Puncta 30 September 2024
Pw. St. Hieronimus, Imam dan Pujangga Gereja Lukas 9: 46-50 PIKIRAN Allah berbeda dengan pikiran manusia. Rancangan Allah berbeda dengan rancangan manusia. Allah ingin turun menjadi manusia. Sedang manusia justru ingin naik menjadi Allah. Tetapi manusia selalu gagal. Allah pasti yang berhasil. Menara Babel adalah contoh usaha manusia yang ingin naik menuju Allah. Tetapi usaha manusia itu hancur runtuh berantakan. Manusia ingin menjadi yang tertinggi, terbesar dan terhebat dari segalanya. Tetapi hasilnya adalah nol besar. Dalam perikope ini Yesus tahu apa yang ada dalam pikiran murid-murid-Nya. Mereka memperdebatkan siapa yang terbesar di antara mereka. Mereka berebut menjadi yang terbesar. Seumumnya kita semua juga ingin menjadi yang terbesar, terhebat dan ter-segala-galanya. Pikiran Yesus berbeda dengan kita dan para murid-Nya. Ia berkata kepada mereka: "Barangsiapa menyambut anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku; dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia, yang mengutus Aku. Karena yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar." Siapa yang terkecil, justru dialah yang terbesar. Allah justru mengambil jalan pengosongan diri. Ia merendahkan diri menjadi yang terkecil. “Barangsiapa menyambut anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.” Disinilah pelajaran bagi kita untuk mengasihi mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Inilah pilihan Allah menjadi anak kecil. Jika kita menerima dan mengasihi mereka berarti kita juga mengasihi Allah. Paus Fransiskus dalam setiap kunjungannya selalu bertemu dan memberkati anak-anak kecil. Di jalan-jalan yang beliau lewati anak-anak kecil diberkati, bahkan ibu yang sedang hamil pun diberkati sebagai tanda cintanya pada anak-anak kecil. Mereka yang cacat, lemah, difabel mendapat tempat khusus di hati Paus. Demikianlah semestinya sikap dan pola hidup kita, mengikuti jalan pikiran Allah, menghargai mereka yang kecil. Sebab barangsiapa menyambut orang-orang kecil dan lemah, sama saja kita menerima Tuhan dalam hati kita. Maukah kita mengambil pola dan jalan pikiran Tuhan yang berbeda dengan jalan pikiran kita? Di Sleman ada desa namanya Bokongan, Kalau di Sulawesi ada Desa Tumpaan. Jalan Allah adalah jalan pengosongan, Jalan kita adalah jalan kesombongan. Wonogiri, jalan Allah melawan arus Rm. A. Joko Purwanto, Pr
0 Comments
Puncta 29 September 2024
Minggu Biasa XXVI Markus 9:38-43.45.47-48 DALAM suatu kelompok ada kosa kata magis yaitu “Wong kito atau orang kita.” Dalam bahasa prokem Jawa ada istilah yang hampir sama artinya yaitu “Jape Methe.” Pola rumit ini dibuat pada era 80-an oleh kelompok anak muda di Jogja yang membalik aksara Jawa untuk membuat istilah-istilah prokem. Hanya orang-orang di dalam kelompok mereka saja yang mengerti istilah-istilah itu. Misalnya, Jape Methe dab itu artinya “Cahe dhewe mas” atau bocahe dhewe. Dia adalah kelompok kita, anak buah kita, bagian dari kita. Dia adalah anggota geng atau kelompok kita. Kelompok akan melindungi dan membelanya karena dia adalah bagian dari kita. Orang yang tidak sealiran atau satu kelompok menjadi orang luar, musuh atau saingan. Mereka tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak sepaham dengan mereka. Kelompok akan menjaga dan membela hidup anggotanya dari serangan atau saingan lainnya. Seringkali terjadi tawuran-tawuran antar