Paroki St. Yohanes Rasul Wonogiri
  • Home
  • Profil Paroki
  • Katekese
  • Pelayanan
  • Berita Paroki

katekese

Kontras Hati

3/8/2025

0 Comments

 
Puncta 8 Maret 2025
Sabtu Sesudah Rabu Abu
Lukas 5: 27-32

PANDITA Durna yang adalah seorang resi, rohaniwan, guru, ahli agama yang harus selalu mengajarkan kebaikan, tetapi justru sering memecah belah dan menanam kebencian dan permusuhan. 

Dia berada di pihak Kurawa yang selalu membenci Pandawa dan mengarah kematian mereka.

Semar adalah rakyat biasa, bahkan hanya seorang hamba atau abdi, namun hatinya baik dan tulus. Semar selalu menasehati para Pandawa untuk selalu mengasihi, mengampuni dan welas asih kepada siapa saja. 

Ada kontras hati antara Durna dan Semar. Dimana ada Durna di situ ada kebencian, dendam dan permusuhan. Sebaliknya dimana ada Semar, selalu ada kasih sayang, kedamaian dan ketentraman.

Dalam Injil, Lukas membuat kontras hati antara Lewi si pemungut cukai dengan Ahli Taurat dan Para Farisi. Lewi bertobat dan mengikuti Yesus. Ia menemukan Tuhan. Ia memiliki hati yang baru dan hidup dengan cara pandang baru. Hidup dalam kasih dan berbagi dengan sesamanya.

Sementara Ahli Taurat yang hidup rohaninya dianggap paling benar, suci dan baik, ternyata justru jauh dari Tuhan. Mereka menghakimi orang lain. Mereka membenci dan menjauhi kaum Lewi yang dianggap kelompok berdosa.

Ada kontras hati. Orang yang merasa paling pantas yaitu para ahli kitab, justru tidak mengenali pikiran Tuhan. Sebaliknya, Lewi yang dianggap orang berdosa malah menemukan Tuhan. 

Lebih baik orang berdosa yang bertobat daripada orang yang merasa benar tetapi tidak mau bertobat.

Lewi adalah orang sakit yang membutuhkan tabib. Sedang ahli Taurat merasa benar sehingga tidak butuh pertobatan. Tuhan hadir untuk orang-orang berdosa yang mau bertobat. 

Siapakah diri kita ini, apakah seperti orang Lewi yang mau bertobat atau pilih seperti ahli taurat yang merasa benar sendiri?

Ada obat untuk segala penyakit,
Hati ikhlas ikut memanggul salib.
Kita adalah orang yang sakit,
Membutuhkan kuasa seorang tabib.

Wonogiri, membuka hati pada Tuhan
Rm. A. Joko Purwanto,Pr
0 Comments

Artis dari Palembang

3/7/2025

0 Comments

 
Puncta 7 Maret 2025
Jum’at Sesudah Rabu Abu
Matius 9: 14-15

SEBULAN yang lalu, kami  merayakan misa pesta perak imamat adik saya, Rm. Silvester Joko Susanto, Pr di Paroki Kebonarum, Klaten. Kini perayaan yang sama diadakan di paroki tempat dia bertugas di Batu Putih, Palembang.

Dalam dua pesta itu hadir Rm. Dwi Joko dari Palembang. Kehadirannya sangat memberi suasana ceria dan gembira. Dia sangat menikmati pesta dengan menyanyi bersama. Dari lagu campursari, nostalgia dan lagu-lagu daerah, dia sangat hapal.

Dari awal sampai pesta berakhir dia menghibur para tamu. Bahkan ketika panitia sudah beres-beres perabotan meja kursi untuk diangkut, dia terus menghibur dengan suara merdunya. Suasana pesta terus berlangsung sampai tidak ada orang satu pun.

Hening dan sepi menyelinap saat pesta sudah usai. Romo Dwi Joko baru pindah tempat saat organis dan petugas sound system pulang. Pesta usai dan saat itu jugalah kita kembali menikmati rutinitas biasa.

