia mempunyai watak yang berbeda dari adik-adiknya. Misalnya Bima atau Arjuna yang ingin membalas dendam atas perlakuan jahat para Kurawa. Dendamnya Bima dilampiaskan kepada Sengkuni, sampai-sampai wajah Sengkuni dikosek-kosek tak berbentuk manusia. Ia ingin membalas dendam atas kejahatan Kurawa yang menyengsarakan saydara-saudaranya. Demikian juga Arjuna menghujamkan anak panah kepada Jayajatra sampai putus lehernya dan mati. Ia ingin membalas dendam atas kematian Abimanyu, anaknya. Puntadewa berbeda. Ia tidak punya rasa dendam. Ia tetap mencintai Kurawa, musuhnya.walaupun mereka telah menghancurkan nasibnya tetapi Puntadewa tak ingin membalas dendam. Yesus mengajarkan kepada murid-murid-Nya untuk mengasihi siapapun. Mungkin ini perintah yang aneh dan melawan arus umum. Kebanyakan dari kita menjalankan hukum “mata ganti mata, gigi ganti gigi.” Tetapi Yesus berkata, “Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” Menjadi murid Yesus memang harus berani berbeda. Kita diajak mempunyai semangat seperti Bapa yakni sempurna. “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna,” demikian ajakan Yesus. Kadang orang lebih suka bertindak mengikuti standar yang ditentukan, atau bahkan hanya di bawah standar. Tetapi sebagai murid-murid Yesus kita dituntut melakukan standar yang tinggi, yakni seperi Bapa yang sempurna. Bersama Yesus kita pasti bisa mengasihi lebih daripada yang biasanya. Mata ganti mata, Gigi ganti gigi. Mencintai sesama, Lebih dari diri sendiri. Wonogiri, mencitai seperti Bapa Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 15 Juni 2025
HR. Tritunggal Mahakudus Yohanes 16:12-15 HARI ini seluruh Gereja Katolik sedunia merayakan Hari Raya Tritungal Mahakudus. Kita memahami Allah sebagai perwujudan kasih yang sempurna. Bukan soal numerasi jumlah, tetapi soal relasi kasih Allah. Sebab tidak mudah memahami kasih Allah, karena Allah adalah misteri yang tak akan tersingkap seratus persen oleh pikiran atau akal budi manusia. Kita hanya bisa mendekatinya dengan iman keyakinan. Maka akan sulit orang yang tak mengimani berbicara tentang Allah Tritunggal. Debat dengan orang yang tidak percaya hanya akan menghabiskan energi sia-sia saja. Penghayatan akan Allah Tritunggal tak bisa dilepaskan dengan kasih Allah yang tiada batas bagi dunia. Begitu besar kasih Allah kepada dunia, sehingga Ia mengutus Putera-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan kita. Karena dosa manusia, Yesus sebagai Firman yang menjelma menjadi manusia ditolak dan disalibkan. Ia mati karena kesetiaan-Nya pada kehendak Bapa. Namun sekali lagi, karena besarnya cinta Allah, Ia mengutus Roh Kudus-Nya untuk membimbing kita agar sampai kepada keselamatan sejati. Dogma tentang Allah Tritunggal ini hanya dapat kita terima dengan kacamata iman, tidak bisa didekati melulu dengan pengetahuan. Yang akan membantu adalah kedekatan relasi kita dengan Tuhan. Semakin kita merasa dicintai Tuhan, semakin kita mempu memahami relasi kasih Allah Tritunggal. Cara bodohnya kita bisa membayangkan relasi kasih di antara keluarga yang baik; Ayah-Ibu-Anak. Jika dalam keluarga itu ada relasi kasih yang tulus, maka setiap anggotanya akan tumbuh berkembang dengan baik. Yang dapat kita lakukan adalah menimba pengalaman kasih Allah Tritunggal itu untuk menjadi pedoman hidup kita. Roh Kebenaran yang dijanjikan Kristus akan menuntun kita melakukan apa yang diajarkan Tuhan. Terpujilah Bapa, Putera dan Roh Kudus, kasih-Nya menuntun kita untuk berbuat baik bagi sesama. Jalan naik turun menuju ke lembah, Menikmati indahnya padang belantara. Tak mungkin manusia memahami Allah, Allah yang akan memahami kita manusia. Wonogiri, terpujilah Allah Tritunggal Rm. A.Joko Purwanto, Pr Puncta 14 Juni 2025
