Berikut adalah kolom untuk bertanya pada Romo. Silakan menulis nama dan pertanyaan di kolom komentar. E-mail dan website dikosongkan saja apabila tidak punya.
7 Comments
Puncta 9 Februari 2025
Minggu Biasa V Lukas 5: 1-11 PADA Bulan Februari 2019, persis enam tahun yang lalu ada peristiwa bersejarah yakni pertemuan Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al Azhar Sheikh Ahmed al Tayeb, menandatangani dokumen bersejarah tentang persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan hidup berdampingan guna menangkal radikalisme dan terorisme. Paus juga mengadakan misa akbar di Stadion Sayed Sport City, Uni Emirat Arab. Paus mengarungi samudera dan masuk ke tempat yang dalam di jazirah Arab menyapa dan membangun persaudaraan kemanusiaan. Paus mengikuti sabda Yesus kepada Simon. “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan”. Paus menebarkan jala kasih dan persaudaraan dengan semua orang tanpa membedakan latar belakang agama. Kasih dan persaudaraan adalah bahasa universal manusia. Siapa pun yang beriman pada Tuhan pasti akan menebarkan kasih dan persudaraan kepada siapapun tanpa membeda-bedakan. Sebagaimana jala yang bisa menangkap berbagai macam ikan, demikian juga kasih dan persaudaraan yang dibawa Paus mampu menembus sekat-sekat perbedaan. Ia mampu menangkap ikan yang besar di Uni Emirat Arab. Kita kadang merasa takut pergi ke tempat yang dalam. Kita hanya memilih tempat yang “cethek-cethek” sehingga hanya ikan-ikan kecil yang kita dapat. Yesus mengajak Simon mencari tempat yang dalam. Laut yang dalam pasti banyak bahaya. Tetapi di sana kita bisa mendapat ikan yang banyak dan besar-besar. Simon berani mengikuti perintah Yesus. Ia mendapatkan hasil di luar dugaan. Kalau hanya mengikuti kemauan sendiri, sepanjang malam ia tidak mendapat apa-apa. Tetapi ketika kita mau mengikuti kehendak Tuhan, hasilnya sungguh mentakjubkan. Maukah kita mengikuti kehendak Tuhan? Naik motor sampai ke Tuban, Tersesat di tengah hutan Grobogan. Kalau kita setia pada Tuhan, Dia akan memberi berkelimpahan. Wonogiri, Tuhan, aku tidak layak Rm. A.Joko Purwanto, Pr Puncta 8 Februari 2025
Sabtu Biasa IV Markus 6: 30-34 KOMUNITAS imam-imam yang terinspirasi oleh cara hidup Charles de Foucauld sering malakukan kegiatan retret Padang Gurun. Mereka pergi ke tempat sunyi selama satu hari untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Padang Gurun hanya sebuah istilah untuk meninggalkan kesibukan sehari-hari, dan berhenti sejenak untuk menyepi. Tujuannya agar kita memperoleh kekuatan atau spirit baru dari Tuhan dalam melaksanakan tugas pelayanan sehari-hari. Pergi ke tempat sunyi juga bisa berarti beristirahat sebentar dari pekerjaan pelayanan yang dilakukan sepanjang hari. Seperti HP yang perlu dicharge agar bisa terus hidup, demikian juga semangat kita perlu disegarkan kembali. Sesudah melakukan tugas pelayanan, rasul-rasul itu kembali berkumpul dengan Yesus dan memberitahukan kepada-Nya semua yang mereka kerjakan dan ajarkan. Lalu Ia berkata kepada mereka: "Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!" Sebab memang begitu banyaknya orang yang datang dan yang pergi, sehingga makan pun mereka tidak sempat. Maka berangkatlah mereka untuk mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi. Tugas pelayanan bisa menguras tenaga dan pikiran. Kalau hanya mengikuti tuntutan kerja, tidak akan ada habis-habisnya. Kita juga perlu mengolah batin dan mental kita agar tidak kehilangan arah dan spirit kerja. Yesus mengajak para murid-Nya untuk pergi ke tempat sunyi. Mereka diajak untuk menimba kekuatan spiritual, agar pelayanan mereka tetap satu visi dengan karya Tuhan. Mereka tidak kehabisan daya karena kelelahan dan beban yang berat. Kita juga membutuhkan waktu untuk pergi ke tempat sunyi, menyatu dan menimba kekuatan dari Tuhan. Seperti seorang yang menggergaji pohon, perlu duduk, diam istirahat sebentar, mengumpulkan tenaga agar punya kekuatan baru, kita juga perlu menyisihkan waktu untuk diam, pergi ke tempat sunyi bersama Tuhan. Pergi retret ke Tawangmangu, Tempatnya sunyi langitnya biru. Kita butuh semangat yang baru, Agar selalu happy banyak ngguyu. Wonogiri, happy dalam pelayanan Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 7 Februari 2025
