Puncta 28 Februari 2025
Jumat Biasa VII Markus 10: 1-10 ADA begitu banyak kasus perkawinan. Membangun persekutuan hidup antara dua orang yang berbeda itu tidak mudah. Tetapi justru disitulah sebenarnya Allah menghendaki agar kita meniru kesetiaan Allah dalam mengasihi manusia. Problem perkawinan diajukan oleh kaum Farisi kepada Yesus. Mereka hendak mencobai atau menguji apakah pandangan Yesus sama dengan pandangan Musa yang memperbolehkan suami menceraikan istrinya. Dalam pandangan orang Yahudi, perempuan disamakan dengan “benda.” Mirip dengan pandangan bahwa perempuan itu seperti sawah yang bisa dicangkuli kapan saja dan kalau tidak memberi kesuburan, bisa ditinggalkan begitu saja. Karena sebagai benda yang dimiliki, laki-laki mau menceraikan dan punya sawah berapapun tak bermasalah. Perempuan sering menjadi korban karena tidak punya hak apa-apa. Ketika Yesus balik bertanya, apa perintah Musa kepada kamu? Mereka menjawab: "Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai." Mereka tidak menjawab pertanyaan Yesus. Ditanya apa perintah Musa, kok dijawab Musa memberi ijin. Karena mereka mendesak Musa memberi ijin menceraikan istri, maka Yesus mengatakan, "Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu.” Pada awal mulanya tidak demikian. Ketentuan itu diberikan bukan berdasarkan perintah Allah. Yesus menjelaskan cita-cita Allah pada mulanya. Bahwa “Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Jika perkawinan itu bagian dari rencana Allah, maka kita juga ikut ambil bagian dalam mewujudkan cita-cita Allah. Maukah kita melaksanakan cita-cita Allah? Nonton sepakbola yang main Messi, Penonton berdecak kagum tiada henti. Perkawinan adalah peristiwa yang suci, Karena Allah yang amat menghendaki. Baturaja, setia sehidup semati Rm. A.Joko Purwanto, Pr
0 Comments
Puncta 27 Februari 2025
Kamis Biasa VII Markus 9: 41-50 KITA sering menemukan orang-orang yang cacat fisik tetapi hidupnya justru dapat menjadi contoh kebaikan bagi sekitarnya. Anggota tubuh mereka tidak sempurna, tetapi memiliki hati yang jujur, gigih, tangguh, tak kenal putus asa. Mereka sering disepelekan orang lain, tidak dianggap atau dipandang sebelah mata. Tetapi justru pengalaman-pengalaman itu menempa batin dan semangat mereka. Banyak dari mereka yang hidupnya bisa menginspirasi masyarakat. Sebut saja misalnya, Stevie Wonder, Tony Melendes, Helen Keller, Stephen Hawkins, Beethoven sang komposer dunia. Mereka memiliki ketidaksempurnaan fisik tetapi mampu menjadi inspirasi bagi dunia sampai sekarang. Kebahagiaan dan keselamatan tidak tergantung dari kesempurnaan fisik seseorang. Apa gunanya kita memiliki fisik yang sempurna tetapi justru menghambat kita untuk berbuat baik bagi orang lain? Maka Yesus mengingatkan kepada para murid-Nya, “Jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung dari pada dengan utuh kedua tanganmu dibuang ke dalam neraka, ke dalam api yang tak terpadamkan” Yesus menyebut ada anggota badan yang bisa membawa kesesatan; tangan, kaki dan mata. Tetapi mulut juga bisa menyesatkan orang. Dengan kata-kata yang buruk dan menipu banyak orang disesatkan. Maka berhati-hatilah. Lebih baik dengan tangan kudung tetapi masuk ke hidup kekal daripada dengan tangan dua tetapi dicampakkan ke dalam api neraka. Daripada dengan mulut manis tetapi menipu dan menyusahkan orang, lebih baik diam dan tenang namun membuat bahagia orang. Belajarlah seperti Stevie Wonder kendati buta, namun mampu menghibur banyak orang. Tony Melendes, walau tak punya lengan tetapi memberi semangat dan harapan banyak orang. Gunakanlah hidupmu untuk menyelamatkan, bukan menyesatkan. Minum kopi hitam pekat, Biji kopinya sampai melekat. Kalau kata-katamu bikin sesat, Banyak orang akan melaknat. Wonogiri, ultah di Batu Putih Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 26 Februari 2025