kelompok karena masing-masing mempunyai kebenarannya sendiri dan mereka tidak mau disaingi oleh yang lain. Akhir-akhir ini terjadi keresahan di kota-kota besar karena tawuran antar kelompok. Sampai-sampai beberapa kampus menghimbau mahasiswanya untuk tidak berkegiatan melebihi jam 21.00 agar tidak berhadapan dengan geng atau kelompok-kelompok brutal. Dalam diri murid-murid Yesus nampaknya juga ada suasana eksklusifisme kelompok. Yohanes memprotes karena ada orang lain di luar kelompoknya membuat mukjizat atas nama Yesus. “Guru, kami melihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” Yesus berkata, “Janganlah kamu cegah dia, sebab tak seorang pun yang telah mengadakan mukjijat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku.” Yesus berpikir inklusif, terbuka pada kebaikan dan kebenaran yang ada di luar sana. Siapa saja bisa memakai nama Yesus demi kebaikan dan kesejahteraan bersama. Toleransi dan semangat inklusif mesti dijunjung tinggi agar damai dan harmoni terjadi dimana saja. Mari kita berpikir dan bertindak tidak terkotak-kotak, supaya wawasan kita jadi terbuka luas. Berpandangan luas dan komprehensif, Agar kita tidak berpikir eksklusif. Mari bertindak toleran dan inklusif, Kita bangun persaudaraan secara massif. Wonogiri, jangan memaksakan kehendak sendiri Rm. A.Joko Purwanto, Pr Puncta 28 September 2024
Sabtu Biasa XXV Lukas 9: 43b-45 DERITA dari kekalahan permainan dadu tidak hanya dialami Puntadewa dan adik-adiknya, tetapi juga menimpa Drupadi, istrinya. Ketika Drupadi menjadi taruhan, dan Puntadewa kalah, dia dijadikan mainan nafsu Dursasana dan para Kurawa. Rambut Drupadi diurai dan “diudhal-udhal” oleh Dursasana. Kain penutup tubuhnya dilepaskan dengan paksa untuk mempermalukannya di depan umum. Drupadi menahan derita dan hancur hatinya. Dia dihina serendah-rendahnya oleh para Kurawa. Drupadi harus mengikuti Pandawa dibuang selama 12 tahun di tengah hutan. Tahta, harta, kuasa hilang musnah. Mereka pergi sebagai orang buangan. Derita atas kekalahan harus ditanggung juga oleh Drupadi. Kresna bertanya kepada Drupadi, “Seberapakah cintamu pada suami yang sudah kalah judi dan dibuang sebagai manusia tak berharga?” Drupadi menjawab, “Cintaku kepadanya semakin bersinar laksana permata, karena yang kucintai bukan emas, tahta atau hartanya. Aku mencintai suamiku sebagai pribadi apa adanya.” Menurut Viktor Frankl, psikolog yang menemukan teori Logotherapy, penderitaan adalah batu uji yang paling baik untuk mematangkan eksistensi diri dalam menjawab makna kehidupan. Penderitaan yang dialami Drupadi adalah ujian yang mematangkan seberapa besar cintanya pada sang suami. Keberanian menghadapi penderitaan adalah sebuah keutamaan dan kecerdasan pribadi. Kecerdasan mengubah derita menjadi peluang dan bencana menjadi kesempatan mematangkan diri. Dengan memandang positif atas penderitaan, orang punya alasan kuat untuk memaknai hidup di masa depan. Yesus berkata , “Dengarkan dan camkanlah segala perkataan-Ku ini: Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia.” Orang banyak tidak mengerti perkataan itu. Mereka tidak dapat memahaminya. Yesus tahu bahwa Ia akan menghadapi penderitaan dan kematian. Ia tidak sedih, kecewa atau mundur tetapi Yesus siap menghadapi penderitaan. Yesus memandang penderitaan demi kesetiaan-Nya menjalankan tugas perutusan Allah dan demi kehidupan seluruh umat manusia. Dengan demikian penderitaan-Nya punya arti keselamatan bagi seluruh ciptaan. Bagaimanakah kita memaknai penderitaan, kesedihan, kesusahan hidup yang kita jalani? Apakah kita bisa menyatukannya dengan penderitaan Kristus di salib? Sebentar lagi kita akan ada Pilkada, Pilihlah calon yang sungguh bekerja. Dalam iman derita selalu bermakna, Salib Kristus adalah mercu suarnya. Wonogiri, apa makna sebuah derita? Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 27 September 2024
