|
Puncta 08 Oktober 2024
Selasa Biasa XXVII Lukas 10:38-42 MOTTO atau semboyan ini diciptakan oleh St. Benediktus dari Nursia (480-547), seorang pertapa yang hidup sederhana di biara Subiako, Monte Cassino, Italia Selatan. Ia memimpin duabelas biara monastik dan membuat peraturan hidup bersama sebagai pertapa. Labora berarti kerja tangan atau “Opus Manuale,” yang dimaksud adalah kerja keras melawan kemalasan. Kemalasan dipandang sebagai godaan setan. Dari kata Labor muncul kata bahasa Inggris “laborious” yang berarti rajin atau menyediakan waktu yang ekstra banyak. Orang malas adalah budak setan. Maka kita harus rajin untuk melawan kemalasan. Untuk melawan godaan setan, labora juga adalah bagian dari doa. Jadi antara doa dan kerja tidak bisa dipisahkan. Keduanya tidak bisa dipertentangkan. Dalam kutipan bacaan Injil hari ini, Yesus tidak bermaksud memisahkan antara doa (duduk dekat kaki Yesus yang dilakukan Maria) dengan kesibukan Marta yang bekerja keras. Demi mendukung kerja kerasnya, Marta meminta Tuhan untuk memihak ke posisinya dan mengharapkan Maria membantu pekerjaannya. Yesus mengkoreksi sikap Marta dengan berkata, “"Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya." Kalau Tuhan ada di dekat kita, kita tidak perlu kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara. Tetapi hanya satu saja yang perlu. Maria telah memilih bagian yang terbaik. Ini yang dikoreksi oleh Yesus. Marta menganggap posisinya yang paling benar dan merasa cemburu atau iri hati karena Maria hanya diam saja, tidak membantunya. Ora et Labora itu berjalan bersama-sama saling melengkapi. Doa menjadi spiritualitas dalam bekerja. Kerja menjadi bahan dialog dalam doa yang tiada habisnya kepada Tuhan. Kerja akan lebih bermakna karena didukung dengan doa dan kesediaan mendengarkan sabda Tuhan. Doa tidak akan menjadi kering karena didasari dengan aneka karya yang diabdikan bagi Tuhan dan sesama. Mari kita berdoa dan bekerja. Wonogiri lagi musim buah mangga, Sangat manis buah warnanya merah. Marilah kita berusaha rajin bekerja, Karna kerja juga bagian dari ibadah. Wonogiri, rajin berdoa, tekun bekerja Rm. A. Joko Purwanto, Pr
0 Comments
Puncta 7 Oktober 2024
Pw. SP. Maria Ratu Rosario Lukas 10: 25-37 SETELAH perjalanan yang melelahkan dari Tanjung Bunga, saya singgah di rumah Pak Ignatius Denggol di Engkadin. Waktu itu hujan baru saja selesai. Tanah merah yang dilewati melekat kuat di roda motor. Sebentar-sebentar harus mencongkel tanah di roda yang tak bisa bergerak maju. Perjalanan menjadi lambat dan melelahkan. Dengan senang hati Pak Ignatius menerima saya di kamar tamu rumah panggungnya. Ibu Ignatius langsung membuatkan kopi panas. Dia juga menggoreng ubi yang diambil dari kebun. Diam-diam dia merebus daun pakis sebagai lalap dan bikin sambel bawang. Pak Ignatius menyuruh saya mandi karena baju dan celana basah dan kena lumpur semua. Saya diberi pinjaman sarung sebagai ganti. Setelah menghabiskan kopi dan ubi goreng, saya mandi. Ternyata selama mandi, Pak Ignatius mencuci motor saya sampai bersih. Jas hujan yang saya pakai sudah bersih digantung di jemuran. Setelah mandi, Ibu Ignatius mengajak saya makan dengan pucuk daun pakis, lauk ikan lais yang digoreng kering sangat crispy, dioles sambel bawang yang lezat. Orang Jawa bilang “lijo -linak-lingga-lica” (lali bojo, Lali anak, lali tangga, lali kanca). Pokoknya lupa segala-galanya saking nikmatnya. Segala lelah pun jadi hilang. Keluarga ini hidup sederhana. Tetapi hospitalitasnya