Para murid Yohanes bertanya pada Yesus, “Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” Mereka seumumnya mengikuti adat dan tradisi yang telah terwariskan turun temurun.

Yesus tidak menolak tradisi puasa. Tetapi Dia mengingatkan agar orang dapat memahami esensi puasa lebih dari sekedar ikut-ikutan tradisi. 

Puasa bukan hanya soal memenuhi kewajiban agama. Tetapi puasa lebih untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan sesama.

Puasa bukan sekedar aturan boleh ini atau tidak boleh itu. Puasa adalah saat dimana sang mempelai diambil dari tengah kita. Saat itu kita melakukan olah tapa dengan amal kebaikan bagi sesama.

Puasa bukan cuma tindakan egosentris, melulu demi kesucian diri. Tetapi puasa adalah tindakan sosial demi kesejahteraan bersama. Sudahkah kita peduli dengan orang-orang yang menderita di sekitar kita? Justru saat puasa, kita berguna untuk sesama.

Ada buah apel hijau di atas meja,
dirujak dengan timun dan mangga.
Apa gunanya kita tekun berpuasa,
Jika saudara kita miskin menderita?

Wonogiri, ayo puasa yang bermanfaat
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
0 Comments

Allah Bapa

3/7/2025

0 Comments

 
Istilah Allah Bapa sebenarnya tidak khas kristiani. Agama-agama lain juga mengenalnya. Ada dua hal ketika Allah disebut sebagai Bapa. Pertama, sebutan Allah sebagai Bapa dalam semua agama menunjuk pada gagasan Allah sebagai asal-usul, pemelihara dan yang mengembangkan segala sesuatu yang ada. Kedua, sebutan Allah sebagai Bapa berhubungan dengan tradisi paternalistik ketika peran seorang bapa itu dominan dalam masyarakat.

Dalam Perjanjian Lama, ada begitu banyak paham Allah. Dari sini dapat dilihat bahwa iman akan Allah menjadi pergumulan dalam rentang masa yang panjang. Bagi umat Israel, YAHWE menjadi pengikat mereka (Bdk. Yosua 24). YAHWE dalam Perjanjian Lama inilah yang nantinya disebut ALLAH BAPA Tuhan Yesus Kristus, Allah Bapa kita juga.

Pengalaman akan Allah dalam Perjanjian Baru bertumpu pada tokoh Yesus Kristus. Bagaimana pun pengalaman iman Perjanjian Baru ditentukan oleh pengalaman Yesus Kristus akan Allah. Yesus sendiri menyebut Allah sebagai Bapa (Mat 5:48; Mrk 14:36; Luk 23:46; yoh 5:18). Yesus juga mengajarkan kepada kita untuk berdoa kepada Bapa di surga (Mat 6:9). Yesus selalu menghubungkan seluruh hidup, panggilan dan perutusan-Nya pada Allah Bapa (Yoh 4:34; Yoh 10:30). Inilah yang menjadi dasar mengapa kita menyebut Allah sebagai Bapa.

Dengan menyebut Allah sebagai Bapa, kita mempertegas dua karakter Allah: Transenden sekaligus Imanen. Transenden berarti Allah adalah sosok yang mahaagung, mahakuasa, dan tidak terselami melampaui kemanusiaan kita. Sedangkan Imanen berarti Allah sungguh dekat dengan perjuangan dan suka-duka hidup manusia. Allah, kita percayai sebagai sosok yang “tinggal di dalam” hidup kita sehingga kita memiliki kemungkinan menjalin relasi secara pribadi dengan-Nya.

Demikian, banyak kutipan dalam kitab suci mempertegas sebutan tentang Allah sebagai Bapa (Mat     6:9), Maha kuasa (Mat 26:64) dan Pencipta (Kej 14:19; Rm 1:25). Maka sebutan Bapa terkait erat dengan konsep kemahakuasaan. Kemahakuasaan Bapa juga terkait secara langsung dengan iman bahwa Dialah Pencipta alam semesta dan segala isinya.  
 