PW. St. Vinsensius a Paulo, Imam Lukas 9:18-22 INTER MILAN kemarin dibabat habis oleh tim sekotanya, AC Milan saat pertandingan derby kota Milan. Inter baru saja menahan imbang raksasa Inggris Manchester City dalam laga Champion. Hasil imbang 0-0 melawan City seolah sebuah kemenangan besar. Apalagi di pertandingan lain Milan dikalahkan oleh Liverpool dengan skore 3-1. Dada Inter semakin membusung menghadapi derby tim sekotanya. Apalagi semua media sport Eropa menjagokan Inter akan mampu mengalahkan Milan. Tetapi rasa percaya diri yang terlalu tinggi membuat mereka meremehkan lawannya. Akibatnya Inter digulung AC Milan dengan dua gol ke gawang mereka. Over confidence membuat mereka sombong dan terlena. Mereka tidak bermain maksimal karena merasa yakin bisa menang. Ternyata lawan bermain lebih bagus dan hasilnya Inter harus gigit jari. Mereka harus belajar dari kegagalan ini. Para murid Yesus mungkin juga dalam posisi overconvidence. Mereka mendengar komentar-komentar orang banyak bahwa Yesus adalah seperti Yohanes Pembaptis, Elia atau nabi-nabi dahulu yang telah bangkit. Kehebatan Yohanes Pembaptis, Elia dan nabi-nabi dahulu yang diterakan pada Guru mereka membuat murid-murid membusungkan dada. Mereka punya Guru yang hebat dan tersohor. Maka ketika Yesus bertanya, "Menurut kamu, siapakah Aku ini?" Petrus dengan lantang, penuh percaya diri, tanpa berpikir panjang menjawab: "Mesias dari Allah." Maka Yesus langsung melarang dengan keras agar jangan diberitakan kepada siapa-siapa. Jangan terlalu percaya diri dulu. Mesias macam apa yang dibayangkan Petrus. Ketika mereka tahu bahwa Mesias harus menderita, ditolak oleh kaum tua-tua, disalibkan dan mati, mereka putus asa. Harapan yang tinggi-tinggi itu hancur berkeping-keping. Yesus harus mendidik dan mendampingi agar paham Mesianitas mereka sejalan dengan kehendak Tuhan. Memurnikan motivasi dan siap menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan harus terus dibangun. Percaya diri boleh tetapi jangan terlalu over. Tetap harus waspada dan jangan terlena. Mari kita belajar dari kekalahan Inter Milan yang terlalu percaya diri berlebihan. Jangan terlena. Pagi-pagi menikmati sinar matahari, Di pinggir jalan membeli bakso wonogiri. Over confidence membuat orang lupa diri, Akhirnya hanya tinggal menyesal nanti. Wonogiri, jangan terlena Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 26 September 2024
Kamis Biasa XXV Lukas 9: 7-9 RESI BISMA menasehatkan kepada para Kurawa untuk menyerahkan separoh Kerajaan Astina dan Indraprasta kepada Pandawa. Karena Pandawa berhak atas kerajaan itu. Namun Sengkuni dan Dipati Karna tidak setuju. Mereka minta Pandawa harus merebutnya dengan peperangan. Resi Bisma melihat dengan hatinya, sebuah masa depan yang suram, jika Pandawa dan Kurawa berperang. Kurawa pasti kalah hancur total. Tetapi Sengkuni berpendapat bahwa Kurawa pasti menang karena jumlahnya 100 orang dan Pandawa hanya lima orang