sangat luar biasa. Keramahan, kepedulian, kesiap-sediaan, ketulusan dan budinya sangat murah hati. Semoga Pak Ignatius Denggol dan Mas Anton, anaknya yang sudah dipanggil Tuhan mengalami kemurahan Tuhan di sorga. Hari ini Yesus memberi gambaran kepada Ahli Taurat yang ingin mencari hidup kekal untuk mencontoh orang Samaria yang baik hati. Orang Samaria itu walau dia dianggap “orang asing” tetapi hatinya sangat baik. Ia tidak saja menolong, tetapi menjamin keselamatan orang yang dirampok habis-habisan itu, sampai semunya tuntas. Orang Samaria itu tidak membeda-bedakan siapa si korban perampokan ini. Niatnya hanya ingin menolong tanpa pamrih apa-apa. Yesus mengajak ahli Taurat itu untuk berbuat sebagaimana orang yang telah menolong korban perampokan itu. “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Tanya Yesus. Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!" Maukah kita juga menolong sesama dengan murah hati? Bunga kamboja bunga selasih, Ditanam di kebun bertumpang tindih. Menolong sesama tanpa pamrih, Tuhan akan mengasihi dengan lebih. Wonogiri, marilah bermurah hati Rm. A. Joko Purwanto,Pr Puncta 6 Oktober 2024
Minggu Biasa XXVII Markus 10: 2-16 JEAN PIAGET, seorang pakar pendidikan anak mengatakan bahwa penanaman nilai seorang anak dipengaruhi relasi emosionalnya. Usia 0-2 tahun seorang bayi mengalami kedekatan emosi pada ibunya. Usia 3-4 tahun anak mulai dekat dengan ayahnya. Usia 5-6 tahun dia mulai dekat dengan kakak atau adiknya. Usia 7-10 tahun mulai dekat dengan teman-teman bermainnya. Usia 10 tahun ke atas mereka sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Keluarga bisa menanamkan nilai-nilai pada anaknya sebelum usia 10 tahun. Setelah itu dia akan banyak menyerap nilai-nilai dari lingkungannya. Kalau lingkungan pergaulannya baik, dia tumbuh dengan baik. Tetapi kalau lingkungannya buruk, dia juga mudah dipengaruhi darinya. Pemerhati anak yang lain, Dorothy Law Nolte menulis puisi berjudul “Children Learn What They Live.” Dorothy menulis, “Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri......” Dalam perikope bacaan hari ini ada dua hal yang bisa kita renungkan. Pertama soal ikatan suami istri. Yesus meluruskan pandangan yang keliru di tengah masyarakat. Keluarga yang retak, kawin cerai-kawin cerai tidak dikehendaki Allah. Yesus menegaskan, ”Apa yang sudah dipersatukan Allah, jangan diceraikan oleh manusia.” Hal ini juga menyangkut pendidikan anak-anak yang terus menerus dan berkelanjutan. Bagaimana anak-anaknya akan dididik jika orangtuanya kawin cerai melulu. Kedua, Yesus menerima dan memberkati anak-anak. Yesus menunjukkan hati dan budi serta pikiran anak-anak adalah suci, polos, tulus dan tidak berdosa. Jiwa seperti anak-anak itulah yang empunya Kerajaan Sorga. Keluarga menjadi sekolah yang baik untuk menanamkan nilai-nilai seperti yang dimiliki anak-anak itu. Paus Fransiskus pernah menulis, “Tanpa pengampunan keluarga menjadi sebuah teater konflik dan benteng keluhan. Tanpa pengampunan, keluarga menjadi sakit. Pengampunan adalah sterilisasi jiwa penjernihan pikiran dan pembebasan hati.” Mari kita mulai menanamkan nilai-nilai pengampunan, kasih dan ketulusan di dalam keluarga kita masing-masing. Ada penyanyi mirip Siti Nurhaliza, Sangat merdu dan empuk sekali suaranya. Tidak ada keluarga yang sempurna, Kita bisa menyempurnakannya dengan cinta. Wonogiri, pengampunan adalah obat jiwa Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 5 Oktober 2024
