Puncta 31 Maret 2025
Senin Prapaskah IV Yohanes 4: 43-54 INJIL Yohanes sering menggunakan dua kata yang saling berhubungan secara logika ini, yaitu kata 'Melihat' dan 'Percaya.' Kata sebaliknya adalah ‘Tidak Melihat dan Tidak Percaya.’ Ini dikatakan Yesus kepada Pegawai Istana yang datang kepada-Nya, "Jika kamu tidak melihat tanda dan mujizat, kamu tidak percaya." Memang manusia sering membuat keputusan dengan menggunakan akal budinya. Maka dia membutuhkan pengalaman inderawi agar bisa melihat, mendengar, meraba, dan merasakannya. Kalau tidak ada pengalaman inderawi orang gampang tidak percaya. Padahal dalam diri kita juga diberi intuisi. Intuisi adalah gagasan yang muncul berdasarkan naluri tanpa pertimbangan secara logis. Gagasan atau ide itu kemudian menjadi pertimbangan singkat dalam mengambil keputusan tanpa perlu melakukan analisis atau proses berpikir yang panjang dengan premis-premis yang diperlukan. Kepada Pegawai Istana dari Kapernaum itu Yesus memberi pelajaran tentang “Tidak melihat namun percaya.” Anak sang pegawai itu sakit hampir mati. Ia datang kepada Yesus waktu masih di Galilea. Ia minta agar Yesus datang menyembuhkannya. Pegawai istana itu berkata kepada-Nya: "Tuhan, datanglah sebelum anakku mati." Yesus tidak pergi ke Kapernaum dulu. Tetapi dari tempatnya berada, Ia langsung berkata, "Pergilah, anakmu hidup!" Orang itu percaya akan perkataan Yesus kepadanya, lalu pergi. Tanpa harus melihat Yesus menumpangkan tangan atau berbuat sesuatu, orang itu percaya dan anaknya sudah sembuh. Yesus tidak perlu hadir langsung di tempat. Tetapi dengan sabda-Nya, Yesus mampu menyembuhkan. Jadi, percaya tidak selalu harus melihat dulu. Percaya tidak harus didasari dengan pengalaman inderawi dulu. Percaya hanya membutuhkan keterbukaan hati kepada Tuhan. Seperti Pegawai Istana di Kapernaum itu, dia percaya walau Yesus tidak pergi ke rumahnya. Anaknya bisa sembuh. Apakah kita bisa percaya tanpa harus melihat tanda atau mukjizat, bahwa Yesus berkuasa atas seluruh kehidupan kita? Bawa oleh-oleh dari Jakarta, Untuk lebaran di desa. Marilah kita semua percaya, Tuhan mampu atas segala-galanya. Wonogiri, nunggu fitrah dan ketupat lebaran Rm. A. Joko Purwanto, Pr
0 Comments
Puncta 30 Maret 2025
Minggu Prapaskah IV Lukas 15:1-3.11-32 I'm comin' home, I've done my time Now I've got to know what is and isn't mine If you received my letter telling you I'd soon be free Then you'll know just what to do If you still want me. If you still want me Whoa, tie a yellow ribbon 'round the old oak tree. It's been three long years Do ya still want me? (still want me). If I don't see a ribbon 'round the old oak tree I'll stay on the bus. Forget about us. Put the blame on me If I don't see a yellow ribbon 'round the old oak tree. Sepenggal lagu ini menggambarkan kisah nyata dari seorang suami yang ditulis oleh Surat Kabar The New York Time tahun 1971. Pria ini menikahi wanita cantik. Sayangnya dia memperlakukan istrinya dengan semena-mena. Ia sering mabuk, melakukan KDRT terhadap anak dan istrinya. Ia mencuri uang istrinya dan pergi ke kota besar mengadu nasib. Sayangnya usahanya gagal. Kebiasaan mabuk, sex, drugs tidak hilang. Ia mulai terlibat kriminal, memalsu cek kosong. Mulai menipu banyak orang. Polisi menangkapnya dan dia dihukum penjara selama 3 tahun. Ketika hampir usai masa hukumannya, ia menulis surat kepada istrinya. Dia berharap masih boleh pulang ke rumahnya. Walau ia tahu mungkin sudah terlambat. “Sayang, engkau tidak perlu menunggu aku. Namun jika engkau masih ada perasaan padaku, maukah kau nyatakan? Jika kau masih mau aku kembali