saja. Sengkuni hanya melihat soal kuantitas, jumlah yang banyak. Sedangkan Resi Bisma dengan penerawangan hatinya, melihat kualitas kekuatan Para Pandawa. Kendati hanya lima orang tetapi mereka sakti mandraguna. Di segala medan pertempuran, belum pernah Pandawa terkalahkan. Karena Kurawa lebih mendengar bujukan Sengkuni, maka hancurlah mereka di medan Kuru Setra. Mereka hancur lebur, ludes keles. Kuantitas atau banyaknya orang tidak menjamin sebuah kemenangan. Pelajaran yang kita petik dari kisah di atas adalah bahwa tidak semua hal bisa dihitung-hitung secara kasat mata. Bukan hanya melihat jumlah, banyaknya yang dilihat oleh mata. Tetapi seperti Resi Bisma kita harus bisa melihat dengan kacamata hati, intuisi dan rasa perasaan yang dalam. Herodes tidak menggunakan hatinya ketika melihat fenomena kehadiran dan karya-karya Yesus. Ia sering mendengar tentang kehebatan Yesus. Ia terombang-ambing dan cemas oleh apa yang dilihat orang. Ketakutan membuat mata hatinya buram. Ada yang mengatakan Yohanes Pembaptis telah bangkit. Ada orang yang mengatakan bahwa Elia muncul kembali; atau nabi-nabi yang telah bangkit. Herodes hanya melihat dengan mata lahiriah. Ia tidak menggunakan mata batinnya. Ia mencari kebenaran tetapi tak mampu menangkapnya. Kecemasan dan ketakutan menghalangi mata hatinya. Seandainya ia mampu melihat Yesus dengan hatinya, pasti ia memperoleh ketenangan batin dan keselamatan jiwa. Bagaimanakah dengan diri kita? Mampukah kita menangkap kebenaran Yesus dengan mata hati kita? Rendahkanlah hatimu dan bukalah mata batinmu, Yesus akan menganugerahkan pengalaman iman yang mengagumkan. Sebagaimana pernah dikatakan Yesus, "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil.” Jalan-jalan ke waduk Wonogiri, Ada ikan paus sampai ikan teri. Mengasah intuisi membuka hati, Dengarkanlah bisikan suara ilahi. Wonogiri, mendengarkan dengan hati Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 25 September 2024
Rabu Biasa XXV Lukas 9: 1-6 DULU sebelum ditugaskan di pedalaman Kalimantan, ada rasa takut menjalani misi perutusan. Takut karena tidak tahu medan. Tidak punya bayangan sama sekali tentang daerah pedalaman. Yang ada hanya kegelapan. Takut karena tidak punya saudara atau kenalan siapa-siapa. Tidak ada jaminan dan pegangan apa pun. Namun setelah menginjakkan kaki di Bumi Kayong, Tanah Ketapang, ketakutan dan kekawatiran itu mulai hilang. Apa yang disabdakan Yesus dalam bacaan hari ini sungguh terwujud. Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk memberitakan Injil dan menyembuhkan orang. Ia berpesan kepada mereka, "Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju.” Mengapa Yesus melarang para murid membawa apa-apa, bekal, tongkat, roti atau uang, atau pakaian yang cukup? Semuanya itu sudah disiapkan oleh Tuhan sendiri. Kita tidak perlu repot-repot memikirkannya. Yang dikehendaki Tuhan hanyalah fokus pada tugas perutusan. Mewartakan Injil dan menyembuhkan orang-orang. Apa saja yang kita perlukan akan disediakan oleh Tuhan. Demikianlah ketakutan-ketakutan pada awal perutusan tidak terjadi. Dengan aneka macam cara Tuhan membantu dan melancarkan tugas pelayanan. Jika membutuhkan makan minum, umat dengan murah hati memberi. Jika membutuhkan tempat menginap di stasi-stasi, sudah disediakan. Bahkan ketika terjadi kecelakaan dan kesulitan di jalan, ada orang-orang yang diutus Tuhan untuk menolong dan membereskan. Saya