Sabtu Biasa XXVI Lukas 10: 17-24 MEREKA ini adalah kakak beradik. Sumantri gagah, tampan dan pandai. Sebaliknya, Sukasrana berwajah buruk seperti raksasa, cebol, jelek dan lemah tubuhnya. Tetapi dia punya hati yang baik, tulus, penuh kasih dan suka menolong. Sukasrana itu seperti Quasimodo, Si Bongkok buruk rupa dari Notre Dame dalam Kisah The Huncback of Notre-Dame karangan Victor Hugo. Kendati wajahnya buruk, tetapi hatinya sangat baik. Tuhan itu maha adil. Yang punya kelemahan atau buruk di satu sisi, namun diberi anugerah kesaktian atau kelebihan luar biasa. Sumantri ingin mengabdi ke Kerajaan Maespati. Dia ingin menjadi pejabat tinggi dan terhormat di sana. Raja Harjuna Sasrabahu memberi syarat kepada Sumantri yaitu melamar Dewi Citrawati dan membawa 800 putri boyongan. Dengan kesaktiannya Sumantri mampu mengalahkan raja-raja yang ingin memperistri Citrawati. Dia juga berhasil mendapatkan 800 putri boyongan, Karena sukses, Sumantri makin “nggembelo” sombong dan terlalu percaya diri. Ia menantang Raja Harjuna Sasrabahu untuk mengalahkannya. Perang tanding terjadi. Sumantri kalah. Ia dihukum untuk memindahkan Taman Maerakaca ke Maespati. Dia bingung setengah mati. Jika ini gagal, dia tidak akan diterima menjadi punggawa. Muncullah adiknya yang dihinakan karena buruk rupa dan jelek. Sukasrana yang dipandang kecil, lemah dan bodoh namun berhasil memindahkan Taman Maerakaca. Jangan menyombongkan diri seperti Sumantri yang pada akhirnya gagal total. Kebijaksanaan dimiliki oleh mereka yang tulus, rendah hati dan sederhana seperti sifat Sukasrana. Yesus memuji Allah karena semua itu tersembunyi bagi orang cerdik pandai yang menutup diri bagi kebijaksanaan Allah. Tetapi justru orang-orang kecil, sederhana lebih terbuka pada kebijaksanaan Allah. "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu,” kata Yesus. Pelajaran penting agar kita tidak jumawa tetapi rendah hati, tulus dan ikhlas diri. Berjuang jatuh bangun ke Kuala Lumpur, Untuk ketemu dengan Siti Nurhaliza. Kerendahan hati adalah keutamaan luhur, Kejarlah dia sampai kamu mendapatkannya. Wonogiri, kebijaksanaan kaum kecil sederhana Romo. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 04 Oktober 2024
Pw. St. Fransiskus Asissi Lukas 10: 13-16 DALAM dunia yang glamor dan suka pamer kekayaan, Paus Fransiskus lebih memilih naik mobil rakyat yang biasa sewaktu berkunjung ke Indonesia. Sementara orang suka naik jet pribadi yang mewah, Paus Fransiskus menggunakan pesawat komersial. Yang penting sampai dengan selamat demi berjumpa dengan umat. Di tengah kecamuk dan konflik antar kelompok yang mengatasnamakan agama, Paus Fransiskus memilih datang berkunjung membawa damai, berpelukan dengan Imam Besar Mesjid Istiqlal. Dia berjabat tangan dengan semua orang yang suka damai. Menciptakan perdamaian, bukan saling curiga dan permusuhan. Ketika dunia berebut kuasa, saling bersaing untuk menjatuhkan lawan-lawannya, Paus Fransiskus datang dengan memeluk anak-anak kecil di pinggir jalan, orang-orang cacat dan difabel. Dia membawa kasih persaudaraan bagi semua orang. Kendati Paus harus berjalan dengan kursi roda, badannya dimakan usia, namun semangatnya untuk mencinta sungguh luar biasa. Ia mengikuti semangat Fransiskus yang dipilih menjadi nama pontifikalnya. Hari ini kita memperingati seorang santo besar yakni Fransiskus Asissi. Fransiskus adalah pribadi yang lengkap. Ia mengasihi Tuhan dengan doanya yang kuat. Ia mengasihi manusia khususnya yang miskin dan terpinggir. Ia mengasihi alam semesta