Kemahakuasaan Allah
Istilah Mahakuasa adalah gelar Allah yang dalam bahasa Yunani Pantokrator (=Omnipotens, bhs Latin) atau (Yahwe Zebaoth – Allah Bapa Tentara). Kemahakuasaan Allah bukan ide abstrak mengenai hakekat dan kemampuan Allah yang tidak dapat dibayangkan manusia, tetapi berciri dinamis dan relasional. Artinya, Allah Mahakuasa selalu menampakkan tindakan-Nya dalam sejarah dunia, umat manusia, dan khususnya dalam sejarah keselamatan melalui umat-Nya.
 
Pencipta Langit dan Bumi
Penciptaan itu terjadi melulu karena kasih dan kebaikan Allah dan sama sekali bukan karena jasa kita. Dari kisah penciptaan itu dapat dipahami bahwa yang pertama-tama ada adalah keselamatan bukan sejarah dosa. Pada awal penciptaan, semua diciptakan baik adanya, bahkan amat baik, dosa datang kemudian. Oleh karena itu, mestinya hidup ini menggembirakan. Setelah ada dosa pun, Allah senatiasa mengasihi dan berbelas kasih.

Bapa-bapa Gereja mengajarkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu tanpa tergantung pada suatu hal atau materi apapun (creatio ex nihilo = penciptaan dari ketiadaan). Ia menciptakan, maka segalanya ada. Ia bersabda maka terjadilah. Hal ini melawan ajaran Plato yang menyatakan bahwa Allah menciptakan sesuatu dari suatu materi yang sudah ada. Selanjutnya, Konsili Florence (abad 15) mengajarkan bahwa Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus menciptakan bersama segala sesuatu. “Allah Bapa melalui Putra dalam Roh Kudus menciptakan kita, meyelamatkan kita, memperbaharui kita”. Sementara itu, Konsili Vatikan I (abad 19) mengajarkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan penuh kebebasan, bukan untuk menambah kemuliaan-Nya tetapi melulu untuk kebahagiaan kita. 

​Oleh Romo Heribertus Budi Purwantoro, Pr
0 Comments

Pengorbanan Diri

3/6/2025

0 Comments

 
Puncta 06 Maret 2025
Kamis Sesudah Rabu Abu
Lukas 9: 22-25

BANYAK kisah-kisah kepahlawanan yang dapat kita pelajari dalam sejarah kehidupan suatu bangsa. Kisah-kisah itu menggambarkan bagaimana mereka berkorban diri demi kepentingan umum.

Banyak tokoh pahlawan dapat kita sebut, atau tokoh-tokoh publik yang merelakan nyawanya demi pembebasan, pemerdekaan dan keselamatan bangsa. 

Mulai dari pengorbanan nyawa, harta benda dan kedudukan dilakukan demi sebuah tujuan luhur bagi banyak orang.

Tokoh dunia seperti Mahatma Gandhi di India, Martin Luther King di Amerika, Nelson Mandela di Afrika Selatan, Chico Mendes di Amerika Latin adalah contoh orang yang berani mengorbankan nyawa demi keselamatan bangsa.

Dalam Gerakan spiritual, banyak juga orang yang memilih cara hidup matiraga dan asketis demi mencapai tujuan kemuliaan. Mereka memilih jalan penderitaan demi memurnikan diri dan mencapai kebahagiaan.

Demikian pula Tuhan Yesus memilih jalan salib sebagai cara untuk menyelamatkan semua bangsa. Jalan penderitaan, menyangkal diri dan memanggul salib adalah jalan menemukan keselamatan.

Maka murid-murid Yesus juga diajak menapaki jalan ini demi mencapai keselamatan atau kebahagiaan. Kata-Nya kepada mereka semua: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya.”

Bukan berarti bahwa kita mencari-cari penderitaan. Tetapi penderitaan itu bisa dimaknai sebagai cara kita mengikuti Yesus yang memanggul salib. 