padamu, ikatkanlah sehelai pita kuning bagiku, pada satu-satunya pohon beringin tua di pusat kota. Apabila aku lewat dan tidak menemukan sehelai pita kuning, tidak apa-apa. Aku akan tahu dan mengerti. Aku tidak akan turun dari bis, dan akan terus menuju Miami. Dan aku berjanji aku tidak akan pernah lagi menganggu engkau dan anak-anak seumur hidupku.” Demikian isi suratnya. Hari yang ditunggu tiba. Ia naik bus pulang ke kotanya. Ia minta kepada sopir bus untuk pelan-palan saat melewati White Oak. Semua penumpang menunggu dengan berdebar-debar. Pria itu tidak melihat selembar pita kuning tergantung di pohon. Tetapi dia melihat ratusan pita kuning terikat di setiap ranting pohon beringin tua. Semua penumpang bus bersorak-sorak. Air mata tak terbendung dari semua yang melihatnya. Pria itu turun dari bus. Ia melihat seorang wanita berlari kepadanya, merangkul dan memeluknya dalam sukacita yang membuncah. Anak-anaknya menciumnya penuh kerinduan. Anak yang hilang telah kembali dan kasih Tuhan tak pernah berhenti. Ia selalu menunggu dengan hati yang siap mengampuni. Cerita Yesus tentang kasih Allah yang mengampuni terus terjadi sampai saat ini. Allah itu Kasih, jangan sungkan dan tunda-tunda datang kepada-Nya. Menikmati ombak di Pantai Drini, Sambil menunggu turunnya matahari. Allah adalah Bapa yang mengasihi, Bukan hakim yang tak punya iba hati. Wonogiri, Aku datang ya Tuhan Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 29 Maret 2025
Sabtu Prapaskah III Lukas 18: 9-14 BAGONG marah kepada Prabu Baladewa karena Semar, bapaknya dihina oleh Baladewa dengan sebutan, “Wong kere sekeng gedibal pitulikur. Wong elek nyolok mripat, mung batur, ora duwe drajat pangkat luhur.” Kalimat itu adalah kalimat penghinaan terhadap rakyat jelata dan orang kecil yang tidak punya pangkat atau kedudukan terhormat. Baladewa seorang raja merasa berkuasa dan merendahkan Semar, abdi para ksatria. Oleh Bagong dijelaskan siapa itu Semar. Walaupun rakyat jelata dan seorang hamba tetapi Semar adalah Dewa Ismaya yang menjadi penasehat para ksatria yang jujur dan baik hidupnya. Jangan pernah menghina dan merendahkan orang kecil dan miskin. Pelajaran berharga dari penghinaan kepada penjual es teh. Walaupun tokoh terkenal dan terhormat tetapi kalau perilakunya tidak etis, menghina dan merendahkan, masyarakat umum akan mengadilinya. Kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini: "Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.” Yesus menggambarkan bagaimana sikap orang Farisi dan pemungut cukai dalam berdoa kepada Tuhan. Orang Farisi itu menyombongkan dirinya. Yang disebut selalu aku, aku, aku. Ia membandingkan dirinya dengan orang lain. Sebaliknya pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” Yesus menegaskan, “Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan." Nilai moral yang kita petik adalah jangan suka menyombongkan diri. Di hadapan Tuhan kita semuanya sama. Banyak orang pergi mudik lebaran, Jangan lupa bawa bekal perjalanan. Yang sombong akan direndahkan, Yang hina dina akan ditinggikan. Wonogiri, belajarlah rendah hati Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 28 Maret 2025