Rabu Biasa VII Markus 9: 38-40 SEANDAINYA para Founding Fathers atau Pendiri Bangsa dulu tidak punya wawasan kebangsaan yang luas, mungkin kita tidak memiliki sebuah bangsa yang namanya Indonesia. Kita memiliki banyak suku, etnis, agama, budaya dan adat istiadat yang berbeda-beda. Tetapi mampu disatukan oleh para Pendiri Bangsa menjadi Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Bagaimana jadinya kalau kita masing-masing terlalu egois dengan etnis atau kesukuan kita. Bagaimana jadinya kalau kita tidak mau menghargai adat istiadat, budaya atau tradisi yang lainnya? Pastilah kita akan terpecah belah. Untunglah Para Pendiri bangsa kita ini punya wawasan pikir dan cara hidup yang baik dengan menjunjung kebhinekaan sehingga kita saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Dalam perikop Injil hari ini, para murid Yesus berpikir sempit dan terkotak-kotak. Mereka yang diwakili Yohanes berkata, "Guru, kami lihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita." Murid-murid itu menganggap diri paling baik dan benar dan mengklaim bahwa orang lain tidak boleh berbuat baik demi nama Yesus. Mereka melarang orang lain mengusir setan atas nama Yesus. Tetapi kata Yesus: "Jangan kamu cegah dia! Sebab tidak seorangpun yang telah mengadakan mujizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku. Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.” Kita tidak boleh menutup kesempatan orang berbuat baik atas nama Tuhan. Kebaikan itu milik siapa pun yang percaya pada Tuhan. Allah menanamkan kebaikan kepada setiap orang. Jangan mengembangkan kesombongan rohani bahwa yang paling benar dan baik adalah kita. Kebenaran dan kebaikan itu milik Tuhan, kita hanya dititipi saja. Jadi kita tidak bisa mengklaim diri yang paling baik dan benar. Yesus membuka wawasan kita agar terbuka terhadap kebaikan orang lain. Dimana pun dan kepada siapa pun Allah menanamkan kebaikan. Tiap hari makan porang, Untuk menggantikan nasi. Hargailah kebaikan orang, Maka kita pun akan dihargai. Wonogiri, jangan berpikiran sempit Rm. A. Joko Purwanto Pr Puncta 25 Februari 2025
Selasa Biasa VII Markus 9: 30-37 MUNGKIN sebagian dari kita merasa jijik ketemu binatang yang bernama “Coro” atau kecoa. Kecoa atau “Periplaneta Americana” adalah binatang nocturnal atau binatang yang banyak berkativitas pada waktu malam. Kecoa suka pada kegelapan. Kendati hidupnya di tempat kotor dan menjijikkan, namun badannya kelihatan bersih, mengkilap dan cemerlang. Sayapnya nampak bersih mengkilap. Inilah nilai plus yang menjadi satu-satunya kebanggaan. Tetapi jangan sombong dengan kebanggaan itu. Di balik kesombongan itu ada satu titik kelemahannya juga. Coba perhatikan, kalau kecoa itu sudah terbalik, sayap di bawah dan kakinya di atas, dia sudah tidak berkutik lagi. Tinggal tunggu mati lemasnya saja. Belajar dari kecoa, jangan suka menyombongkan kehebatan, kecemerlangan, kesuksesan. Jangan sombong menjadi yang terkemuka, paling berkuasa dan punya posisi nomor satu. Kebangganmu bisa jadi adalah kelemahanmu. Lihatlah kecoa. Para murid sedang diajar secara khusus oleh Gurunya. Tetapi mereka justru memperbincangkan siapa yang terbesar di antara mereka. Mereka tidak mengerti pengajaran Yesus. Tetapi mereka berebut menjadi yang terbesar. Maka Yesus menasehati, "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya." Yesus sedang menyiapkan penderitaan-Nya, tetapi