Puncta 2 Juli 2025
Rabu Biasa XIII Matius 8: 28-34 KITA sering menyebut Indonesia negara paling toleran. Tetapi mungkin itu hanya lips service belaka. Kejadian-kejadian intoleransi di akar rumput sering kali ditutup dengan alasan demi menjaga keselarasan atau harmoni. Misalnya, pernah terjadi di Tangerang Selatan, sejumlah mahasiswa Katolik sedang mengadakan doa bersama dibubarkan oleh warga. Bahkan ketua RT yang seharusnya mengayomi semua warga, juga ikut terlibat. Mengapa masyarakat takut dengan orang berdoa? Sedangkan perjudian dan tindak kemaksiatan dibiarkan saja? Belum lama ada kelompok mengadakan retret di Sukabumi dibubarkan warga. Kenapa mereka tidak membubarkan acara retret di Lembah Tidar Magelang beberapa waktu yang lalu? Mereka bilang doa itu mengganggu. Padahal para mahasiswa itu berdoa hanya di rumah dan tidak pakai pengeras suara. Kecuali kalau mereka memakai TOA dan dilakukan saat warga sedang tidur nyenyak, pasti akan mengganggu. Cara berpikir atau logika kita itu terbalik-balik dan ambigu. Berdoa dianggap mengganggu, tetapi main judi dan maksiat dianggap biasa saja. Orang berbuat baik diusir, sedang judi, sabung ayam, mabuk, miras, narkoba dan sejenisnya didiamkan saja. Itulah yang terjadi di daerah Gadara. Yesus datang ke sana. Ia menyembuhkan orang yang kerasukan setan. Mereka sangat berbahaya. Tetapi warga justru mengusir Yesus untuk pergi dari mereka. Mereka tidak mau menerima Yesus yang menyelamatkan dan menyembuhkan. Mereka hanya memikirkan keuntungan sendiri. Mereka takut kehilangan mata pencaharian yang lebih banyak. Nilai keselamatan manusia dikalahkan dengan keuntungan finansial atau nilai ekonomis. Semestinya kita lebih mengutamakan nilai-nilai luhur bermartabat daripada nilai-nilai egoistik demi keuntungan pribadi atau kelompok. Orang yang melakukan kebaikan semestinya diberi ruang dan kesempatan, bukan malah diusir atau disingkirkan. Mari kita berpikir secara sehat dan waras. Tidak hanya berpikir sempit dan picik menurut kacamatanya sendiri dan suka memaksakan kehendaknya. Contohnya seperti orang-orang Gadara itu. Orang cerdas berpikir dengan hati, Orang kerdil otaknya di dengkul. Kaum intoleran sukanya membenci, Kalau mau damai harus merangkul. Wonogiri, lakukan dengan hati tulus Rm.A.Joko Purwanto,Pr
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2034
Categories |