Istilah Allah Bapa sebenarnya tidak khas kristiani. Agama-agama lain juga mengenalnya. Ada dua hal ketika Allah disebut sebagai Bapa. Pertama, sebutan Allah sebagai Bapa dalam semua agama menunjuk pada gagasan Allah sebagai asal-usul, pemelihara dan yang mengembangkan segala sesuatu yang ada. Kedua, sebutan Allah sebagai Bapa berhubungan dengan tradisi paternalistik ketika peran seorang bapa itu dominan dalam masyarakat.
Dalam Perjanjian Lama, ada begitu banyak paham Allah. Dari sini dapat dilihat bahwa iman akan Allah menjadi pergumulan dalam rentang masa yang panjang. Bagi umat Israel, YAHWE menjadi pengikat mereka (Bdk. Yosua 24). YAHWE dalam Perjanjian Lama inilah yang nantinya disebut ALLAH BAPA Tuhan Yesus Kristus, Allah Bapa kita juga. Pengalaman akan Allah dalam Perjanjian Baru bertumpu pada tokoh Yesus Kristus. Bagaimana pun pengalaman iman Perjanjian Baru ditentukan oleh pengalaman Yesus Kristus akan Allah. Yesus sendiri menyebut Allah sebagai Bapa (Mat 5:48; Mrk 14:36; Luk 23:46; yoh 5:18). Yesus juga mengajarkan kepada kita untuk berdoa kepada Bapa di surga (Mat 6:9). Yesus selalu menghubungkan seluruh hidup, panggilan dan perutusan-Nya pada Allah Bapa (Yoh 4:34; Yoh 10:30). Inilah yang menjadi dasar mengapa kita menyebut Allah sebagai Bapa. Dengan menyebut Allah sebagai Bapa, kita mempertegas dua karakter Allah: Transenden sekaligus Imanen. Transenden berarti Allah adalah sosok yang mahaagung, mahakuasa, dan tidak terselami melampaui kemanusiaan kita. Sedangkan Imanen berarti Allah sungguh dekat dengan perjuangan dan suka-duka hidup manusia. Allah, kita percayai sebagai sosok yang “tinggal di dalam” hidup kita sehingga kita memiliki kemungkinan menjalin relasi secara pribadi dengan-Nya. Demikian, banyak kutipan dalam kitab suci mempertegas sebutan tentang Allah sebagai Bapa (Mat 6:9), Maha kuasa (Mat 26:64) dan Pencipta (Kej 14:19; Rm 1:25). Maka sebutan Bapa terkait erat dengan konsep kemahakuasaan. Kemahakuasaan Bapa juga terkait secara langsung dengan iman bahwa Dialah Pencipta alam semesta dan segala isinya. Kemahakuasaan Allah Istilah Mahakuasa adalah gelar Allah yang dalam bahasa Yunani Pantokrator (=Omnipotens, bhs Latin) atau (Yahwe Zebaoth – Allah Bapa Tentara). Kemahakuasaan Allah bukan ide abstrak mengenai hakekat dan kemampuan Allah yang tidak dapat dibayangkan manusia, tetapi berciri dinamis dan relasional. Artinya, Allah Mahakuasa selalu menampakkan tindakan-Nya dalam sejarah dunia, umat manusia, dan khususnya dalam sejarah keselamatan melalui umat-Nya. Pencipta Langit dan Bumi Penciptaan itu terjadi melulu karena kasih dan kebaikan Allah dan sama sekali bukan karena jasa kita. Dari kisah penciptaan itu dapat dipahami bahwa yang pertama-tama ada adalah keselamatan bukan sejarah dosa. Pada awal penciptaan, semua diciptakan baik adanya, bahkan amat baik, dosa datang kemudian. Oleh karena itu, mestinya hidup ini menggembirakan. Setelah ada dosa pun, Allah senatiasa mengasihi dan berbelas kasih. Bapa-bapa Gereja mengajarkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu tanpa tergantung pada suatu hal atau materi apapun (creatio ex nihilo = penciptaan dari ketiadaan). Ia menciptakan, maka segalanya ada. Ia bersabda maka terjadilah. Hal ini melawan ajaran Plato yang menyatakan bahwa Allah menciptakan sesuatu dari suatu materi yang sudah ada. Selanjutnya, Konsili Florence (abad 15) mengajarkan bahwa Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus menciptakan bersama segala sesuatu. “Allah Bapa melalui Putra dalam Roh Kudus menciptakan kita, meyelamatkan kita, memperbaharui kita”. Sementara itu, Konsili Vatikan I (abad 19) mengajarkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan penuh kebebasan, bukan untuk menambah kemuliaan-Nya tetapi melulu untuk kebahagiaan kita. Oleh Romo Heribertus Budi Purwantoro, Pr
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2034
Categories |