para murid justru mengejar kebesaran dan kekuasaan. Maka Dia meminta para murid-Nya untuk menjadi pelayan bagi semuanya. Kepemimpinan bukanlah power untuk menindas, memerintah atau menguasai. Tetapi kepemimpinan adalah pelayanan, pengabdian dan kerendahan hati. Semoga kita mampu menjadi pelayan-pelayan yang baik. Bisa menghantar banyak orang mengalami sukacita dan bahagia. Berlari-lari di tengah lapangan, Mencari kelinci yang sedang makan. Mengikuti Yesus siap jadi pelayan, Menghantar orang menuju kebahagiaan. Wonogiri, jadilah pelayan yang baik Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 24 Februari 2025
Senin Biasa VII Markus 9: 14-29 KALAU kita sering berpikir negative, maka apa yang kita pikirkan itu justru malah terjadi. Kita takut gagal. Yang ada dalam pikiran hanya gagal, maka ketakutan kita itulah yang malah membuat gagal. Takut gagal, takut kalah sering membuat kita terlalu fokus pada kegagalannya. Ketakutan membuat kita menjadi ragu. Keraguan menciptakan persimpangan yang membingungkan sehingga kita menjadi tidak percaya diri. Serena William pernah mengalami kekalahan karena tidak fokus pada permainannya. Karena tidak fokus, permainannya justru menjadi kacau dan dia mengalami kekalahan di babak awal turnamen bergengsi di Wimbledon. Yesus ditemui oleh seorang ayah yang anaknya kerasukan roh bisu. "Guru, anakku ini kubawa kepada-Mu, karena ia kerasukan roh yang membisukan dia. Dan setiap kali roh itu menyerang dia, roh itu membantingkannya ke tanah; lalu mulutnya berbusa, giginya bekertakan dan tubuhnya menjadi kejang. Aku sudah meminta kepada murid-murid-Mu, supaya mereka mengusir roh itu, tetapi mereka tidak dapat." Namun orangtua itu berkata, “Sebab itu jika Engkau dapat berbuat sesuatu, tolonglah kami dan kasihanilah kami." Ungkapannya ini mengandung keraguan. Sebab murid-murid-Nya sudah mencoba tetapi gagal. Maka Yesus balik bertanya, "Katamu: jika Engkau dapat? Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!" Segera ayah anak itu berteriak: "Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!" Kita juga seringkali tidak percaya, meragukan kuasa Tuhan. Kita kadangkala mempertanyakan dimana Tuhan, kok tidak menjawab doa-doa kita. Keragu-raguan menggoda kita untuk mencari tuhan yang lain. Yesus menegaskan, “Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!" Apakah anda mau percaya kepada-Nya? Atau justru hanya ketakutanlah yang membuat kita tidak percaya? Berhenti di pinggir jalan, Ada teman yang sendirian. Percayalah kepada Tuhan, Hidupmu akan diselamatkan. Wonogiri, tolonglah aku yang tidak percaya Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 23 Februari 2025
Minggu Biasa VII Lukas 6: 27-38 SUATU hari kami berkunjung ke rumah Ibu Antonia Suyatinah Martokasodjo almarhum. Beliau adalah ibu dari Sr. Kriswienda CB di daerah Samigaluh, Kulon Progo. Ada sebuah foto besar di dinding dengan tulisan doa yang sangat bagus, menggambarkan semangat hidup dan doanya yang mendalam. Doa yang dihidupi Bu Marto berjudul “Nyuwun Luhuring Budi." Isi doa itu adalah: Dhuh Sang Sabda Allah ingkang manjalma dados titah, perlu nyunaraken asih tresna Dalem dhateng sedaya titah. Kaparingana kawula budi luhur, supados kawula saged dedana ingkang tanpa pamrih, kurban tanpa nggresula, lan makarya tanpa njagekaken pituwas. Kaparingana kawula sumarah kanthi wetah dhateng kersa Dalem Allah. Ingkang kawula pengini mboten wonten sanes kejawi wonten pundi kemawon lan ing kawontenan punapa kemawon Gusti ingkang kawula pilih, kersa Dalem ingkang kawula lampahi. Sedaya wau kawula suwun lantaran Sang Kristus Gusti kawula. Amin. Doa