Jumat Biasa IV Markus 6: 14-29 PERKAWINAN bisa menjadi masalah ketika hadir pihak ketiga. Ada yang memberi istilah PIL (Pria Idaman Lain) atau WIL (Wanita Idaman Lain). Hadirnya pihak ketiga dalam sebuah perkawinan bisa mengakibatkan petaka. Inilah yang dialami oleh Herodes. Ia mengambil Herodias, istri Filipus, saudaranya. Tentu saja tindakan ini dikritik oleh masyarakat. Sebagai seorang raja seharusnya dia memberi contoh hidup yang baik. Nilai perkawinan sudah dijunjung tinggi sejak manusia diciptakan. Tidak hanya pada zaman Yesus, tetapi sejak awal mula, Allah telah mengatakan bahwa seorang laki-laki akan meninggalkan ayah ibunya dan bersatu dengan istrinya. Dalam Sepuluh Perintah Allah kepada Musa, juga dikatakan Jangan berzinah, Jangan mengingini istri sesamamu. Perintah ini sudah dijadikan pedoman hidup masyarakat. Maka ketika Herodes melanggar perintah ini, Yohanes Pembaptis menegur dan mengingatkan. Yohanes pernah menegur Herodes: "Tidak halal engkau mengambil isteri saudaramu!" Tetapi Herodes tidak terima diingatkan. Mereka sakit hati dan justru memenjarakan Yohanes dan memenggal kepalanya. Kehadiran Yesus dianggap sebagai kelanjutan karya Yohanes Pembaptis atau para nabi zaman dulu. Yesus mengajak semua orang hidup dengan baik seturut kehendak Allah. Namun manusia sering mencari jalannya sendiri. Herodes membangun keluarga dengan cara buruk. Ia tidak punya pendirian yang tegas. Herodes dan Herodias mendidik dan memperalat anaknya untuk mendendam. Mereka secara berjamaah menanam dendam kepada Yohanes. Bagaimana kehidupan keluarga akan bahagia kalau benih dendam dan kebencian selalu ditanamkan dan dipupuk bersama? Apakah anda juga akan meniru cara hidup Herodes bagi keluarga anda sendiri? Ke Palembang naik kapal terbang, Diberi empek-empek untuk sarapan. Belajarlah menerima kritikan orang, Kritik ibarat pupuk yang menyuburkan. Wonogiri, membangun keluarga dengan cinta Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 6 Februari 2025
PW. St. Paulus Miki, Imam dan Martir Markus 6: 7-13 BAPAK MICHAEL Trias Kuncahyono adalah Duta Besar Indonesia untuk Tahta Suci Vatikan. Ia menjadi duta besar ke 21 sejak Indonesia menjalin hubungan diplomatik dengan negara super kecil di dunia yaitu Vatikan. Ia dilantik tanggal 26 Juni 2023. Duta berarti utusan. Ia diutus oleh Presiden untuk merepresentasikan Bangsa Indonesia yang menjadi negara dengan mayoritas Muslim terbesar tetapi bisa hidup rukun dengan semua agama dan budaya. Pak Duta Besar mendapat tugas untuk memperkenalkan Indonesia yang merupakan Negara dengan beragam suku, etnis, budaya dan agama, dengan Pancasila yang mempersatukan semua. Pak Duta Besar menjadi jembatan antara Pemerintah Indonesia dengan Vatikan. Kita bisa melihat sendiri bagaimana tahun lalu Paus bisa datang ke Indonesia dan sangat menghargai keberagaman, toleransi, keramahan, kerukunan antar warga di Indonesia. Paus sangat terkesan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Seorang duta adalah utusan. Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk pergi berdua-dua mewartakan Kerajaan Allah. Seorang utusan mempunyai tugas yang sangat besar. Ia menghadirkan pribadi yang mengutusnya. Ia mewartakan apa yang dipesankan oleh pengutusnya. Para murid diminta untuk tidak membawa bekal. Yesus berpesan kepada mereka supaya jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, kecuali tongkat, roti pun jangan, bekal pun jangan, uang dalam ikat pinggang pun jangan, boleh memakai alas kaki, tetapi jangan memakai dua baju. Suatu perutusan yang tidak mudah karena hanya boleh mengandalkan Tuhan saja. Kita semua adalah duta atau utusan Tuhan. Kita diminta membawa damai dan sukacita kepada semua orang. Mari kita menjadi duta yang baik agar Kerajaan Allah sungguh dirasakan banyak orang. Mau ziarah ke Porta Sancta, Mampir sebentar di kedutaan Indonesia. Mari kita wartakan Kabar Gembira, Agar semua orang mengalami sukacita. Wonogiri, kita semua adalah utusan Tuhan Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 5 Februari 2025
PW. St. Agata, Perawan dan Martir Markus 6: 1-6 DITOLAK atau tidak dipercaya oleh orang lain mungkin masih bisa diterima. Tetapi “dipaido” atau disangsikan dan tidak dipercaya oleh orang terdekat itu bisa menyakitkan. Tidak diterima oleh anggota keluarga sendiri sungguh rasanya sakit banget. Cita Citata mengatakan, “Sakitnya tuh disini.” Seorang ibu bercerita bagaimana dia dulu ditolak oleh kakak dan adiknya karena menikah dengan orang Katolik. Dia bahkan dibuang oleh saudara-saudaranya karena “keukeuh” mau menikahi orang yang beda agama. Ibu ini tetap teguh pendiriannya kendati ditolak dan dibuang oleh keluarganya. Ia tetap hidup bersama dengan suaminya, sampai sang suami dipanggil Tuhan. Ia tidak berubah kendati saudara-saudaranya mulai mengajaknya kembali. Yesus datang ke tempat asal-Nya di Nasaret. Ia menunjukkan tugas perutusan-Nya sebagai Guru. Murid-murid-Nya juga mengikuti-Nya. Ia mengajar di Sinagoga Nasaret. Ia juga melakukan mukjizat disana. Orang-orang awalnya takjub dengan apa yang dilakukan Yesus. Tetapi akhirnya mereka tahu asal-usul-Nya yang sesungguhnya. Ia hanyalah anak tukang kayu miskin. Mereka kecewa dan menolak Dia. Yesus ditolak dan tidak dipercaya oleh orang-orang di tempat asal-Nya sendiri. Kita seringkai menilai orang hanya dari kulitnya saja. kita hanya tahu sedikit dari permukaan, namun tidak mengetahui isi yang sesungguhnya. Demikianlah orang-orang Nasaret hanya melihat Yesus anak tukang kayu. Mereka tidak bisa menangkap hikmah dan kebijaksanaan yang berasal dari Allah. Ada pepatah mengatakan, “Don’t Judge a book by its cover.” Jangan menilai sebuah buku hanya dengan melihat sampulnya saja. Jangan hanya melihat kulit permukaan saja. Buah durian itu luarnya berduri tajam, tetapi kalau kita membuka dalamnya sangat manis dan lezat. Marilah kita belajar memahami seseorang secara mendalam, baru kita bisa menilai yang sebenarnya. Jangan terjebak seperti orang-orang di Nasaret. Akibatnya mereka tidak mampu mengalami mukjizat dan anugerah Allah. Nasi pecel dicampur daun pepaya, Sambelnya pedas semangkok berdua. Jangan mudah menilai dan curiga, Hatimu tidak akan bisa bahagia. Wonogiri, jangan mudah menilai jelek Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 4 Februari 2025
Selasa Biasa IV Markus 5: 21-43 SEPASANG suami istri tiap malam datang ke Gua Maria Sriningsih. Mereka punya ujub mendoakan anaknya yang masuk ke Perguruan Tinggi Negri di Yogyakarta. Selama Sembilan hari berturut-turut mereka selalu berdoa di depan Bunda Maria. “Kami berdua sepakat untuk terus berdoa kepada Bunda Maria setiap jam 24.00 di Sriningsih Romo, karena dari hasil wawancara, anak saya merasa aneh sebab ditanyai nama baptisnya segala. Kami yakin Bunda Maria akan menolong.” Kendati malam gelap, dingin, sepi dan kadang disertai hujan, mereka