Sabtu Biasa X Matius 5: 33-37 TIDAK ada manusia yang sempurna, sekalipun dia seorang pemuka agama. Seorang pastor bersumpah untuk hidup miskin, taat dan selibat. Tetapi godaan duniawi seperti uang atau kekayaan sering menjatuhkannya. Pastor Amer Saka (51) dari Gereja St. Joseph Chaldean, Kanada yang mempunyai kedekatan dengan umat Nasrani di Suriah dicopot dari tugasnya karena menggelapkan uang jemaat hampir USD 400.000. Kekayaan, kenikmatan, atau kedudukan bisa menjatuhkan sumpah yang diucapkan. Yesus berkata, “Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah.” Kita sering melihat dan menyaksikan sendiri para pejabat bersumpah sebelum dilantik. Mereka bersumpah untuk mengabdi rakyat dan tidak akan menerima suap atau pemberian baik secara langsung maupun tidak langsung. Sayangnya, yang tertangkap oleh KPK justru mereka yang mempunyai jabatan tinggi dan telah bersumpah di hadapan rakyat dan Tuhan. Mereka malah tertawa-tawa diberi pakaian orange di KPK. Mungkin pikir mereka, “Saya di penjara 5 tahun tidak apa-apa, uang hasil korupsi sudah cukup untuk menghidupi anak cucu.” Harusnya mereka dimiskinkan, bukan hanya di penjara. Yesus mengingatkan, ”Jangan sekali-kali bersumpah.” Mengapa? Sebab kualitas seseorang dilihat bukan dari sumpahnya, tetapi dari kelakuan yang bersumber dari hatinya yang bersih. Apalah artinya sumpah jika hatinya kotor dan jahat. Apalah artinya sumpah jika hati seseorang tidak punya niat baik dan integritas tinggi. Integritas itu ditunjukkan oleh Yesus, “Jika ya katakan ya. Jika tidak, katakan tidak.” Apakah kita mau membangun integritas pribadi? Dari integritas itu orang dapat dinilai kualitas perkataannya. Sakit perut langsung lari ke sungai, Menikmati gemericik nongkrong di batu kali. Dalam kampanye banyak janji-janji, Kalau sudah menjabat gampang lupa diri. Wonogiri, ingat janjimu Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 13 Juni 2025
Pw. St. Antonius dari Padua, Imam dan Pujangga Gereja Matius 5: 27-32 AWAL Juni kemarin terjadi tindak pembunuhan yang dilakukan seorang pria berinisial KA di Ciwidey, Kabupaten Bandung. KA membunuh korban EK karena diduga telah berselingkuh dengan istrinya. KA timbul pikiran cemburu pada EK karena sering kirim pesan WA di HP istrinya. Kemarahannya memuncak pada malam kejadian karena EK tidak mau mengakui dan minta maaf. Saat itu KA menusuk sebilah pisau di punggung EK yang menyebabkan kematian. Kemarahan dan sakit hati dilontarkan dengan tindakan pembunuhan. Peristiwa ini hanya sebagian kecil dari ribuan kasus perselingkuhan yang terungkap di tengah masyarakat. Banyak orang mengecam tindakan ini sebagai pengingkaran terhadap martabat dan kesucian hidup manusia. Dalam Injil Yesus mempunyai pandangan yang lebih radikal. Tidak hanya zinah yang dianggap berdosa. Tetapi setiap orang yang memandang perempuan serta mengingininya, adalah sudah berzina dengan dia di dalam hatinya. Semua orang punya potensi jatuh dalam dosa karena pikirannya yang jahat. Memandang untuk memiliki atau mengingini perempuan di dalam hatinya sudah jatuh dalam dosa. Awal dosa dimulai dari hati dan pikiran. Maka mengendalikan hati dan pikiran adalah sangat penting. Semua tindakan yang keluar dimulai dari dalam hati dan pikiran manusia. Pria tadi dihantui pikiran jahat dan hati yang cemburu, benci dan marah pada lelaki yang mengganggu istrinya. Maka yang keluar adalah tindakan pembunuhan. Yesus mengajak kita mulai mengendalikan hati dan budi kita. Jika kita mampu mengendalikan hati dan pikiran kita, maka kita tidak akan mudah terjerumus dalam tindakan yang salah. Bagi Yesus lebih baik mempunyai tubuh tidak sempurna tetapi masuk sorga daripada dengan tubuh yang sempurna justru jatuh dalam kubangan dosa. Tangan, mata, mulut dan panca indera lainnya harus dipakai untuk membawa kita ke sorga, bukan untuk berbuat dosa. Bunga melati bunga kamboja, Dipakai saat hari Selasa. Apa gunanya kaya raya, Tetapi di sananya sengsara? Wonogiri, hati-hati gunakan tanganmu Rm. A, Joko Purwanto, Pr Puncta 12 Juni 2025