Jumat Prapaskah III Markus 12: 28b-34 PARA Ahli Taurat sering memandang Yesus dan pengajaran-Nya sebagai perusak hukum dan adat istiadat Yahudi yang sudah ditanamkan sejak lama. Mereka berseberangan dan memandang Yesus berpihak pada kaum pendosa, rakyat jelata, dan kaum pinggiran. Kebanyakan Para Ahli Kitab memandang sebelah mata ajaran Yesus dan para pengikut-Nya. Tidak jarang mereka memusuhi-Nya karena dianggap sebagai perusak tatanan dan pemberontak. Pasti banyak dari pihak mereka yang membenci, menjelek-jelekkan dan memusuhi serta ingin menghancurkan-Nya. Tetapi dalam perikope ini ada seorang Ahli Kitab yang datang dengan maksud baik. Ia membuka hati secara positif. Ahli Taurat itu bertanya tanpa maksud untuk menjatuhkan atau mencobai Yesus. Ia bertanya dengan jujur, ”Manakah hukum yang paling utama?” Masih ada orang yang terbuka hatinya di antara sebagian besar yang anti terhadap Yesus. Hal itu nampak dari ungkapannya setelah Yesus menerangkan padanya hukum yang utama. "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini." Ahli Taurat itu tidak membantah, tidak menolak, tidak menanggapi secara negatif, tetapi membenarkan perkataan-Nya. "Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia,” jawabnya. Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: "Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!" Tidak jauh itu berarti sudah dekat tetapi belum juga sampai, belum masuk ke dalam Kerajaan Allah. Untuk bisa masuk, orang harus melaksanakan Hukum Kasih dalam praktek yang nyata kepada sesamanya. Kita tidak cukup hanya hapal ayat, tahu tentang hukum, paham tentang aturan, pinter kotbah, tetapi kita harus sampai pada pelakasanaan secara nyata dalam hidup sehari-hari. Itulah yang justru paling sulit. Jalan ramai jelang lebaran, Pasar tumpah di tengah jalan. Hati terbuka pada kebaikan, Hidup pasti bahagia dalam Tuhan. Wonogiri, penuhi hatimu dengan kebaikan Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 27 Maret 2025
Kamis Prapaskah III Lukas 11: 14-23 KETIKA Pandawa diketemukan kembali setelah dikabarkan mati akibat kebakaran di Balai Sigala-gala, Adipati Destarastra memanggil mereka ke Hastinapura. Destrarasta ingin menghadiahkan tanah perdikan di Wana Wisamarta. Mendengar berita itu, Gendari marah kepada Destarastra, suaminya. Ia tidak setuju dengan pemberian hutan belantara itu. Gendari merasa irihati karena pemberian itu. Dendam dan irihati sudah tertanam sejak ia jadi putri boyongan dan diserahkan sebagai istri untuk Destarastra. Padahal ia berharap menjadi istri Pandu. Gendari menuduh Destarastra pilih kasih. Anak-anaknya sendiri tidak dipikirkan, tetapi anak-anak Pandu justru diberi hadiah tanah perdikan. Irihati ini terus disimpan menjadi dendam kepada anak-anak Pandu. Ia bersumpah untuk selamanya anak-anaknya akan selalu memusuhi Pandawa dan mengarah kematian mereka. Irihati membuat segala tindakannya didasari sikap benci dan dendam membara. Ketika Yesus mengusir setan yang membisukan, orang banyak kagum. Tetapi ada juga yang irihati kepada-Nya. Mereka menuduh Yesus menggunakan kuasa Beelzebul, Penghulu setan. Ada pula yang meminta suatu tanda dari sorga kepada-Nya, untuk mencobai Dia. Orang irihati memandang segala sesuatu dengan kacamata buruk dan jahat. Yang diinginkan hanyalah kejatuhan dan kehancuran musuhnya. Maka mereka ingin mencobai dan menjatuhkan Yesus. Yesus menjawab cobaan dan tantangan mereka dengan menjelaskan, bagaimana mungkin sebuah kerajaan Iblis saling bertentangan. Pastinya mereka akan runtuh sendiri. Kerajaan yang saling berperang sendiri akan hancur berantakan. "Setiap kerajaan yang terpecah-pecah pasti binasa, dan setiap rumah tangga yang terpecah-pecah, pasti runtuh. Jikalau Iblis itu juga terbagi-bagi dan melawan dirinya sendiri, bagaimanakah kerajaannya dapat bertahan? Sebab kamu berkata, bahwa Aku mengusir setan dengan kuasa Beelzebul.” Apakah irihati juga menguasai hati kita sehingga kita tidak mampu melihat kebaikan orang lain dan hanya ingin mengarah kejatuhan sesama? Waspadalah dengan sikap irihati karena akan menjatuhan diri sendiri. Dari pelabuhan Bagan Siapi-api, Naik kapal menuju Pulau Roti. Jika kita memendam rasa iri, Hidup laksana bensin dekat api. Wonogiri, jangan suka irihati Rm. A.Joko Purwanto, Pr Puncta 26 Maret 2025