Agar kita nanti juga punya harapan bersatu dengan-Nya dalam kebangkitan. Yesus sendiri menjamin kita dengan berkata, “barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya.”

Apakah kita sanggup mengikuti Dia menapaki jalan pengorbanan diri?

Ke Jakarta naik merpati,
Duduk di samping pramugari.
Ikut Yesus menyangkal diri,
Dijamin hidup kekal abadi.

Wonogiri, mari menyangkal diri
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
0 Comments

Jangan Diketahui Tangan Kirimu

3/5/2025

0 Comments

 
Puncta 5 Maret 2025
Rabu Abu, Pantang dan Puasa
Matius 6: 1-6.16-18

SOSIAL MEDIA sekarang menjadi ajang pamer segala sesuatu. Tidak hanya pamer harta, barang branded, kesuksesan tetapi orang sekarang bisa memamerkan kebaikan. Apa-apa diunggah di sosmed agar semua orang mengetahui siapa diri kita.

Dengan diketahui berbuat baik, orang ingin dipuji dan diakui eksistensinya. Mereka ingin dihargai dan dihormati karena banyak melakukan aksi sosial kepada masyarakat.

Perbuatan baik yang kita lakukan ternyata tersembunyi keinginan untuk dipuji dan dihargai. Ada pamrih dibalik perbuatan-perbuatan baik itu. Walau mungkin tidak kita sadari seolah semua berjalan dengan sempurna.

Tidak hanya kaum awam, tetapi para pemuka agama pun juga suka memamerkan “kebaikan dan kehebatan” mereka. Tidak hanya pamer kekayaan, mobil mewah atau barang bermerk, tetapi juga pameran asesoris keagamaan agar dilihat sebagai orang saleh. 

Ritual-ritual keagamaan dipertontonkan agar dinilai relijius dan suci.

Tuhan Yesus memberi peringatan keras agar sikap dan tindakan mereka tidak ditiru. Niat baik dalam melaksanakan kewajiban agama namun jika dilakukan dengan tidak tulus tidak akan membawa berkah.

"Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga. Demikianlah ajaran Yesus kepada murid-murid-Nya.

“Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."

Pada masa tobat ini, kita diajak berbuat kebaikan dengan tulus dan ikhlas hati, tanpa harus pamer kepada orang lain. Tuhan yang melihat akan memberi berkah berlimpah.

Keliling waduk untuk jala ikan,
Ikan digoreng bisa untuk sarapan.
Janganlah suka pamer kebaikan,
Kita bisa jatuh pada kemunafikan.

Wonogiri, marilah kita bermatiraga
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
0 Comments

Pedagang Angkringan

3/4/2025

0 Comments

 
Puncta 4 Maret 2025
Selasa Biasa VIII
Markus 10: 28-31

KALAU kita berkeliling di sepanjang jalan di daerah Yogyakarta, kita akan menjumpai para pedagang angkringan. 

Mereka itu dulunya melayani para mahasiswa dan pelajar yang sedang menempuh ilmu di Yogyakarta.

Tidak heran bahwa biaya hidup di Yogya sangat murah karena konsep angkringan yang dikembangkan di Yogyakarta memiliki prinsip “Tuna satak bathi sanak.” 

Tuna itu artinya rugi. Satak artinya segepok atau sebendel uang. Bathi artinya untung. Sanak berarti saudara.

Makna dari prinsip ini adalah rugi segepok uang tidak masalah yang penting bisa mendapat banyak saudara. Bukan keuntungan material yang dikejar, tetapi punya banyak saudara dimana pun mereka berada.

Sekarang prinsip ini sudah terhapus dengan budaya kapitalis modern. Angkringan diubah menjadi café-café tempat nongkrong anak-anak muda. Bukan saudara yang dicari tetapi melulu soal keuntungan yang diraup.

Pedagang angkringan itu mencoba menerapkan apa yang diajarkan Yesus kepada murid-murid-Nya. Ketika Petrus bertanya, “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Engkau.”

