|
Puncta 22 Februari 2025
Pesta Tahta St. Petrus, Rasul Matius 16: 13-19 Tahta adalah lambang kekuasaan. Siapa yang bertahta dialah yang punya kekuasaan. Tidak heran bila sebuah tahta diperebutkan banyak orang sampai berdarah-darah. Dari zaman dahulu sampai sekarang tahta selalu menjadi rebutan. Zaman modern ini rebutan tahta diatur dalam sebuah sistem demokrasi yakni pemilihan umum. Kita masih ingat bagaimana orang berebut kekuasaan dalam pemilu kemarin. Kalau tidak diatur, rebutan tahta bisa sewenang-wenang dan brutal. Masih ingat kisah Ken Arok, penguasa Singasari yang merebut tahta dari Tunggul Ametung dengan keris Mpu Gandring? Perebutan kekuasaan di Singasari merenggut tujuh nyawa sebagai kutukan dari Mpu Gandring kepada Ken Arok yang haus akan kekuasaan dan perempuan. Tahta memang menggiurkan banyak orang. Tahta yang disalahgunakan bisa menyengsarakan. Tetapi tahta yang digunakan dengan baik dan bertanggungjawab bisa menyelamatkan dan membawa kemaslahatan. Hari ini kita memperingati tahta Santo Petrus. Kedudukan ini juga menggiurkan para murid. Buktinya mereka pernah memperebutkan siapa yang terbesar di antara mereka. Lalu Yesus menyatakan, siapa yang ingin menjadi terbesar hendaklah dia menjadi pelayan bagi semua. Kedudukan atau tahta itu adalah sarana untuk melayani. Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin berkuasa, maka semakin besar pula kesempatan melayaninya. Petrus dipilih oleh Yesus untuk menjadi penatua bagi yang lainnya. Yesus berkata, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga." Petrus dan para penggantinya adalah pelayan dari para pelayan. Paus menyebut dirinya “Servus Servorum.” Yesus menghendaki kepemimpinan adalah pelayanan, bukan kekuasaan. Menjadi pemimpin berarti siap sedia untuk melayani sesamanya. Sudahkah kita menjalankan perutusan untuk melayani, bukan menguasai? Naik perahu menuju ke Pesaguhan, Singgah di dermaga membeli ikan. Kekuasaan itu hanya titipan Tuhan, Gunakan untuk mencipta kebaikan. Wonogiri, bukan berkuasa, tetapi melayani Rm. A. Joko Purwanto, Pr
0 Comments
Wahyu Allah
Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya, Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Efesus 1:9) Allah, yang menciptakan segala sesuatu serta melestarikannya senantiasa memberi kesaksian tentang diri-Nya kepada manusia. Lebih dari itu, Ia mengundang manusia masuk ke dalam persekutuan dengan diri-Nya. Tetapi, manusia pertama justru menjauhi-Nya dengan sikap ketidaktaatan. Dan, Allah tidak tinggal diam. Sesudah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, Allah menjanjikan keselamatan dengan menawarkan perjanjian kepada manusia lewat banyak tokoh dalam Kitab Suci. Pewahyuan janji keselamatan dari Allah berpuncak dalam pribadi Yesus Kristus dan kemuliaan diteruskan oleh Roh Kudus dalam Gereja hingga kini. Itulah cara Allah mewahyukan diri-Nya dan cinta-Nya kepada manusia secara terus-menerus. Utusan dan Para Nabi Dalam sejarah bangsa Israel, Allah memilih 3 utusan-Nya: Nuh, Abraham dan Musa untuk menawarkan keselamatan kepada umat pilihan-Nya. Melalui Nuh, dunia yang sudah dipenuhi kedosaan diperbaharui. Melalui Abraham, Allah membentuk satu bangsa bagi Diri-Nya, dan pada zaman Musa, Allah membebaskan Israel dari perbudakan Mesir dan memberikan hukum-Nya yang kita kenal sebagai 10 Perintah Allah. Allah terus menerus mewahyukan diri-Nya dengan mengutus pula nabi-nabi, seperti: Yesaya, Yeremia, Hosea, Amos, dan sebagainya. Mereka menyerukan kehendak Allah sesuai dengan keadaan konkret pada zamannya. Penggenapan Wahyu Setelah pada zaman dahulu, Allah berulangkali dan dalam belbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini, Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya (Ibrani 1:2) Puncak pewahyuan para nabi adalah kedatangan Sang Emanuel, Juru Selamat. Allah mewahyukan diri-Nya secara penuh dengan mengutus Putera-Nya sendiri, yakni Yesus Kristus. Dalam diri Putera-Nya ini, Allah mengadakan suatu perjanjian baru yang kekal untuk selama-lamanya. Sesudah Yesus, tidak akan ada pewahyuan lain lagi. Yesus merupakan pemenuhan dari seluruh janji Allah pada masa yang lampau. Nubuat para nabi dan juga seluruh hukum Allah digenapi dalam diri Yesus, melalui hidup, karya dan ajaran-Nya. Iman: Jawaban atas Wahyu Allah Iman adalah anugerah dari Allah. Agar mampu memiliki iman, kita membutuhkan Roh Kudus. Akan tetapi, iman juga merupakan tindakan manusia yang dilakukan dengan sadar dan bebas tanpa paksaan. Jawaban itu melibatkan seluruh pribadi manusia: akal budi, kehendak, perasaan, dan perbuatan. Maka, iman harus dipahami pertama-tama sebagai penyerahan diri kepada Allah. Istilah biblisnya adalah ketaatan iman (Roma 16:26). Lebih jauh lagi Konsili Vatikan II memahami iman sebagai perjumpaan pribadi dengan Allah (Dei Verbum no. 5-6). Melalui proses pewahyuan dari Allah dan tanggapan iman dari pihak manusia, kita diperkenankan untuk mengenal Allah. Namun, hal itu tidak sama dengan mengetahui Allah. Allah tetaplah misteri. Ia “bersemayam dalam terang yang tak terhampiri; seorang pun tak pernah melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia” (1 Tim 6:16). Yesus memang mewahyukan bahwa “Barangsiapa melihat Aku, ia melihat Bapa” (Yoh 14:9). Namun, manusia tetap memiliki keterbatasan. Maka, ada banyak gambaran mengenai Allah, yang biasanya dipengaruhi oleh alam pikirannya sendiri. Masih ingat kisah santo Agustinus dan seorang anak kecil di tepi pantai? Santo Agustinus bertanya, “Nak, untuk apa kamu membuat sumur kecil ini?” Si anak kecil ini menjawab dengan santainya, “Aku ingin memindahkan air laut ke dalamnya!” Itulah yang seringkali dilakukan oleh akal budi manusia, mencoba untuk mengerti misteri Allah dengan otaknya yang terbatas. Gereja memang yakin bahwa akal budi manusia tetap dapat memahami Allah walaupun sangat terbatas. Biasanya kita memberikan gambaran-gambaran duniawi tentang Allah, seperti: gembala, sahabat, dll. Semua itu tidak pernah secara sempurna menggambarkan misteri Allah kita. Oleh karena itu, dalam beriman, manusia harus mengatasi gambaran-gambaran duniawi tentang Allah. Penghayatan hubungan pribadi dengan Allah selalu lebih penting daripada gambaran dan pengertiannya. *Diambil dari berbagai sumber Oleh Romo Heribertus Budi Purwantoro, Pr Puncta 21 Februari 2025
Jum’at Biasa VII Markus 8:34-9:1 DIALOG Yesus dengan Petrus tentang kemesiasan-Nya ternyata berbeda. Petrus menyebut Yesus adalah Mesias. Namun isi dari ungkapan itu beda dengan yang dipikirkan oleh Yesus. Kemesiasan menurut Petrus adalah tokoh spektakuler yang akan merubah nasib bangsa yang tertindas secara politis. Mungkin semacam Super Hero yang bisa mengalahkan segala-galanya. Kayak Film-film fantasi model Superman, Batman, Iron Man, Captain America, Black Widow, Wonder Woman dan lain-lain. Mesias dari kaca mata Yesus bukan tokoh super hero. Tetapi Mesias yang memanggul salib, mati dan bangkit pada hari ketiga. Maka Petrus ditegor oleh Yesus dengan berkata, "Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." Lalu Yesus mengoreksi pemahaman yang salah itu dengan berkata, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.” Petrus mempunyai konsep Mesias sebagai pembebas dari penjajahan politis. Bangsa Yahudi dijajah oleh Kekaisaran Romawi, maka seorang mesias yang diharapkan adalah pemberontak melawan penjajah. Ini