Rabu Prapaskah III Matius 5:17-19 ORDE BARU telah merumuskan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 yang menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila. Namun produk hukum ini tidak berlaku lagi karena Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 telah dicabut dengan Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 dan termasuk dalam kelompok Ketetapan MPR yang sudah bersifat final atau selesai dilaksanakan menurut Ketetapan MPR No. I/MPR/2003. Tanpa ada pedoman tentang kehidupan berbangsa dan bernegara, kita sekarang menghadapi carut marutnya kehidupan bersama. Apa yang telah dirumuskan dengan baik, dihapus tanpa diberi pedoman baru berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Yesus datang bukan untuk menghapuskan Hukum Taurat. Ia datang untuk menggenapinya. “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya,” Kata-Nya tegas. Bahkan secara tegas Yesus menggarisbawahi bahwa barang siapa meniadakan salah satu perintah Taurat, sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkan demikian kepada orang lain, menduduki tempat yang paling rendah dalam Kerajaan Surga. Apa yang kurang dalam Hukum Taurat adalah pelaksanaan dan pengamalannya. Taurat bukan sekedar aturan-aturan tertulis. Tetapi lebih dari itu adalah amalan dan penghayatan kongkret dalam hidup sehari-hari. Taurat akan berarti jika perilaku dan sikap hidup manusia benar-benar dijiwai olehnya. Dengan demikian Taurat menjadi sumber inspirasi yang menuntun orang kepada kebaikan dan menjadi sumber moral dalam bertindak dan berbuat dalam relasi sosial. Jika demikian orang akan menduduki tempat tertinggi di dalam surga. Demikian juga dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai itu bukan sekedar indah tertulis sebagai pedoman, tetapi bermakna jika dihayati dan diamalkan dalam hidup sehari-hari. Sayangnya, orang zaman sekarang sudah lupa apa itu Eka Prasetya Pancakarsa. Setiap hari ikut penataran P empat. Harus menghapal butir-butir dan ayatnya. Hidup kita akan penuh dengan berkat, Kalau dapat melaksanakan kehendak-Nya. Wonogiri, menghayati dan mengamalkan Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 25 Maret 2025
Hari Raya Kabar Sukacita Lukas 1: 26-36 KONON ada seorang raja dari Malawapati yang bernama Angling Dharma memiliki ilmu kesaktian yang bernama Aji Gineng. Ilmu ini membuat Angling Dharma mampu mengetahui bahasa hewan. Ketika berburu di hutan, Angling Dharma melihat Nagagini, istri gurunya berselingkuh dengan Ular Sampar. Angling Dharma marah melihat tindakan mereka yang tidak sepantasnya. Ia melepaskan panahnya dan membunuh Ular Sampar. Nagagini marah dan membuat laporan palsu kepada suaminya. Naga Bergola ingin menghukum Angling Dharma. Ia menyusup di istana menjadi seekor cicak. Ia mendengar percakapan Angling Dharma dengan Setyawati istrinya bahwa Nagagini berselingkuh dengan Sampar. Naga Bergola tidak jadi menghukum raja yang benar dan bijaksana itu, tetapi justru memberikan ilmu Aji gineng kepadanya. Kemudian ia moksa ke alam kaswargan. Untuk mengetahui kehidupan dunia hewan, maka manusia harus memahami kehidupan satwa. Dalam Injil dikatakan “Firman telah menjadi manusia.” Firman itu adalah Allah. Allah menjadi manusia untuk menyelamatkan dan menebus kita dari dosa. Agar kehendak Allah dipahami oleh manusia, maka Allah menjadi manusia. Kabar Allah yang ingin menjadi