Kamis Biasa X Matius 5: 20-26 KALAU ada upacara adat di Bali, pasti ada pecalang yang bertugas mengamankan dan menertibkan kegiatan masyarakat. Mereka menjaga agar adat istiadat dihormati dan dijunjung tinggi. Pecalang menjadi representasi kearifan lokal yang adi luhung dan harus ditaati. Dalam kehidupan kaum Yahudi, kelompok Farisi adalah penjaga hukum Taurat. Mereka bertindak seperti hakim yang mengadili apakah orang sudah bertindak sesuai dengan hukum atau tidak. Mereka tidak hanya mengajarkan tata aturan Taurat, tetapi juga bertindak sebagai wasit yang mengadili. Hal ini membuat status mereka menjadi lebih tinggi, merasa paling benar dan berlaku munafik. Sikap seperti itulah yang dikritik oleh Yesus; merasa paling benar dan munafik. Maka Yesus mengingatkan agar orang menuruti ajarannya tetapi jangan menirukan kelakuannya. Kaum Farisi mengajarkan Taurat tetapi tidak melakukannya. Kata Yesus, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Kita diingatkan agar tidak berpuas diri karena telah menuruti aturan-aturan hukum (legalitas, literalistis), tetapi selalu berusaha untuk memahami inti, maksud dan tujuan Allah memberikan hukum itu. Yesus mengajak kita untuk kembali ke dalam diri dan hati nurani, melihat motif, lalu berusaha untuk menghindari hal-hal kecil yang bisa berujung pada dosa besar. Yesus menginterpretasikan, “Jangan membunuh,” bukan soal pembunuhan fisik dengan senjata. Tetapi pembunuhan karakter dengan kata-kata kasar, marah, benci dan tuduhan-tuduhan jahat sudah menjadi tindakan pembunuhan. Aku berkata kepadamu: “Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.” Yesus mengharapkan kita bertindak “magis” dalam arti lebih berkualitas dibanding para ahli Taurat dan kaum Farisi. Kita harus bisa menyelaraskan antara kata dan tindakan sehingga dapat dipercaya oleh orang lain. Mari kita pergi ke Raja Ampat, Dengan naik kapal Dewi Iriana. Orang tidak percaya pada pejabat, Antara kata dan kelakuan jauh berbeda. Wonogiri, katakan sejujurnya Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 11 Juni 2025
Pw. St. Barnabas, Rasul Matius 5:17-19 HARI ini kita memperingati tokoh penting dalam sejarah gereja perdana. Dia adalah St. Barnabas rasul yang membawa Injil keluar wilayah Yahudi. Nama aslinya adalah Yusuf seorang Yahudi keturunan Lewi. Barnabas artinya “Anak Penghiburan,” adalah nama julukan dari para rasul karena dia menjual ladangnya dan menyerahkannya di depan kaki rasul-rasul. Ia melakukan apa yang diajarkan Yesus. Tindakannya ini adalah sebuah penghiburan dan bernilai positif bagi jemaat. Ia diutus mengabarkan Injil ke Antiokhia dan pengajarannya membuahkan hasil yang subur. Barnabas adalah pemimpin yang dihormati dan dikasihi jemaat. Karenanya jemaat berkembang dan mereka untuk pertama kalinya disebut Kristen. Sebagai pemimpin ia terbuka terhadap kharisma orang lain. Dialah yang menerima Saulus dan membawanya kepada para rasul. Banyak orang menjauhi Saulus karena dia sebagai penganiaya jemaat. Namun Barnabas menerima Saulus. Dia bisa melihat bakat dan kharisma Saulus untuk pekabaran Injil. Barnabas seorang pemimpin yang visioner dan