kadang tidak habis pikir, sebegitunya Tuhan memelihara dan menjamin para pekerjanya. Tidak ada kekurangan sedikit pun bahkan selalu berlimpah. Kalau kita percaya dan mau melaksanakan sabda Tuhan, maka segalanya akan dicukupi oleh Tuhan. Yang penting fokus pada tugas perutusan. Tidak perlu kawatir akan tetek bengek kebutuhan kita. Tuhan sudah memperhitungkan-Nya dengan mengutus orang-orang baik di sekitar kita. Jalan-jalan di Gang Pinggir, Makan pecel daun kenikir. Jangan takut, jangan kawatir, Segalanya sudah Tuhan pikir. Wonogiri, jangan takut.... Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 24 September 2024
Selasa Biasa XXV Lukas 8: 19-21 KETIKA perang Baratayuda hampir mendekat, Kresna membujuk Karna agar bergabung dengan saudara-saudaranya, Pandawa. Kresna menyakinkan bahwa Karna adalah kakak tertua dari Pandawa yang lahir dari Ibu Kunti. Tetapi Karna menolak. Baginya ibu yang sesungguhnya adalah Dewi Nada, karena dialah yang memelihara, membesarkan dan menghidupinya. Kendati Kunti secara alamiah melahirkan Karna, tetapi Kunti membuang bayinya di Sungai Gangga dan ditemukan oleh Dewi Nada yang mengasuhnya. Kresna terus membujuknya, tetapi Karna tetap kukuh bahwa Kunti bukanlah ibunya. Kendati darah dan dagingnya berasal dari Dewi Kunti. Namun hati dan perasaannya justru tertambat pada Dewi Nada yang memeliharanya. Bagi Karna, seorang ibu bukan cuma dia yang melahirkan anak, tetapi orang yang mampu melaksanakan darmanya sebagai pemelihara kehidupan. Diskusi Yesus dan orang banyak tentang siapa ibu-Nya, ditegaskan oleh Yesus bahwa ibu atau saudara-saudarinya adalah mereka yang mendengarkan firman Allah dan melaksanakannya. Yesus menjawab mereka: "Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya." Yesus memperluas arti dan makna seorang ibu. Status seorang ibu tidak hanya diakui karena pernah melahirkannya, tetapi ibu yang sesungguhnya adalah mereka yang mendengarkan sabda Tuhan dan melakukannya dalam praktek nyata. Relasi persaudaraan tidak dibatasi oleh hubungan darah semata. Tetapi makin diperluas maknanya yakni siapa pun yang tekun dan setia mendengarkan sabda Tuhan dan melaksanakannya. Mereka ini adalah saudara-saudara Tuhan. Persaudaraan dengan semua orang yang melakukan kehendak Tuhan dinyatakan oleh Yesus sebagai satu asal muasal dari seluruh umat manusia. Kita semua ini berasal dari Rahim yang sama yakni Sang Pencipta. Oleh karena itu relasi tidak hanya dibatasi oleh hubungan darah, namun diperluas oleh satu Rahim Kehidupan yang sama yakni Tuhan Sang Pencipta. Maka siapa pun yang melakukan kehendak Tuhan dalam hidupnya, mereka itu adalah saudara-saudari kita. Keliling kota numpang pedati, Singgah di pasar beli boneka. Janganlah kita saling berkelahi, Karena kita semua bersaudara. Wonogiri, Torang Basodara Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 23 September 2024
PW. St. Pius dari Petrelcina (Padre Pio) Lukas 8: 16-18 FILOSOFI Jawa yang menyatakan bahwa “urip iku urup” mau menjelaskan bahwa hidup itu harus berdaya guna. Kalau diterjemahkan filosofi Jawa ini berarti hidup itu harus menyala. Maksudnya adalah agar hidup (urip) kita berguna atau mampu memberi “urup” atau nyala yakni manfaat kepada dunia sekitarnya. Sebagaimana sebuah cahaya yang ditaruh di atas gantang agar menerangi sekitarnya, demikianlah hidup kita juga harus kita jalani agar dapat menerangi dunia sekitarnya. Hidup