yang dipikirkan Petrus. Yesus tidak memikirkan mesias duniawi. Ia adalah pembebas dari penjajahan dosa yang membelenggu setiap manusia. Dengan menderita dan memanggul salib, Yesus menebus dosa-dosa manusia. Konsep apa yang ada dalam pikiran kita tentang Yesus dan perutusan-Nya? Konsep ini akan mempengaruhi sikap dan tindakan kita akan Tuhan dan bagaimana kita menjalani perutusan-Nya bagi kita. Pergi ke pasar membeli banyak buah, Untuk beri makan kera yang kelaparan Konsep salah bawa akibat yang salah, Konsep benar akan bawa pada kebenaran. Wonogiri, diperbaharui oleh Tuhan Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 20 Februari 2025
Kamis Biasa VI Markus 8: 27-33 KATA orang, ”Romo Joko itu bagus.” Jangan langsung percaya kata orang karena penilaian itu sangat subyektif. Orang menilai menurut persepsi seleranya sendiri. Orang melihat apa yang sepintas secara empiris tampak di permukaan. Ia tidak mengenal lebih mendalam dan mendetail. Penilaian yang hanya didasarkan pada “kata orang” mudah sekali keliru dan tidak tepat. Kadang kita menilai seseorang hanya berdasar pada kesan pertama seperti yang pernah dilihat. Maka kita sering terjerumus ke dalam bias penilaian terhadap orang lain. Salah menilai karena hanya mendengarkan “kata orang.” Yesus bertanya kepada para murid dua kali. Yang pertama, Yesus bertanya, "Kata orang, siapakah Aku ini?" Para murid bisa menjawab berdasarkan kata orang. Ada yang menyebut sebagai Yohanes Pembaptis, Elia atau seorang nabi dahulu. Yang kedua, Yesus meminta para murid menjawab menurut pemahaman dan pemikiran mereka sendiri, bukan kata orang. Selama mengikuti Yesus dari jarak dekat, hidup bersama-Nya, ikut mendengar, melihat dan mengalami sendiri apa yang dilakukan Yesus, apa yang ada dalam pikiran mereka. Simon Petrus menjawab, “Engkau adalah Mesias.” Jawaban ini tepat tetapi harus diuji dahulu dalam pengertiannya yang benar. Maka Yesus melarang dengan keras agar jangan memberitahukan kepada siapapun juga. Sebab jika para murid keliru memahami kemesiasan Yesus, bisa mengganggu karya penyelamatan-Nya. Lalu menurut kita sendiri, siapakah Yesus sesungguhnya? Apakah Yesus itu pembantu kita yang harus memenuhi segala kebutuhan kita? Apa yang kita minta harus dilaksanakan? Apakah Yesus sungguh Tuhan yang berkuasa atas hidup kita dan kita berserah setia kepada-Nya? Kita mau melakukan sabda ajaran-Nya dengan ikhlas dan setia? Jalan-jalan ke kota Semarang, Tersesat sampai di pelabuhan. Jangan hanya dengar “kata orang,” Kita bisa tertipu dan mencemarkan. Wonogiri, kenali diri secara mendalam Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 19 Februari 2025
Rabu Biasa VI Markus 8: 22-26 SERING kita mendengar ada misa penyembuhan atau ibadat pengusiran setan atau doa-doa penuh kuasa yang dipertontonkan di atas panggung dengan gegap gempita. Seolah-olah mukjizat itu sebuah pertunjukan hebat yang harus diperlihatkan kepada banyak orang. Dengan pujian panjang-panjang dan doa-doa membahana, “Halleluya…Halleluya mukjizat nyata! Tuhan membuat mukjizat hari ini. Amin saudara-saudara!” Orang yang tadinya sakit itu lalu dipertontonkan kepada semua orang. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Yesus dalam menyembuhkan orang buta di perikope ini. Yesus justru membawa orang buta itu untuk keluar kampung. Ia memisahkan si buta dengan orang banyak. Bahkan sesudah sembuh, orang itu tidak dipertontonkan kepada khalayak ramai. Yesus melarang orang yang sembuh itu untuk masuk ke kampung. Mukjizat tidak perlu dipamer-pamerkan. Untuk apa? Agar orang tidak sombong dan mendewakan dirinya sendiri, dan menggantikan posisi kuasa Allah. Kesembuhan itu melalui sebuah proses, sebagaimana iman kepada Yesus juga melalui proses yang panjang. Orang buta itu tidak langsung melihat. Masih samar-samar seperti melihat pohon-pohon berjalan. Baru pada tahap berikutnya dia mengalami penglihatan total. Orang yang sembuh dari buta itu dibiarkan merumuskan imannya sendiri, siapakah Yesus yang telah menyembuhkannya. Hal ini berbanding terbalik dengan pengalaman para murid. Mereka telah melihat beberapa mukjizat yang dibuat Yesus, tetapi mereka juga belum sampai pada iman yang benar. Memang untuk percaya membutuhkan proses dan pengalaman yang panjang. Kadang orang harus jatuh bangun, tetapi ada pula yang bisa langsung percaya. Apakah kita masih tidak percaya dan butuh melihat mukjizat? Makan bakmi kerasnya seperti kawat, Harus dikunyah dengan gigi yang kuat. Hidup kita sendiri adalah mukjizat, Tanpa harus dipamerkan kepada rakyat. Wonogiri, berproses bersama Tuhan Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 18 Februari 2025
Selasa Biasa VI Markus 8: 14-21 SUATU kali saya mengantar para suster piknik ke pantai. Di dalam mobil sudah penuh dengan makanan, seperti persiapan sebuah pesta ulangtahun. Ada macam-macam cemilan, makanan berat, buah-buahan dan juga permen ringan. Semua serba tersedia. Seperti ada rasa kawatir kalau-kalau di sana tidak ada makanan. Sampai di pantai, kami menikmati indahnya pemandangan. Ada yang bermain ombak. Ada yang ber-selfi ria. Ada yang main gitar dan menyanyi. Ada yang main pasir dan aktivitas yang disukai. Saat tiba membuka bekal untuk makan, semua hanya makan sedikit. Mungkin karena lelah atau memang sangat menikmati suasana. Akhirnya bekal yang banyak itu dibawa pulang kembali, tak termakan. Kekawatiran membuat mereka menyiapkan bekal yang terlalu banyak takut terjadi kekurangan. Akibatnya justru malah terbuang sia-sia. Para murid salah persepsi dengan apa yang dikatakan Yesus tentang ragi. Yesus berbicara agar waspada dan hati-hati tentang ragi kaum Farisi dan ragi Herodes. Tetapi para murid menangkapnya itu sebuah peringatan karena mereka tidak punya roti di tangan. Yesus menegaskan, bukan soal tidak punya roti, tetapi soal pengaruh buruk dari karakter orang-orang Farisi dan Herodes bagi masyarakat. Kalau hanya soal tidak ada roti, apakah mereka tidak ingat bagaimana Yesus memberi makan ribuan orang sampai dua kali? Kekawatiran adalah salah satu tanda ketidak-percayaan. Apakah kita sedang punya banyak kekawatiran tentang hidup, pekerjaan, masa depan, keluarga, hubungan dan study? Datanglah pada Tuhan. Dia mampu menjawab kekawatiranmu, asal engkau mau percaya kepada-Nya. Makan bakso pakai banyak sayuran, Tambah nikmat pakai sambal trasi. Janganlah dikuasai oleh kekawatiran, 99% yang kau kawatirkan tidak terjadi. Wonogiri, hilangkan kekawatiranmu Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 17 Februari 2025
Senin Biasa VI Markus 8: 11-13 PEMUDA pemudi yang sedang dimabuk cinta sering kali meminta bukti atau tanda kalau kekasihnya sungguh-sungguh mencintai. “Mana buktinya kalau kamu mencintai aku? Coba tunjukkan sekarang?” Lalu sang pujaan hati tidak kalah menjawab, “Belahlah dadaku kalau kamu tidak percaya, kalau aku sungguh-sungguh mencintaimu.” Tentu saja jawaban ini hanya kiasan, untuk mengatakan bahwa dia sangat mencintai pacarnya itu. Kata-kata seperti itu hanya ada dalam lagu-lagu romantik, tidak dalam realita hidup. Yana Yulio dan Lita Zein menyatakan itu dalam lagu Emosi Jiwa; “Belah dadaku andai kau ragu. Begitu sayangku padamu. Di setiap mimpi selalu kau hadir, memukau diri ini. Asal kau tahu, betapa hampanya diriku, tanpa kau kasih, pujaanku. Semarak hidup jadi sunyi….” Kalau dadanya sungguh-sungguh dibelah untuk membuktikan