mau bekerja sama dengan siapa pun. Ia berani berbeda sikap dengan para penatua di Yerusalem. Seorang pemimpin harus berani ambil keputusan dan bertanggungjawab dengan tindakannya. Ia mengadakan perjalanan dengan Saulus. Pada awal perjalanan, nama Barnabas ditulis di depan oleh Lukas. Barnabas dan Paulus. Namun di tengah jalan, posisi nama berubah. Paulus berada di depan baru kemudian Barnabas. Seorang pemimpin tidak harus selalu di depan. Ia membiarkan Paulus maju dan berperan dalam pekabaran Injil. Barnabas tahu saatnya harus mundur dan memberi kesempatan kepada orang lain. Pekabaran Injil adalah sebuah pelayanan bukan ambisi kekuasaan. Barnabas memberi contoh sikap kerendahan hati seorang hamba yang taat menjalankan tugasnya. Jika kita menjadi pemimpin atau tetua, kita bisa belajar dari Santo Barnabas ini. Ia membawa penghiburan bagi siapa pun yang dilayaninya. Ia tidak gundah digantikan orang lain. Ia lega rila mundur agar orang lain tumbuh berkembang. Ada lho pemimpin yang tidak rela digantikan orang lain. Ibarat “wong sing ngemut manising madu banjur lali anggone nglepeh.” Kalau orang sudah terlena oleh nikmatnya kekuasaan, dia lupa harus melepaskannya karena semua ada batasnya. Nikel sedang jadi bancakan, Papua dikeruk habis-habisan. Tahta bisa menjadi godaan, Ada yang tak rela melepaskan. Wonogiri, semua ada batasnya Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 10 Juni 2025
Selasa Biasa X Matius 5: 13-16 KALIMAT bijak di atas berarti, “Hidup itu harus bernyala.” Maknanya, hidup kita mesti berguna bagi sesama. Hidup yang tidak berguna ibarat mayat yang berjalan tanpa tujuan. Yesus memakai ungkapan Garam dan Terang. Sudah sejak zaman kuno, garam adalah komoditas penting dalam kehidupan masyarakat. Firaun membayar budak yang dipekerjakan membangun Piramida Giza dengan garam. Di Zaman Romawi, garam dipakai sebagai alat untuk menggaji pegawai. Maka kata gaji dalam bahasa Inggris disebut “Salary.” Kata itu mengambil dari Bahasa Latin ”Salarium,” yang berarti garam. Untuk membuat masakan yang lezat, kita membutuhkan garam. Kendati hanya sedikit tetapi garam memberi rasa bagi seluruh makanan. Betapa pentingnya garam bagi kehidupan kita. Tetapi jangan terlalu banyak juga, karena bisa menyebabkan tekanan darah naik, demensia, maag akut dan gangguan ginjal. Begitu juga Terang atau cahaya sangat penting bagi manusia. Setiap manusia membutuhkan unsur api, air, udara dan tanah. Api atau terang dibutuhkan bagi kehidupan setiap orang. Tanpa unsur-unsur itu kita akan terganggu dinamika hidup kita. Dalam Injil hari ini, Yesus menegaskan bahwa kita adalah Garam dan Terang dunia. Dengan menjadi garam, hidup kita akan memberi citarasa bagi lingkungan di sekitar. Dengan menjadi terang, kita bisa membimbing dan menuntun pada kebaikan. Sebaliknya kalau hidup tidak bermakna atau berguna bagi sesama, ibarat garam yang sudah tawar. Tidak ada gunanya lagi dan hanya dibuang dan diinjak-injak orang. Terang berfungsi untuk menuntun orang agar bisa berjalan. Terang laksana mercusuar yang menjadi pedoman arah. Para pelaut mengandalkan mercu suar agar bisa kembali ke tujuan asal. Yesus adalah Terang Sejati. Ia berkata, “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.” Para murid juga diajak menjadi terang bagi sesamanya. “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” Maukah anda menjadi garam dan terang bagi dunia di sekitar kita? Raja Ampat dikeruk jadi tambang, Yang diuntungkan hanya si kaya. Kita diutus jadi garam dan terang, Membawa hidup kita makin menyala. Wonogiri, jadilah Terang dunia Rm. A.Joko Purwanto,Pr |
Archives
December 2034
Categories |