kita bermanfaat bagi kebaikan dunia. Yesus memberi gambaran tentang hidup itu harus menyala atau bermanfaat bagi dunia sekitarnya dengan berkata, "Tidak ada orang yang menyalakan pelita lalu menutupinya dengan tempayan atau menempatkannya di bawah tempat tidur, tetapi ia menempatkannya di atas kaki dian, supaya semua orang yang masuk ke dalam rumah dapat melihat cahayanya.” Hidup itu harus berguna. Apakah hidup seekor “laron” atau anai-anai itu berguna? Kalau awal musim hujan mengguyur bumi, biasanya laron atau anai-anai akan muncul dari lubang persembunyiannya. Ratusan bahkan ribuan laron terbang ke udara menikmati kebebasan. Tetapi dalam sekejap mereka akan disambar oleh burung-burung menjadi makanannya. Atau, kalau merayap di tanah, mereka akan dipatuk ayam, dimakan cicak atau binatang lainnya. Manusia pun juga senang menangkapnya untuk dijadikan lauk penuh protein. Ada juga laron yang tanggal sayap-sayapnya. Mereka akan mencari teman senasib dan berjalan beriringan untuk saling menolong dan menyelamatkan diri mencari lubang persembunyian yang aman. Mereka berdua berjalan seperti kereta api saling terikat satu sama lain. Tolong menolong sebagai teman senasib. Ternyata hidup laron yang hanya sesaat itu sangat berguna bagi lingkungan sekitarnya. Kendati hidup laron atau anai-anai itu hanya sesaat dan sekejap, tetapi mereka telah memberi manfaat bagi sekitarnya. “Urip iku Urup” itulah yang dihayati si laron atau anai-anai. Muncul di bumi hanya sebentar, terbang menikmati kebebasan sesaat. Habis itu lalu lenyap. Mereka memberi kehidupan bagi makhluk lainnya. Apakah hidup kita juga bisa memberi nyala manfaat bagi dunia sekitarnya? Apakah kita sudah menghayati filosofi ”Urip iku Urup” dalam hidup kita? Naik jet pribadi menuju Canada, Untuk membeli tas dari kulit buaya. Hidup akan penuh warna bahagia, Jika kita mau berbagi dengan sesama. Wonogiri, Urip iku Urup Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 22 September 2024
Minggu Biasa XXV Markus 9: 30-37 KENDATI tidak berhasil meraih medali emas Olimpiade, tetapi dua atlet cantik yakni Nikki Hamblin (Zelandia Baru) dan Abbey D'Agostino (USA) memperoleh medali langka yaitu The Pierre de Coubertin atas nilai-nilai sportivitas yang mereka teladankan. Dua gadis ini berlari dalam ajang 5000 meter putri di Olimpiade Rio de Janeiro, Brasil. Lomba baru berjalan beberapa lap saat Hamblin tersandung kaki pelari di depannya. Dia limbung terjatuh dan mengganjal D'Agostino yang berada di belakangnya. Keduanya lantas jatuh tersungkur. D'Agostino ingin melanjutkan larinya tetapi melihat Hamblin tertelungkup ia mendekatinya dan mengajaknya melanjutkan lari. Namun ketika mereka mulai berlari, justru D’Agustino kesakitan luar biasa. Dia mengalami cedera lutut. Kendati tertatih-tatih mereka saling menyemangati dan berlari kecil sampai garis finis. Walau gagal menjadi juara, tetapi mereka dianugerahi medali kehormatan karena menjaga esensi olimpiade yang sebenarnya yakni sportivitas, persaudaraan dan belarasa. Kebanyakan dari kita berjuang sekuat tenaga ingin menjadi nomor satu. Bahkan kadang menggunakan cara-cara yang tidak sportif. Memukul wasit, bermain curang, menjegal pemain lain, menyuap panitia lomba. Yang penting dapat juara. Itulah yang diperdebatkan murid-murid Yesus di tengah jalan ketika Dia sedang mengajar mereka. Para murid berdebat tentang siapa yang terbesar diantara mereka. Mereka