“Doa merupakan ‘jiwa’ pembaruan ekumenis dan kerinduan akan kesatuan, sekaligus juga landasan dan dukungan bagi segala sesuatu yang oleh Konsili ditegaskan sebagai ‘dialog’. Kemampuan dialog berakar dalam kodrat serta martabat pribadi manusia. Dialog menjadi langkah yang mutlak perlu pada jalan menuju perwujudan diri manusiawi, realisasi diri baik bagi tiap orang-perorangan maupun bagi paguyuban manusiawi. Dialog bukan semata-mata pertukaran gagasan-gagasan. Dalam arti tertentu selalu berupa pertukaran pemberian-pemberian”. (Ut Unum Sint par. 28)
Paus Yohanes Paulus II dikenal sebagai paus dialog. Gambaran ini muncul karena melihat realita kemendesakan kebutuhan serta tantangan bagi dialog di tengah dunia yang semakin berwajah majemuk ini. Perdamaian hanya bisa dicapai melalui dialog. Hal itu berarti adanya kesadaran untuk mengakui serta menerima secara terbuka adanya perbedaan dan dengannya kemudian mencari apa yang dibutuhkan umat manusia, di tengah segala perbedaan yang ada walaupun upaya pencarian tersebut dilakukan di tengah tegangan, tekanan, dan bahkan konflik satu sama lain. Bagi Paus Yohanes Paulus II, dialog yang paling mendasar dan menantang adalah dialog antar umat beragama dan kepercayaan karena dialog tersebut menyentuh hal yang mendasar dan hakiki dalam kehidupan umat manusia yakni relasinya dengan Allah dan kenyataan sebagai insan beriman. Dialog adalah suatu perjumpaan, saling percaya, serta saling menghormati satu sama lain dengan membiarkan Allah hadir agar kita pun dapat membuka diri pada Allah dan membuka diri satu sama lain. Buah dialog yang diharapkan adalah tumbuhnya kesatuan dan persaudaraan satu sama lain serta kesatuan dengan Allah. Dialog adalah panggilan bagi seluruh umat Kristiani sekaligus jalan yang dipilih Gereja sekarang ini. Komitmen Gereja terhadap dialog, kiranya bukan hanya tanggung jawab Tahta Apostolik melainkan termasuk kewajiban Gereja-gereja setempat atau khusus. “Dialog tidak hanya sekedar dilaksanakan, melainkan sungguh menjadi kebutuhan, salah satu prioritas Gereja” (Ut Unum Sint par. 31). “Melalui dialog itu, semua peserta memperoleh pengertian yang cermat tentang ajaran dan perihidup kedua persekutuan, serta penghargaan yang lebih sesuai dengan kenyataan. Begitu pula persekutuan-persekutuan itu menggalang kerja sama yang lebih luas lingkupnya dalam aneka usaha demi kesejahteraan umum menurut tuntutan setiap suara hati Kristiani; dan bila mungkin mereka bertemu dalam doa sehati sejiwa” (Ut Unum Sint par. 32). Ada hubungan erat antara dialog dan doa. Doa yang mendalam menjadikan dialog lebih matang dan berbuah. Doa itu sendiri akhirnya juga menjadi buah dari dialog yang semakin matang. Dialog juga berfungsi sebagai ‘pemeriksaan batin’ (Ut Unum Sint par. 34). Dalam surat pertama Yohanes dikatakan bahwa, “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita” (I Yoh. 1:8). Sabda Kitab Suci ini menyadarkan bahwa diri kita adalah seorang pendosa dan hal ini juga terkait dengan semangat yang akan dibawa dalam dialog. “Kalau dialog itu tidak menjadi pemeriksaan batin, semacam ‘dialog antar suara hati’ dapatkah kita mengandalkan jaminan yang kita terima dari surat pertama Yohanes? “Anak-anakKu, kutulis semuanya kepada kamu, supaya kamu jangan berdosa. Akan tetapi kalau ada yang berdosa, kita memiliki perantara pada Bapa, Yesus Kristus yang benar. Dia itulah tebusan bagi dosa-dosa kita, dan bukan hanya bagi dosa-dosa kita, melainkan juga bagi dosa-dosa seluruh dunia” (Ut Unum Sint par. 34). Kesatuan Kristiani masih mungkin, asal dengan rendah hati kita menyadari bahwa kita telah berdosa melawan kesatuan dan memiliki kerinduan untuk bertobat, bukan hanya meninggalkan dosa-dosa probadi tetapi juga dosa-dosa sosial yang kerapkali menghasilkan perpecahan bahkan memperparah perpecahan. Dialog menjadi suatu dialog pertobatan. Dengan begitu, seperti diungkapkan oleh Paus Paulus VI, artinya menjadi ‘dialog keselamatan’ yang otentik. “Dialog tidak dapat berlangsung melulu hanya pada taraf horisontal, terbatas pada pertemuan-pertemuan, pertukaran pandangan-pandangan atau bahkan berbagi kurnia-kurnia yang khas bagi masing-masing jemaat. Dialog terutama mempunyai bobot vertikal juga, ditujukan kepada Dia sendiri, yang sebagai penebus dunia dan Tuhan sejarah bagi kita menjadi Pendamaian” (Ut Unum Sint par. 35). Dialog hanya bisa berjalan dalam penghargaan akan segala apa yang merupakan wujud dan tanda karya Roh, yang dalam iman Kristen wujud dan tanda itu dinyatakan secara penuh oleh-Nya berkat Kristus dan dalam Bapa di dalam Gereja tubuh-Nya. Dialog menjadi suatu upaya untuk memecahkan perselisihan. “Dialog merupakan upaya kodrati juga untuk membandingkan pandangan-pandangan yang berbeda, dan terutama untuk memeriksa pokok-pokok perselisihan yang menghambat persekutuan sepenuhnya antar umat Kristiani. Maka dibutuhkan cinta kasih terhadap mitra dialog dan kerendahan hati terhadap kebenaran” (Ut Unum Sint par. 36). Dialog menghadapkan umat Kristiani pada perbedaan-perbedaan pandangan yang nyata dan sesungguhnya mengenai iman. Maka hendaknya setiap perselisihan ditanggapi dengan semangat kasih persaudaraan yang tulus, sikap hormat terhadap tuntutan-tuntutan suara hatinya sendiri dan suara hati mitra dialog, dengan kerendahan hati yang mendalam dan cinta akan kebenaran. Berkah Dalem – Rm. Dhani Pr Catatan kecil: Ut Unum Sint (supaya mereka menjadi satu) merupakan ensiklik yang diterbitkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 25 Mei 1995. Dokumen ini menunjukkan bahwa Gereja Katolik bergerak menuju kesatuan dengan gereja-gereja protestan (ekumenis) Ensiklik merupakan surat Paus sebagai uskup Roma dan pemimpin Gereja katolik dunia yang berisi ajaran iman dan kesusilaan.
0 Comments
|