Maka Yesus menjawab, “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, barang siapa meninggalkan rumah, saudara-saudari, ibu atau bapa, anak-anak atau ladangnya, pada masa ini juga ia akan menerima kembali seratus kali lipat; rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak-anak dan ladangnya.”

Barangsiapa mau berkorban, ia akan menerima seratus kali lipat. Para pedagang angkringan itu rela berkorban, tidak mendapat untung, tetapi mereka memiliki saudara di mana-mana.

Hidup tidak sekedar memburu uang atau keuntungan materiil. Tetapi carilah teman dan saudara sebanyak-banyaknya. Yang lain nanti akan mengikuti di belakangnya.  

Jalan-jalan di kota Yogya,
Makin macet banyak orang berkendara.
Bukan materi jaminan bahagia,
Banyak saudara bikin hidup jadi ceria.

Wonogiri, berani berkorban
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
0 Comments

Pesan Terakhir Steve Jobs

3/3/2025

0 Comments

 
Puncta 3 Maret 2025
Senin Biasa VIII
Markus 10:17-27

INILAH sepenggal nasehat terakhir Pendiri Perusahaan Apple Inc sebelum meninggal. “Dalam dunia bisnis, aku adalah simbol dari kesuksesan, seakan-akan harta dan diriku tidak terpisahkan, karena selain kerja, hobiku tak banyak. Saat ini aku berbaring di rumah sakit, merenungi jalan kehidupanku, kekayaan, nama, dan kedudukan, semuanya itu tidak ada artinya lagi.

Malam yang hening, cahaya dan suara mesin di sekitar ranjangku, bagaikan nafas maut kematian yang mendekat pada diriku. Sekarang aku mengerti, seseorang asal memiliki harta secukupnya untuk digunakan dirinya saja itu sudah cukup. Mengejar kekayaan tanpa batas itu bagaikan monster yang mengerikan.”

Dalam perikope hari ini dikisahkan oleh Markus ada seorang yang kaya. Sejak muda ia sangat saleh dan taat menjalankan perintah Taurat. 

Namun kekayaan dan kesalehan yang dikumpulkannya nampaknya tidak memuaskannya. Ia masih mencari sesuatu dan bertanya kepada Yesus. "Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"

Yesus memintanya untuk menjual seluruh harta miliknya dan membaginya kepada orang miskin, lalu mengikuti-Nya. Orang kaya itu sangat sedih dan meninggalkan Yesus. Ia tidak rela melepaskan harta miliknya. 

Lalu Yesus melemparkan kata-kata yang menggemparkan, "Anak-anak-Ku, alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah. Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah."

Apakah kita juga sedang terikat dan terbelenggu oleh harta kekayaan sehingga kita lupa berbagi dengan sesama yang miskin dan membutuhkan? 

Steve Jobs menyadarinya saat ajal akan menjemput. Terlambat sudah dan semua tinggal penyesalan. Berbagilah sebelum anda menyesal nanti.

Urip kuwi mung mampir ngombe,
Setegukan saja hidup akan berlalu.
Urip kuwi aja mung ngumbar lambe,
Gunakan waktumu agar bisa bermutu.

Wonogiri, jadilah bahagia
Rm. A. Joko Purwanto,Pr
0 Comments

Bibit, Bebet, Bobot

3/2/2025

1 Comment

 
Puncta 2 Maret 2025
Minggu Biasa VIII
Lukas 6: 39-45

UNTUK memilih pasangan hidup, orang sering mengenal istiah “Bibit, Bebet dan bobot. Untuk mengenal pasangan, kita perlu tahu seluk beluk keluarga dan latar belakangnya.

Bibit berarti benih, yaitu bagaimana latar belakang keluarga dan saudara-saudaranya. Apakah ia berasal dari benih yang baik? 

Keluarga ibarat sebuah pohon. Kalau pohonnya baik, diharapkan juga menghasilkan buah keturunan yang baik.