manusia itu disampaikan Malaikat Gabriel kepada Maria. Allah ingin memenuhi janji-Nya yang telah disampaikan sejak zaman dahulu kala melalui para nabi-Nya. Maria tentu saja, seperti kita semua tidak memahami rencana dan kehendak Allah itu. Kita tidak mampu menangkap misteri ilahi itu. Maria berkata, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” Untuk itulah Allah menjadi manusia, agar rencana dan kehendak-Nya bisa ditangkap, dipahami oleh manusia. Bagi Allah tidak ada yang mustahil. Kehendak-Nya pasti terlaksana. Kita belajar dari semangat Maria. “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu itu.” Kita pantas bersyukur karena kesediaan Maria, Yesus Allah Putra menjadi manusia. Allah sungguh hadir di tengah-tengah kita. Kepasrahan dan keyakinan Maria memungkinkan rencana Allah terwujud. Tak ada yang mustahil di mata Allah. Marilah kita belajar sebagaimana Perawan Maria yang berani pasrah dan percaya kepada Tuhan. Lebaran sudah hampir tiba, Tak ada tunjangan hari raya. Kabar keselamatan bagi kita, Allah menjelma jadi manusia. Wonogiri, Aku ini hamba Tuhan Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 24 Maret 2025
Senin Prapaskah III Lukas 4: 24-30 KALAU ada orang sukses atau terkenal, kita seringkali “ngaku-ngaku” dekat dengan tokoh itu. “Oh, dia itu masih saudara kami. Dia itu satu kampung dengan kami. Dia angkatan kami di Seminari.” Begitu juga orang-orang Nasaret ketika memandang Yesus yang sudah terkenal berkeliling ke desa-desa dan kota-kota, membuat mukjizat dimana-mana. Mereka mengenal dekat bahkan sanak saudara-Nya mereka tahu. Mereka takjub dan heran sewaktu Yesus mengajar di rumah ibadat di kampung-Nya. Mereka ingin agar Yesus berkarya di kampung-Nya saja, mengharumkan nama kampung yang dinilai miring oleh sebagian orang. Nada negatif atas Nasaret terungkap dari Natanael yang berkata, “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nasaret?” Maka orang Nasaret ingin Yesus dengan karya-Nya memperbaiki citra kota Nasaret. Mereka ingin membatasi karya keselamatan hanya untuk orang Nasaret saja. Yesus menolak hal itu. Karya keselamatan Allah untuk segala bangsa tanpa dibatasi kota, bangsa, budaya, agama dan bahasa. Menjawab kemauan orang sekampun-Nya itu Yesus mengatakan pepatah yang sudah dikenal luas, “Tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.” Ia menunjukkan buktinya yaitu Nabi Elia dan Nabi Elisa. Dua nabi ini justru menyelamatkan orang-orang asing bukan orang sebangsanya sendiri. Hal itu menunjukkan bahwa karya keselamatan Allah tidak dibatasi hanya untuk kelompok tertentu saja. Kasih Allah itu untuk segala bangsa bukan terkotak-kotak hanya untuk Israel atau bangsa tertentu saja. Pikiran primordialis dan terkotak-kotak ini masih hinggap di otak kita juga. Seolah kita merasa paling benar. Kelompok kita paling suci dan saleh. Orang atau kelompok lain salah. Mereka yang tidak sepaham lalu dimusuhi, dibenci dan disingkirkan. Kalau demikian kita belum memahami betul siapa sesungguhnya Allah. Mungkin itu Allah hasil ciptaan kita sendiri. Tidak ada sorak-sorak bergembira, Saat Indonesia lawan Australia. Kalau Allah menuruti kemauan kita, Mungkin itu Allah buatan manusia. Wonogiri, jangan suka numpang tenar Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 23 Maret 2025