ibu Marto intinya memohon budi yang luhur kepada Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Budi luhur itu terwujud dalam tindakan menolong tanpa pamrih, berkorban tanpa mengeluh dan bekerja tanpa mengharapkan balasan. Yang diingini dimanapun jua hanyalah melaksanakan kehendak Allah. Doa ini seperti apa yang disabdakan Yesus kepada murid-murid-Nya, “Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu.” “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.” Demikianlah Yesus mengajarkan keluhuran budi kepada kita. Yesus mengharapkan kita berjuang menuju hidup yang murah hati sebagai anak-anak Allah, sebab Allah adalah murah hati adanya. Pagi-pagi sarapan pakai roti, Cukup secuil untuk menu berdua. Hendaklah kamu murah hati, Begitulah Bapamu di surga adanya. Wonogiri, nyuwun luhuring budi Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 22 Februari 2025
Pesta Tahta St. Petrus, Rasul Matius 16: 13-19 Tahta adalah lambang kekuasaan. Siapa yang bertahta dialah yang punya kekuasaan. Tidak heran bila sebuah tahta diperebutkan banyak orang sampai berdarah-darah. Dari zaman dahulu sampai sekarang tahta selalu menjadi rebutan. Zaman modern ini rebutan tahta diatur dalam sebuah sistem demokrasi yakni pemilihan umum. Kita masih ingat bagaimana orang berebut kekuasaan dalam pemilu kemarin. Kalau tidak diatur, rebutan tahta bisa sewenang-wenang dan brutal. Masih ingat kisah Ken Arok, penguasa Singasari yang merebut tahta dari Tunggul Ametung dengan keris Mpu Gandring? Perebutan kekuasaan di Singasari merenggut tujuh nyawa sebagai kutukan dari Mpu Gandring kepada Ken Arok yang haus akan kekuasaan dan perempuan. Tahta memang menggiurkan banyak orang. Tahta yang disalahgunakan bisa menyengsarakan. Tetapi tahta yang digunakan dengan baik dan bertanggungjawab bisa menyelamatkan dan membawa kemaslahatan. Hari ini kita memperingati tahta Santo Petrus. Kedudukan ini juga menggiurkan para murid. Buktinya mereka pernah memperebutkan siapa yang terbesar di antara mereka. Lalu Yesus menyatakan, siapa yang ingin menjadi terbesar hendaklah dia menjadi pelayan bagi semua. Kedudukan atau tahta itu adalah sarana untuk melayani. Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin berkuasa, maka semakin besar pula kesempatan melayaninya. Petrus dipilih oleh Yesus untuk menjadi penatua bagi yang lainnya. Yesus berkata, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga." Petrus dan para penggantinya adalah pelayan dari para pelayan. Paus menyebut dirinya “Servus Servorum.” Yesus menghendaki kepemimpinan adalah pelayanan, bukan kekuasaan. Menjadi pemimpin berarti siap sedia untuk melayani sesamanya. Sudahkah kita menjalankan perutusan untuk melayani, bukan menguasai? Naik perahu menuju ke Pesaguhan, Singgah di dermaga membeli ikan. Kekuasaan itu hanya titipan Tuhan, Gunakan untuk mencipta kebaikan. Wonogiri, bukan berkuasa, tetapi melayani Rm. A. Joko Purwanto, Pr Wahyu Allah
Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya, Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Efesus 1:9) Allah, yang menciptakan segala sesuatu serta melestarikannya senantiasa memberi kesaksian tentang diri-Nya kepada manusia. Lebih dari itu, Ia mengundang manusia masuk ke dalam persekutuan dengan diri-Nya. Tetapi, manusia pertama justru menjauhi-Nya dengan sikap ketidaktaatan. Dan, Allah tidak tinggal diam. Sesudah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, Allah menjanjikan keselamatan dengan menawarkan perjanjian kepada manusia lewat banyak tokoh dalam Kitab Suci. Pewahyuan janji keselamatan dari Allah berpuncak dalam pribadi Yesus