Bebet berkaitan dengan tingkat kehidupan ekonomi keluarga. Sedangkan bobot lebih bermakna kualitas hidup pasangannya. Bobot seseorang dapat dilihat dari tingkat kepribadian, pendidikan, atau prestasi, talenta yang dimiliki.

Yesus mengajarkan beberapa pepatah dalam perikope ini. Pepatah-pepatah itu masih bisa kita jadikan patokan sampai sekarang. 

Misalnya, "Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lubang?”

Tidaklah mungkin kita yang buta akan menuntun teman kita yang juga tidak melihat. 

Pepatah lain juga disampaikan Yesus, “Mengapakah engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui?”

Pepatah ini menasehatkan agar kita lebih mawas diri. Tidak suka menghakimi orang lain atau menyalahkan orang namun merasa paling benar sendiri. 

"Tidak ada pohon yang baik yang menghasilkan buah yang tidak baik, dan juga tidak ada pohon yang tidak baik yang menghasilkan buah yang baik. Sebab setiap pohon dikenal pada buahnya. Karena dari semak duri orang tidak memetik buah ara dan dari duri-duri tidak memetik buah anggur.”

Pepatah ini bisa nyambung dengan pepatah Jawa yang berkata, ”Becik ketitik, ala ketara.” Setiap pohon baik akan menghasilkan buah yang baik. Pohon yang buruk buahnyapun akan buruk.

Ingatlah nasehat ini, “Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan barang yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya."

Apakah kita berkepribadian baik, dapat dilihat dari tutur kata dan tingkah laku kita. Yang diucapkan mulut kita, meluap keluar dari hati kita. Maka berhati-hatilah!!

Maksud hati memeluk gunung,
Apa daya tangannya buntung.
Orang baik akan mendapat untung,
Orang jahat pasti akan limbung.

Wonogiri, pohon yang baik dilihat dari buahnya
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
1 Comment

Sekolah Minggu

3/1/2025

0 Comments

 
Puncta 1 Maret 2025
Sabtu Biasa VII
Sabtu Imam
Markus 10.13-16

ADA beberapa paroki yang membuat kegiatan pendampingan anak-anak PIA atau BIAK pas perayaan ekaristi berlangsung. 

Anak-anak didampingi di aula gereja. Mereka diajak bernyanyi dan menari oleh para pendamping. Sementara orangtuanya mengikuti perayaan Ekaristi di gereja.

Anak-anak diberi kegiatan di aula terpisah dari perayaan Ekaristi di gereja. Mereka disuruh masuk dan bergabung ikut misa saat persembahan. 

Akibatnya banyak anak tidak mengikuti ekaristi secara utuh, dari awal hingga akhir. Jangan heran kalau hal ini menjadi kebiasaan. Mereka tidak merasa bersalah kalau datang terlambat mengikuti ekaristi.

Ada banyak alasan yang dikemukakan. Pertama, anak-anak dianggap sering mengganggu kekhusukan ekaristi karena gaduh, ramai dan berisik. 

Kedua, keterbatasan waktu para pendamping. Ketiga, tidak ada waktu bagi orangtua kalau harus mengantar anaknya ikut sekolah Minggu.

Bukankah ini tanggungjawab orangtua untuk mendampingi anak-anaknya agar makin mengenal Tuhan lewat Ekaristi? Bukan malah menjauhkan mereka dari Ekaristi? 

Inilah yang dilakukan oleh para murid ketika orang-orang membawa anak-anak kepada Yesus. Para murid memarahi mereka. Anak-anak dianggap hanya mengganggu dan merepotkan saja.

Tetapi Yesus justru memarahi murid-murid-Nya, “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.

Mungkin kita juga seperti para murid yang menganggap anak-anak sebagai pengganggu, pembuat onar, gaduh berisik di gereja. Lalu menjauhkan mereka dari Tuhan dengan alasan yang rohani; mereka didampingi di sekolah Minggu.

Apakah kita juga halangi mereka untuk dekat dengan Yesus?