berebut menjadi yang terkemuka, juara nomor satu. Tetapi Yesus mengajarkan nilai yang lebih esensial. "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya." Bukan soal juara satu, posisi top, kedudukan penting, status terhormat yang diutamakan, tetapi esensi atau nilai-nilai keutamaan hiduplah yang lebih penting. Hamblin dan D’Agustino adalah contohnya. Komite Olimpiade dunia menghormati mereka bukan karena prestasi juaranya, tetapi karena memperjuangkan esensi keutamaan moral dari semangat olimpiade itu sendiri. Tidak seperti para murid yang mengejar siapa yang terkemuka dan berposisi nomor satu, tetapi Yesus mengajak kita semua lebih mengutamakan nilai-nilai kerendahan hati, pelayanan, saling mengasihi dan mendahulukan kepentingan bersama. Jalan pengosongan diri sebagaimana Yesus yang merendahkan Diri-Nya itulah cara yang ditanamkan bagi para pengikut-Nya. Beranikah kita mengosongkan diri demi keselamatan bersama? Jangan ikuti hukum rimba, Siapa kuat dia yang juara. Ikutilah hukum kasih cinta, Mau berkorban demi sesama. Wonogiri, menjadi pelayan bagi semua Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 21 September 2024
Pesta St. Matius, Rasul dan Penulis Injil. Matius 9:9-15 DUNIA perpajakan dan bea cukai memang tempat yang basah. Kalau tidak hati-hati, orang bisa tergiur melakukan pungli, suap, pencucian uang, pemerasan dan tindakan kriminal untuk memperkaya dirinya sendiri. Kita masih ingat beberapa tahun lalu, ada petugas pajak yang gajinya per bulan hanya 12,1 juta rupiah tetapi bisa memiliki uang simpanan di rekeningnya sejumlah 25 milyar rupiah. Ada pula seorang Kepala Bagian Umum Kantor Pajak yang memiliki harta senilai 56 milyar rupiah (diduga dari hasil gratifikasi), baru terungkap setelah kasus penganiyaan yang dilakukan oleh putranya. Hari ini kita merayakan pesta St. Matius. Ia pada awalnya dikenal sebagai pemungut cukai. Petugas ini dibenci oleh masyarakat Yahudi dan digolongkan sebagai pendosa, sama seperti para pembunuh, perampok, pelacur dan lainnya. Ada tiga alasan mengapa mereka dibenci oleh masyarakat. Pertama, ditariknya pajak membebani rakyat. Kedua, pemungut cukai dianggap musuh rakyat karena berpihak pada penjajah Romawi. Ketiga, cara yang dilakukan oleh pemungut pajak tidak adil dan kejam. Itulah yang dibenci oleh rakyat. Demikianlah perlakuan rakyat kepada Lewi Matius si pemungut cukai. Ia digolngkan sebagai pendosa dan disingkiri oleh masyarakat. Maka ketika Yesus makan bersama di rumah Matius, orang banyak memprotes dan menyalahkan Yesus. "Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?" Yesus memberi jawaban tegas, "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa." Yesus datang bukan untuk menghukum, tetapi untuk menyelamatkan, mencari yang hilang dan menyembuhkan. Kita mungkin sering bersikap seperti kaum Farisi; merasa paling benar dan senang menghakimi orang. Yesus tidak ingin menghakimi tetapi Ia ingin mengasihi. Dia mendekati dan memanggil yang lemah, disingkirkan dan dibenci masyarakat. Perjumpaan dengan Yesus mengubah hidupnya. Matius tumbuh dalam kasih Yesus. Ia bertobat dan memberitakan Injil. Kita bisa mengenal Tuhan karena tulisan dan karya pewartaannya. Pagi-pagi orang kumpul di lapangan, Ikut jalan sehat dapat hadiah undian. Bukalah hatimu pada sapaan Tuhan, Pasti engkau akan alami kebahagiaan. Wonogiri, marilah kita bertobat Rm. A. Joko Purwanto, Pr |