Kristus dan kemuliaan diteruskan oleh Roh Kudus dalam Gereja hingga kini. Itulah cara Allah mewahyukan diri-Nya dan cinta-Nya kepada manusia secara terus-menerus. Utusan dan Para Nabi Dalam sejarah bangsa Israel, Allah memilih 3 utusan-Nya: Nuh, Abraham dan Musa untuk menawarkan keselamatan kepada umat pilihan-Nya. Melalui Nuh, dunia yang sudah dipenuhi kedosaan diperbaharui. Melalui Abraham, Allah membentuk satu bangsa bagi Diri-Nya, dan pada zaman Musa, Allah membebaskan Israel dari perbudakan Mesir dan memberikan hukum-Nya yang kita kenal sebagai 10 Perintah Allah. Allah terus menerus mewahyukan diri-Nya dengan mengutus pula nabi-nabi, seperti: Yesaya, Yeremia, Hosea, Amos, dan sebagainya. Mereka menyerukan kehendak Allah sesuai dengan keadaan konkret pada zamannya. Penggenapan Wahyu Setelah pada zaman dahulu, Allah berulangkali dan dalam belbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini, Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya (Ibrani 1:2) Puncak pewahyuan para nabi adalah kedatangan Sang Emanuel, Juru Selamat. Allah mewahyukan diri-Nya secara penuh dengan mengutus Putera-Nya sendiri, yakni Yesus Kristus. Dalam diri Putera-Nya ini, Allah mengadakan suatu perjanjian baru yang kekal untuk selama-lamanya. Sesudah Yesus, tidak akan ada pewahyuan lain lagi. Yesus merupakan pemenuhan dari seluruh janji Allah pada masa yang lampau. Nubuat para nabi dan juga seluruh hukum Allah digenapi dalam diri Yesus, melalui hidup, karya dan ajaran-Nya. Iman: Jawaban atas Wahyu Allah Iman adalah anugerah dari Allah. Agar mampu memiliki iman, kita membutuhkan Roh Kudus. Akan tetapi, iman juga merupakan tindakan manusia yang dilakukan dengan sadar dan bebas tanpa paksaan. Jawaban itu melibatkan seluruh pribadi manusia: akal budi, kehendak, perasaan, dan perbuatan. Maka, iman harus dipahami pertama-tama sebagai penyerahan diri kepada Allah. Istilah biblisnya adalah ketaatan iman (Roma 16:26). Lebih jauh lagi Konsili Vatikan II memahami iman sebagai perjumpaan pribadi dengan Allah (Dei Verbum no. 5-6). Melalui proses pewahyuan dari Allah dan tanggapan iman dari pihak manusia, kita diperkenankan untuk mengenal Allah. Namun, hal itu tidak sama dengan mengetahui Allah. Allah tetaplah misteri. Ia “bersemayam dalam terang yang tak terhampiri; seorang pun tak pernah melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia” (1 Tim 6:16). Yesus memang mewahyukan bahwa “Barangsiapa melihat Aku, ia melihat Bapa” (Yoh 14:9). Namun, manusia tetap memiliki keterbatasan. Maka, ada banyak gambaran mengenai Allah, yang biasanya dipengaruhi oleh alam pikirannya sendiri. Masih ingat kisah santo Agustinus dan seorang anak kecil di tepi pantai? Santo Agustinus bertanya, “Nak, untuk apa kamu membuat sumur kecil ini?” Si anak kecil ini menjawab dengan santainya, “Aku ingin memindahkan air laut ke dalamnya!” Itulah yang seringkali dilakukan oleh akal budi manusia, mencoba untuk mengerti misteri Allah dengan otaknya yang terbatas. Gereja memang yakin bahwa akal budi manusia tetap dapat memahami Allah walaupun sangat terbatas. Biasanya kita memberikan gambaran-gambaran duniawi tentang Allah, seperti: gembala, sahabat, dll. Semua itu tidak pernah secara sempurna menggambarkan misteri Allah kita. Oleh karena itu, dalam beriman, manusia harus mengatasi gambaran-gambaran duniawi tentang Allah. Penghayatan hubungan pribadi dengan Allah selalu lebih penting daripada gambaran dan pengertiannya. *Diambil dari berbagai sumber Oleh Romo Heribertus Budi Purwantoro, Pr Puncta 21 Februari 2025