cintanya, pastilah akan mati dan dia akan menyesal seumur hidupnya. Orang yang suka menuntut bukti sebenarnya adalah orang yang kurang percaya. Pacar yang selalu hadir menemani, setia mengantar setiap hari, sabar mendengarkan keluh kesah dan beban hidup, itu sudah suatu tanda mengasihi. Tidak perlu membelah dada ingin mengetahui isi hatinya. Dalam perikope Injil hari ini, kaum Farisi datang kepada Yesus dan mereka meminta suatu tanda dari atas, bahwa Yesus sungguh-sungguh datang dari Sorga. Orang-orang macam gini, tidak memahami bahwa cinta itu sebuah proses. Mereka baru akan percaya kalau ada tanda hebat, spektakuler dan instan turun langsung dari sorga. Mereka maunya “ujug-ujug mak jegagig” langsung ada. Mereka tidak paham bahwa dalam proses penciptaan Allah menggunakan waktu, hari demi hari. Ada proses yang berjalan, tidak serta merta atau instan. Begitu pula cinta selalu ada prosesnya, tidak langsung jadi. Menghadapi orang yang degil dan keras hati seperti ini, Yesus berkata, "Mengapa angkatan ini meminta tanda? Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kepada angkatan ini sekali-kali tidak akan diberi tanda." Mari kita berproses memahami tahap demi tahap bagaimana Allah mengasihi kita. Kita tidak perlu menuntut tanda. Kita nanti pasti menemukan dan menyadari dengan sendirinya. Sore-sore duduk minum kopi, Ditemani sepasang merpati. Orang banyak menuntut bukti, justru tanda tidak percaya diri. Wonogiri, percaya saja Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 16 Februari 2025
Minggu Biasa VI Lukas 6: 17.20-26 SUATU pagi sebuah pengalaman di Tayap. Aku harus masak sendiri agar bisa sarapan pagi. Karena hanya ada nasi putih dan ikan asin, maka kubuat saja nasi goreng ikan asin. Untung masih punya bawang putih dan minyak sedikit. Sedang menyiapkan nasi goreng di dapur, ada teman dari pedalaman singgah di pastoran. Aku matikan kompor dan menemui teman yang datang. Kami ngobrol sambil asyik ngopi di kamar tamu depan. Kurang lebih satu jam, teman tadi melanjutkan perjalanan ke Ketapang. Betapa kaget dan mendongkolnya aku ketika masuk dapur, ternyata nasi goreng yang seharusnya kunikmati, sudah didahului oleh beberapa ayam yang kelaparan. Nasi goreng di wajan sudah habis “dithotholi dan dieker-eker” oleh ayamku. Tidak ada lagi nafsu makan. Kendati perut terus berbunyi tetapi ada kebahagiaan yang menyelinap di dalam hati. Aku dikunjungi teman yang singgah, bisa ngobrol bareng dengan sukacita. Perhatian dan penghiburan dari teman lebih dari sekedar kenikmatan nasi goreng. Lagi pula, ayamku juga bisa hidup karena mendapat jatah sarapanku. Mereka berkeliaran dengan sukacita di kebun. Aku lapar tetapi aku bahagia. Kebahagiaan yang sulit untuk diceritakan. Hari ini Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, "Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan.” Kepuasan itu ternyata bukan hanya karena makanan. Menderita demi teman yang mau datang itu juga sebuah kepuasan. Penderitaan yang bisa dimaknai ternyata mampu memberi kepuasan yang lebih. Beranikah kita menderita demi kebahagiaan orang lain? Jika anda berani berkorban, anda akan menemukan kepuasan batin yang melebihi segala jenis kelaparan. Nasi goreng dimakan ayam kesayangan, Ayamnya bertelur di rumah tetangga. Menderita demi orang yang tersayang, Kebahagiaannya sungguh luar biasa. Wonogiri, berbahagialah yang menderita Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 15 Februari 2025