Minggu Prapaskah III Lukas 13: 1-9 LAGU yang berjudul “Hidup ini adalah Kesempatan” menggambarkan bahwa Tuhan selalu memberi kesempatan kepada kita untuk bertobat dan menjadi berkah bagi orang lain. Salah satu syair lagu tersebut berbunyi: “Hidup ini adalah kesempatan/ Hidup ini untuk melayani Tuhan/ Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan bri/ Hidup ini harus jadi berkat. Oh Tuhan pakailah hidupku/ Selagi aku masih kuat/ Bila saatnya nanti/ Ku tak berdaya lagi/ Hidup ini sudah jadi berkat”. Ebiet G. Ade juga menuliskan lirik yang mirip: “Bila masih mungkin kita menorehkan batin/ Atas nama jiwa dan hati tulus ikhlas/ Mumpung masih ada kesempatan buat kita/ Mengumpulkan bekal perjalanan abadi.” Jangan menyia-nyiakan kesempatan, karena kesempatan tidak datang untuk kedua kalinya. Selagi kita masih bisa berbuat baik, menjadi berkah, maka gunakan kesempatan itu untuk menghasilkan buah. Allah Bapa adalah pemilik kebun. Kita adalah pohon ara yang ditanam. Yesus adalah penggarapnya. Bapa ingin menebang pohon ara yang selama tiga tahun tidak menghasilkan buah. Tetapi si penggarap meminta agar ditunda dulu. “Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!" Seperti pohon yang harus disiangi, dipupuk, dipelihara, kita pun juga harus memelihara hidup dengan pertobatan dan pembaharuan diri. Kita masih diberi waktu oleh Tuhan untuk berbenah diri. Marilah kita pergunakan masa Prapaskah ini dengan sebaik-baiknya. Ada hal-hal yang harus dipotong, dikurangi, dibersihkan dalam diri kita. Pembaharuan hidup perlu agar kita bisa menghasilkan buah yang berlipat. Mumpung masih ada kesempatan, marilah kita pergunakan. Jangan ditunda-tunda. Hidup di pertapaan jadi cantrik, Dengan sukacita selalu melayani. Jangan buang kesempatan baik, Untuk cari bekal perjalanan abadi. Wonogiri, gunakan kesempatan dengan baik Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 22 Maret 2025
Sabtu Prapaskah II Lukas 15: 1-3.11-32 PEPATAH Jawa ini secara harafiah berarti jangan dekat-dekat dengan kerbau yang kotor, nanti akan terkena kotorannya. Nasehat yang mau disampaikan adalah jangan berdekatan atau bergaul dengan orang jahat, nanti kamu akan ketularan sifat-sifatnya. Orang-orang Farisi sudah membuat stempel buruk terhadap pemungut cukai. Mereka dikelompokkan sebagai “Kaum Pendosa.” Orang-orang ini dianggap sebagai “sampah masyarakat” oleh Ahli-ahli Kitab dan Para Farisi. Kelompok ini disingkiri dan dianggap najis atau kafir bagi mereka. Mereka tidak bergaul dengan kaum pendosa. Mereka beranggapan, sekali pendosa selamanya adalah pendosa. Tidak mungkin mereka bertobat menjadi baik. Ketika Yesus bergaul dengan mereka, kaum Farisi tidak senang dan nyinyir. Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: "Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka." Yesus berpandangan beda dengan kaum Farisi. “Orang sakit membutuhkan tabib, bukan orang sehat.” Yesus mendatangi, duduk makan bersama dengan mereka. Sekaligus Ia menerangkan bagaimana sikap Allah terhadap para pendosa. Perumpamaan anak yang hilang mau menekankan sikap Bapa yang baik hati. Ia mengasihi tanpa batas. Siapapun diterima dan dirangkul oleh Allah. Anak bungsu yang bobrok hidupnya dan bejat moralnya tetap diterima. Begitu pun anak sulung yang merasa benar, tidak pernah melanggar perintah, selalu patuh kepada bapanya juga diterima. Orang-orang Farisi seperti anak sulung yang merasa diri paling benar, paling taat dan setia. Oleh Yesus kita diajak untuk mengasihi tanpa membeda-bedakan. Kasih itu murah hati kepada mereka yang kecil, lemah dan miskin. Kita tidak boleh menghakimi seperti kaum Farisi. Sikap Bapa yang murah hati dan pengampun itulah contoh bagi kita semua. Main layang-layang di Pangandaran, Terbawa angin sampai di Jimbaran. Kasih Tuhan tidak membedakan, Kasih-Nya berlaku bagi setiap insan. Wonogiri, mengasihi tanpa pamrih Rm. A. Joko Purwanto, Pr |
Archives
December 2034
Categories |