Jum’at Biasa VII Markus 8:34-9:1 DIALOG Yesus dengan Petrus tentang kemesiasan-Nya ternyata berbeda. Petrus menyebut Yesus adalah Mesias. Namun isi dari ungkapan itu beda dengan yang dipikirkan oleh Yesus. Kemesiasan menurut Petrus adalah tokoh spektakuler yang akan merubah nasib bangsa yang tertindas secara politis. Mungkin semacam Super Hero yang bisa mengalahkan segala-galanya. Kayak Film-film fantasi model Superman, Batman, Iron Man, Captain America, Black Widow, Wonder Woman dan lain-lain. Mesias dari kaca mata Yesus bukan tokoh super hero. Tetapi Mesias yang memanggul salib, mati dan bangkit pada hari ketiga. Maka Petrus ditegor oleh Yesus dengan berkata, "Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." Lalu Yesus mengoreksi pemahaman yang salah itu dengan berkata, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.” Petrus mempunyai konsep Mesias sebagai pembebas dari penjajahan politis. Bangsa Yahudi dijajah oleh Kekaisaran Romawi, maka seorang mesias yang diharapkan adalah pemberontak melawan penjajah. Ini yang dipikirkan Petrus. Yesus tidak memikirkan mesias duniawi. Ia adalah pembebas dari penjajahan dosa yang membelenggu setiap manusia. Dengan menderita dan memanggul salib, Yesus menebus dosa-dosa manusia. Konsep apa yang ada dalam pikiran kita tentang Yesus dan perutusan-Nya? Konsep ini akan mempengaruhi sikap dan tindakan kita akan Tuhan dan bagaimana kita menjalani perutusan-Nya bagi kita. Pergi ke pasar membeli banyak buah, Untuk beri makan kera yang kelaparan Konsep salah bawa akibat yang salah, Konsep benar akan bawa pada kebenaran. Wonogiri, diperbaharui oleh Tuhan Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 20 Februari 2025
Kamis Biasa VI Markus 8: 27-33 KATA orang, ”Romo Joko itu bagus.” Jangan langsung percaya kata orang karena penilaian itu sangat subyektif. Orang menilai menurut persepsi seleranya sendiri. Orang melihat apa yang sepintas secara empiris tampak di permukaan. Ia tidak mengenal lebih mendalam dan mendetail. Penilaian yang hanya didasarkan pada “kata orang” mudah sekali keliru dan tidak tepat. Kadang kita menilai seseorang hanya berdasar pada kesan pertama seperti yang pernah dilihat. Maka kita sering terjerumus ke dalam bias penilaian terhadap orang lain. Salah menilai karena hanya mendengarkan “kata orang.” Yesus bertanya kepada para murid dua kali. Yang pertama, Yesus bertanya, "Kata orang, siapakah Aku ini?" Para murid bisa menjawab berdasarkan kata orang. Ada yang menyebut sebagai Yohanes Pembaptis, Elia atau seorang nabi dahulu. Yang kedua, Yesus meminta para murid menjawab menurut pemahaman dan pemikiran mereka sendiri, bukan kata orang. Selama mengikuti Yesus dari jarak dekat, hidup bersama-Nya, ikut mendengar, melihat dan mengalami sendiri apa yang dilakukan Yesus, apa yang ada dalam pikiran mereka. Simon Petrus menjawab, “Engkau adalah Mesias.” Jawaban ini tepat tetapi harus diuji dahulu dalam pengertiannya yang benar. Maka Yesus melarang dengan keras agar jangan memberitahukan kepada siapapun juga. Sebab jika para murid keliru memahami kemesiasan Yesus, bisa mengganggu karya penyelamatan-Nya. Lalu menurut kita sendiri, siapakah Yesus sesungguhnya? Apakah Yesus itu pembantu kita yang harus memenuhi segala kebutuhan kita? Apa yang kita minta harus dilaksanakan? Apakah Yesus sungguh Tuhan yang berkuasa atas hidup kita dan kita berserah setia kepada-Nya? Kita mau melakukan sabda ajaran-Nya dengan ikhlas dan setia? Jalan-jalan ke kota Semarang, Tersesat sampai di pelabuhan. Jangan hanya dengar “kata orang,” Kita bisa tertipu dan mencemarkan. Wonogiri, kenali diri secara mendalam Rm. A. Joko Purwanto, Pr |
Archives
December 2034
Categories |