tetap setia datang berdoa di Gua Maria. Iman mereka diwujudkan dalam tindakan yang nyata. Kendati harus berjuang berat namun demi anak mereka tetap datang kepada Tuhan. Beberapa waktu yang lalu, mereka memberi kabar via WA bahwa anaknya diterima di Perguruan Tinggi Negri. Mereka bersyukur atas mukjizat yang Tuhan berikan. Yesus membuat mukjizat karena iman yang teguh dari kepala rumah Ibadat yang bernama Yairus dan seorang perempuan yang telah mengalami sakit selama duabelas tahun. Mereka percaya pasti Yesus dapat menyembuhkan. Yairus bersujud di kaki Yesus memohon penyembuhan bagi anaknya. Sementara Yesus berjalan menuju ke rumah Yairus, seorang perempuan datang ingin menyentuh jubah-Nya. "Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh," katanya. Seketika itu perempuan yang sakit itu sembuh. Sementara di rumah Yairus dikabarkan bahwa anaknya sudah mati. Namun Yesus berkata, "Jangan takut, percaya saja!" Yesus datang dan menghidupkan anak yang sudah mati itu. Berkat iman yang kuat, mereka diselamatkan. Karena imannya, perempuan itu sembuh dan anak yang sudah mati hidup kembali. Iman membuat hal yang mustahil menjadi kenyataan. Marilah kita mohon iman yang kuat kepada Tuhan. Pagar laut di pantai Jakarta, Mematikan masa depan para nelayan. Jangan takut, percayalah saja, Imanmu yang telah menyelamatkan. Wonogiri, mohon rahmat iman yang kuat Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 3 Februari 2025
Senin Biasa IV Markus 5: 1-20 SAYA dulu sering memberi retret anak-anak SD St. Maria dan St. Yusup Cimahi di Pratista, Bandung. Saya menggunakan media kendi tempat air untuk berefleksi bersama anak-anak tentang kasih dan pengampunan. Setiap kelompok diberi satu kendi. Saya meminta mereka untuk memecahkan kendi itu. Kendi yang pecah berkeping-keping dikira sudah tidak ada manfaatnya. Paling hanya dicampakkan dan dibuang di tempat sampah. Namun dari pecahan kendi itu, mereka bisa membuat mosaik hiasan yang bagus. Dengan berbagai macam cara mereka bisa membentuk sebuah gambar dan hiasan indah, bahkan penuh makna. Mereka kemudian memaknainya bahwa kendi yang pecah itu masih tetap berguna. Tuhan tidak menciptakan kita sebagai sampah. Tetapi Tuhan punya rencana indah bagi setiap individu untuk diolah menjadi berkah. Ada orang kerasukan setan di Gerasa. Ia hidup terbuang di pekuburan ibarat barang yang rusak. Banyak orang tidak mempedulikannya. Mereka membuangnya seperti mayat di kuburan. Ia sudah dianggap mati atau tidak ada bagi kebanyakan orang. Tetapi Yesus datang dari jauh, dengan menyeberang ke daerah orang-orang Gerasa. Ia menemui orang yang kerasukan itu. Ia mengambilnya dari tanah buangan. Yesus mengusir setan-setan dan membentuknya kembali sebagai manusia bermartabat. Bagaimana sikap kita terhadap orang-orang cacat, difabel, berkebutuhan khusus? Apakah kita menyingkiri dan membuang mereka seperti barang rusak yang ditaruh di tempat sampah? Mari kita belajar seperti Yesus. Kita datangi mereka dan kita terima mereka sebagai saudara yang berhak untuk dikasihi dan disayangi. Sudahkah kita menghargai dan menghormati mereka? Enaknya makan nasi Padang, Walau harus dilahap di tengah kegelapan. Tuhan mengasihi setiap orang, Dengan kasih yang tidak membeda-bedakan. Wonogiri, kasih tanpa pamrih Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 2 Februari 2025
