Puncta 13 Juli 2025
Minggu Biasa XV Lukas 10: 25-37 KISAH orang Samaria yang baik hati ini sangat populer. Sering dikisahkan dan digunakan untuk berbagai pengajaran. Bahkan Victor Hugo mendasarkan novelnya yang berjudul “Les Miserables” dari perumpamaan yang diceritakan Yesus ini. So, kita langsung saja mengambil hikmah dari perumpamaan ini. Ada beberapa hal yang dapat kita petik; Pertama, orang yang suka berbicara tentang kebenaran, belum jadi jaminan bahwa isi hatinya juga benar. Kisah ini menjawab pertanyaan “tidak tulus” dari seorang ahli Taurat. Ia bukan ingin tahu tentang kebenaran, tetapi mau mencobai Yesus. Tersembunyi niat yang jahat di dalam hati si penanya. Seorang ahli Taurat semestinya tahu tentang isi Taurat. Tetapi dia ingin menguji dan menjebak lawan. Siapa tahu bisa mempermalukan Yesus di depan umum. Mungkin kita juga punya sikap kesombongan rohani seperti ini. Kedua, hapal ayat-ayat belum menjamin kelakuannya sesuai yang dihapalkannya. Lukas mencatat bahwa ahli Taurat itu sangat menguasai kitab suci. Ia bisa menyebut dengan runtut dan benar isi hukum yang utama. Tetapi ketika Yesus berkata, "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup." Ia justru menghindar dan balik bertanya, “Siapakah sesamaku manusia?” Mungkin kita juga sering lari menghindar ketika diminta bertanggungjawab. Ketiga, dengan mengambil contoh ahli Taurat dan Imam Lewi yang tidak berbuat apa-apa, Yesus mau berkata, “Gajah diblangkoni, bisa kotbah ora bisa nglakoni.” Ahli Taurat itu bisa mengajarkan. Kaum Lewi itu rajin melayani di altar bait suci, tetapi ketika harus harus menolong sesama yang menderita, mereka lewat pura-pura tak melihat. Apakah kita juga seperti gajah diblangkoni? Keempat, kita diajak mengasihi sesama, bukan yang sama dengan kita. Yesus menohok gambaran sesama menurut ahli Taurat itu. Sesama itu bukan yang satu agama, kelompok, suku atau satu aliran. Dengan mengambil orang Samaria, Yesus mengajarkan bahwa sesama itu siapa pun yang sedang menderita. Tidak perlu dibeda-bedakan atau dipisah-pisahkan oleh agama, suku, ras atau golongan. Kita mau menolong orang kalau dia sealiran, seagama atau sekelompok dengan kita. Yang lain? No way!! Kelima, kisah orang Samaria ini seperti palu godam yang menghantam keangkuhan kita. Kita sering merasa diri paling benar, suci, saleh dan taat. Tetapi dalam kenyataan kita tidak berbuat-apa-apa seperti Ahli Taurat dan orang Lewi itu. Perumpamaan ini membuat kita harus bertobat dan membongkar kesombongan diri. Kata Yesus kepada ahli Taurat itu: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!" Kalimat ini juga ditujukan kepada kita. Mari kita langsung melakukannya. Aja dadi gajah diblangkoni, Kakehan kojah ora bisa nglakoni. Wonogiri, jadilah orang Samaria masa kini Rm. A.Joko Purwanto,Pr
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2034
Categories |