Sabtu Biasa V Markus 8: 1-10 TIDAK ada angka yang paling favorit menurut banyak orang selain angka 7. Angka ini sering muncul dalam berbagai peristiwa dan kejadian. Istilah “Lucky number seven” sudah dikenal oleh banyak orang di belahan bumi ini. Orang Jawa menyebut angka tujuh dengan sebutan “Pitu.” Angka ini diartikan sebagai “Pitulungan” atau pertolongan dan keberuntungan dari yang di atas. Coba perhatikan ada tujuh warna pelangi, ada tujuh benua di bumi kita. Istilah kuno “Seven Seas” mau menggambarkan luasnya samudera kita. Tuhan menciptakan alam semesta dan pada hari ke-tujuh Tuhan beristirahat. Semua serba tujuh. Angka Tujuh adalah angka keramat dan bertuah di Klub sepak bola Manchester United. Mereka yang memakai angka tujuh adalah pemain-pemain hebat dan berkharisma seperti George Best, Bryan Robson, Eric Cantona dan David Bekham. Pemain grup band Korea, BTS beranggotakan tujuh orang. Mereka mendapat penghargaan grammy award pada tahun ketujuh karier mereka. Angka yang luar biasa bukan? Dalam Gereja angka tujuh menunjuk jumlah sakramen dalam gereja. Baptis, Ekaristi, Krisma, Pengampunan dosa, perkawinan, imamat dan perminyakan suci. Pusat dari seluruh sakramen itu adalah Ekaristi. Ekaristi didasarkan pada peristiwa Yesus mengambil roti, mengucap berkat dan membagi-bagikannya kepada orang banyak. Yesus membuat mukjizat dari tujuh roti dan memberi makan kepada empat ribu orang. Sisanya ada tujuh bakul. Bukan soal angkanya yang penting, tetapi peristiwa ini menyatakan bagaimana Allah senantiasa memelihara hidup kita. Dengan memberi makan, Yesus menunjukkan Allah itu berbelas kasih pada kita. Yesuslah Roti Kehidupan bagi kita. Inilah pentingnya Ekaristi bagi kita. Pagi-pagi duduk di meja kerja, Ada secangkir kopi dari Toraja. Ekaristi adalah makanan rohani kita, Tidak cukup hanya makan roti saja. Wonogiri, indahnya berbagi cinta Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 14 Februari 2025
PW. St. Sirilus, Rahib dan St. Metodius, Uskup Markus 7: 31-37 BAYAT adalah sebuah desa di Klaten. Di sana ada Gua Maria “Marganingsih.” Ingat Bayat, kita ingat almarhum Romo Soenarwijaya SJ dan Romo A. Sandiwan Brata, Pr, karena beliau-beliau berasal dari Bayat, Klaten. Sebelum sampai di Gua Maria, kita melewati toko-toko penjual kerajinan dari tanah liat atau orang Jawa menyebut “Grabah.” Benda itu bisa berbentuk pot, kendi, cobek, jun atau klenthing, dan barang hiasan lainnya. Tukang grabah menciptakan pot atau kendi dari tanah liat. Tanah diolah dengan air sampai lembut. Lalu dibentuk dengan tangannya di meja pencetakan. Kadang belum sempurna, harus dirusak dan dimulai dari awal lagi, sampai jadi indah dan baik. Peristiwa Yesus menyembuhkan orang yang tuli dan yang gagap kali ini mengingatkan akan kisah penciptaan manusia dalam Kitab Kejadian. Hal ini dipertegas dengan kalimat orang banyak yang menyatakan: "Ia melakukan segala-galanya dengan baik; yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata." Kita diingatkan akan pernyataan bahwa "Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik." Kita menjadi Katolik tidak otomatis menjadi sempurna. Masih ada banyak cacat cela dan kerusakan dalam diri kita. Maka kita terus memohon kepada Tuhan untuk memperbaiki kita. Kita ini berasal dari tanah. Biarkan Tuhan yang membentuk kita. Kita hanya siap sedia jika proses penciptaan itu terus berlangsung. Kadang hidup kita hancur, berantakan, gagal, jatuh dan pecah. Biarlah Tuhan membentuk kita kembali menjadi indah dan bagus lagi. Ingatlah bahwa kita masing-masing diciptakan baik adanya oleh Tuhan. Bisa jadi sekarang kita sedang mengalami pembentukan kembali untuk diperbaiki oleh Tuhan. Setelah jalan di Pantai Drini, Jangan lupa santap ikan dan nasi. Cobaan datang silih berganti, Jangan biarkan doamu berhenti. Wonogiri, dibentuk kembali Rm. A. Joko Purwanto, Pr |
Archives
December 2034
Categories |
RSS Feed