Puncta 23 Juli 2025
Rabu Biasa XVI Matius 13:1-9 KISAH Panji Asmara Bangun putra raja Jenggala mencari kekasihnya didongengkan dalam banyak cerita. Salah satunya adalah Kisah Enthit. Pangeran itu menyamar sebagai petani bernama Enthit. Apa yang ditanam selalu tumbuh dengan subur. Tanah yang digarapnya menghasilkan banyak buah. Kekasihnya bernama Dyah Ayu Galuh Candra Kirana yang mengagumi hasil kerja Enthit. Mereka berbalas pantun dalam sebuah lagu. Saya terjemahkan nyanyian mereka secara bebas. "Enthit.....siapa yang menanam padi bernas subur ini?" "Sayangku, Cintaku. Akulah yang menanam. Ambillah bila kau mau. Sekalian dengan hatiku ya sayang." "Tidak, Enthit. Aku hanya bertanya saja." "Enthit.....siapa yang menanam mentimun besar-besar ini?" Oh Dara nan cantik. Akulah yang menanam. Ambillah bila kau mau. Seluruh hartaku dan hatiku hanya untukmu, sayang." "Tidak, Enthit. Hatiku sudah ada yang punya." Begitulah, Enthit memikat hati Galuh Candra Kirana karena berhasil menjadi petani yang hebat. Akhirnya mereka bertemu kembali sebagai pasangan suami istri. Yesus memberi perumpamaan tentang penggarap tanah yang menaburkan benih ke ladangnya. Tanah itu ada yang berbatu, ada yang penuh onak duri, tetapi juga ada tanah yang subur makmur. Tanah yang subur bisa menghasilkan seratus kali lipat, enampuluh kali lipat dan tigapuluh kali lipat. Kita ini seperti tanah-tanah yang ditaburi benih sabda Tuhan. Ada yang tandus, tak berbuah. Ada yang penuh rintangan duri menghambat perkembangannya. Tetapi ada juga yang dipelihara dengan baik dan menghasilkan buah berlimpah seperti Enthit. Lalu dimanakah posisi kita sebagai tanah yang ditaburi benih sabda Tuhan itu? Apa hasil yang kita berikan sehingga Tuhan dapat memetik buahnya? Ikan lele atau ubur-ubur, Ditangkap di tengah sawah. Marilah kita jadi tanah subur, Agar menghasilkan buah berlimpah. Wonogiri, teruslah berbuah Rm. A. Joko Purwanto, Pr
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2034
Categories |