Jalan ke Pontianak membeli duku,
Buah langsat nama sebenarnya.
Biar anak-anak datang pada-Ku,
Jangan halangi kebahagiaan mereka.

Wonogiri, jangan halangi anak-anak
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
0 Comments

Credo

2/28/2025

0 Comments

 
CREDO (artinya, aku percaya: tanggapan atas pewahyuan diri Allah yang berlangsung dalam sejarah) adalah syahadat iman yang memuat pokok-pokok iman kepercayaan Gereja Katolik. Kita seringkali mengucap kembali iman kepercayaan tersebut, tetapi belum tentu memahami seluruh isi iman kita itu. Untuk itu, saya mengajak untuk mengeksplorasi kembali intisari pemahaman dan juga persoalan-persoalan pokok syahadat iman kita.

Dalam rumusan credo terungkap inti iman Katolik, bahwa kita percaya pada: Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus. Tak terlupa, kita pun percaya bahwa Allah menganugerahkan rahmat melalui Gereja.

Kita mengimani bahwa Allah sungguh mahabaik dan penuh perhatian terhadap ciptaan-Nya. Seluruh misi-Nya semata-mata hanyalah demi menjadikan manusia sebagai putra-Nya. Hingga, akhirnya Ia mengutus Putera-nya yang tunggal sebagai pemenuhan janji keselamatan, memulihkan kembali martabat manusia menjadi putera-Nya. Roh Kudus pun dianugerahkan-Nya kepada orara Rasul dan Gereja untuk menemani kita berziarah di dunia ini. Inilah inti kebenaran iman yang terdapat dalam rumusan Syahadat Aku Percaya.
 
Sejarah singkat Credo
Yesus sama sekali tidak meninggalkan warisan tertulis yang dapat dijadikan pegangan oleh para Rasul. Akan tetapi, Yesus mewariskan Roh Kudus-Nya (Kisah Para Rasul 2:1-13). Ia tidak membiarkan murid-Nya kebingungan karena Roh Kudus inilah yang mengajar dan mengingatkan para rasul tentang semua yang Yesus katakan kepada mereka (Yohanes 14:26).

Begitulah, muncul beberapa pokok pernyataan iman yang dalam perkembangan sejarah dirumuskan menjadi credo. Tepatnya, sejak abad kedua, syahadat ini sudah dirumuskan. Demikian, syahadat yang paling kuno adalah Syahadat Para Rasul (syahadat pendek) yang biasa kita ucapkan saat Perayaan Ekaristi atau saat doa Rosario.  Sedangkan Syahadat Panjang secara resmi disebut sebagai Syahadat Nicea Konstantinopel yang dirumuskankan dalam Konsili Nikea (tahun 345) dan Konsili Konstantinopel Pertama (tahun 381). Syahadat panjang itu dirumuskan untuk mengembalikan pandangan iman yang benar, yang sempat diselewengkan oleh  para bidaah (ajaran sesaat).
​
Dalam Liturgi, sejak abad ke lima, Gereja Timur menggunakan syahadat panjang dalam ekaristi. Gereja Barat kemudian mengikuti tradisi ini. Sementara itu, syahadat pendek di Gereja Barat hanya digunakan dalam liturgi baptis. Sejak abad ke sembilan diundangkan bahwa syahadat panjang digunakan dalam  misa, syahadat pendek digunakan dalam baptisan. Baru pada tahun 1970 (Missale Romanum), keduanya boleh digunakan dalam misa. 

​Oleh Romo Heribertus Budi Purwantoro, Pr
0 Comments
<<Previous
Forward>>

    Archives

    December 2034
    September 2025
    August 2025
    July 2025
    June 2025
    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    August 2024
    February 2024
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    July 2021

    Categories

    All
    Hello Romo!
    Katekese
    Puncta
    Rubrik Alkitab

    RSS Feed

Site powered by Weebly. Managed by Rumahweb Indonesia
  • Home
  • Profil Paroki
  • Katekese
  • Pelayanan
  • Berita Paroki