Pesta Yesus Dipersembahkan di Kenisah Lukas 2: 22-40 “SEKOLAH kok ora rampung-rampung ki mbesuk arep dadi apa?” komentar nenek waktu saya pulang liburan ke rumah. Nenek tidak paham kalau saya masuk seminari karena dia tidak Katolik. Maka dia berkomentar, “Sekolah kok tidak selesai-selesai itu besuk mau jadi apa kamu?” Bulan Januari 1994, saya ditahbiskan menjadi diakon. Nenek saya datang ke Seminari Kentungan. Dia terkagum-kagum kayak Engkongnya Si Doel (maklum nenek saya orang desa) dengan bangunan asrama yang besar dan para romo berjubah putih yang banyak. “Matur nuwun Bapak Uskup, putu kula pareng sekolah wonten mriki,” (Terimakasih Bapak Uskup, cucu saya boleh sekolah di sini), Dia salaman dan memeluk Bapak Kardinal sambil berulang-ulang bersyukur karena saya boleh tahbisan diakon. Nenek saya bahagia, bangga, bersyukur dan “rumangsa ketiban ndaru” atau sangat beruntung sekali. Rasanya apa yang diidam-idamkan sudah tercapai. Namun sayang sekali, dia tidak sempat melihat saya tahbisan imam. Pada Bulan Mei, tiga bulan sebelum saya tahbisan imam, nenek dipanggil Tuhan. Saya merenungkan pengalaman Simeon dan Hana seperti pengalaman nenek saya. Simeon dan Hana adalah orang saleh yang menantikan kedatangan Mesias. Ketika Yesus dibawa oleh Maria dan Yusuf ke Bait Allah, Simeon bersukacita dalam Roh. "Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel." Kebahagiaan seorang yang telah melihat kepenuhan janji Tuhan. Simeon dalam masa tuanya mengalami konsolasi atau penghiburan bahwa Allah menepati janji-Nya. Apakah kita juga mampu melihat dan bersyukur karena Allah senantiasa menepati janji-Nya? Naik gunung menikmati pemandangan, Walau yang didaki hanya Gunung Ungaran. Tuhan tidak pernah mengecewakan, Dia akan memenuhi apa yang kita dambakan. Wonogiri, selalu mensyukuri rahmat Tuhan Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 1 Februari 2025
Sabtu Biasa III Markus 4: 35-41 AKHIR Januari musim turne-turne Natal ke stasi-stasi biasanya hampir selesai. Saya teringat perjalanan dari Pangkalan Suka ke Stasi Kebuai dan Sei Ingin, di Tayap, Ketapang. Perjalanan panjang melewati ladang, hutan dan perbukitan. Kalau hujan, jalan menjadi licin dan berbahaya. Saya pernah terperosok dengan motor meluncur sendiri ke bawah karena jalanan berlumpur. Saya hanya melongo melihat motor terguling-guling tak terkendali. Dari Kampung Kebuai ke Sei Ingin lebih ngeri lagi. Untung saya selalu ditemani prodiakon dan OMK yang siap mengawal. Kalau hujan, sungai banjir dan meluap. Jalan tidak bisa dilalui. Motor harus dipanggul empat orang dengan kayu dipalangkan di antara roda depan dan belakang. Bukan orang naik motor tetapi motor naik orang. Kita mengharapkan perjalanan yang mudah, mulus dan lancar. Tetapi cuaca tidak bisa ditebak. Terpaksalah kita harus jalan untuk melayani umat di pedalaman. Terbersit tanya,”Kenapa Tuhan memberi kesulitan yang berat seperti ini? Bukankah semua ini demi melayani umat-Mu?” Para murid dan Yesus sedang dalam perjalanan. Mereka menyeberang danau dengan perahu. Di tengah jalan, mengamuklah taufan dan mereka diterpa ombak besar. Yesus seolah tidak peduli. Ia tidur di buritan. Para murid cemas dan takut. Mereka berkata, “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?” Yesus bangun dan menghardik taufan. Seketika itu juga laut menjadi tenang. Lalu Yesus berkata, "Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?" Kita dihadapkan pada pencobaan agar kita percaya dan hanya mengandalkan Tuhan saja. Kita diberi masalah agar mampu mengatasinya. Kita menghadapi taufan badai kehidupan agar kita berani dan kuat. “Gusti mboten sare” artinya Tuhan tidak tidur. Ungkapan ini mau menyatakan bahwa Tuhan selalu menyertai dan menolong kita. Percaya saja, Allah akan bertindak pada waktu yang tepat. Pertolongan-Nya tidak akan ditunda-tunda. Kita hanya diminta percaya kepada-Nya. Sudahkah kita percaya? Nunggu pesawat di bandara, Ketemu pramugari bawa kursi roda. Tuhan selalu bersama kita, Marilah kita percaya pada-Nya. Wonogiri, Gusti mboten sare Rm. A. Joko Purwanto, Pr |