sebagai saudara-saudarinya. Ia membawa damai bagi mereka yang berbeda. Hidup Fransiskus menginspirasi banyak orang yang ingin menimba semangatnya; hidup sederhana, cinta damai, persaudaraan, kerendahan hati, cinta alam semesta dan semangat doa yang dalam. Semangat Fransiskus masih tetap relevan untuk kita manusia di zaman modern kontemporer ini. Zaman yang dipenuhi dengan permusuhan, kekejaman, persaingan, hedonisme, pamer kekayaan dan kuasa. Kehadiran Paus Fransiskus ke Indonesia kemarin sungguh menghadirkan semangat Santo Fransiskus yang nyata dan relevan bagi kehidupan kita. Marilah kita meneladan Santo Fransiskus, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Paus Fransiskus, gembala dan bapak kita. Ibukota negara sudah pindah ke Kalimantan, Rakyat di sana belum menikmati kemakmuran. Dengan hidup sederhana kita tidak kekurangan, Dengan semangat cinta kita tidak akan kehilangan. Wonogiri, cintai bumi seperti Ibu Pertiwi Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 03 Oktober 2024
Kamis Biasa XXVI Lukas 10: 1-12 AWAL menjalani perutusan ke Keuskupan Ketapang, Kalimantan Barat adalah sebuah pengalaman baru bagi saya. Ketapang adalah dunia baru yang belum pernah saya ketahui. Seperti sebuah rimba gelap yang belum pernah dijelajahi. Pasti ada rasa takut dan gelisah. Romo Adiwardaya tahu kondisi perasaan saya. Dia mengantar saya sampai di Ketapang. Dalam perjalanan di udara, Rm. Adi berkata, “Tuhan yang mengutus, pasti Tuhan juga akan mengurus kita, percaya saja.” Benar juga, selama seminggu saya tinggal di Keuskupan, saya diminta membantu misa di Kendawangan. Itulah misa pertama saya di Ketapang. Kami berboncengan dengan sepeda motor menempuh perjalanan sepanjang 123 km dari Ketapang. Kami melewati daerah Padang Duabelas yang katanya angker dan penuh misteri. Perjalanan panjang yang di sisinya ditumbuhi pohon cemara laut. Kami menyusuri jalan di tepi pantai yang panas. Di gereja kecil itu, hanya ada belasan umat yang datang. Tidak terduga ternyata ada umat Romo Adiwardaya yang berasal dari Nanggulan, sekarang tinggal di Kendawangan. Mereka sangat terkejut bertemu secara tiba-tiba dengan romo yang dulu membaptisnya waktu kecil. “Romo, dimana-mana Tuhan sudah mencarikan teman untuk kita,” kata Rm. Adi. “Segalanya sudah diurus oleh Tuhan, jangan takut. Dia yang menjamin kehidupan kita,” demikian Romo menguatkan saya. “Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala. Janganlah membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut, dan janganlah memberi salam kepada siapapun selama dalam perjalanan. Kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini,” demikian pesan Yesus saat mengutus tujuhpuluh murid-Nya. Kita diutus masuk ke tengah-tengah kumpulan serigala. Itu artinya sesuatu yang berbahaya dan menakutkan. Tugas perutusan adalah tugas berat. Banyak bahaya menghadang. Tetapi Tuhan akan selalu menyertai dan tidak akan membiarkan para utusannya terlantar. Selalu ada orang-orang baik yang dikirim menolong mereka yang diutus. Maka jangan takut dan kawatir menjadi utusan Tuhan. Pergi ke Jepara lewat Kudus, Terasa ngantuk seperti dibius. Bersiap-sedialah untuk diutus, Tugasmu membawa nama Yesus. Wonogiri, berani untuk diutus Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 02 Oktober2024
Pw. Para Malaikat Pelindung Matius 8:1-5.10 PERJALANAN ke Stasi Tanjung Bunga dari Paroki Nanga Tayap membutuhkan nyali yang besar. Jalan yang ditempuh sangat sulit dan penuh perjuangan. Apalagi kalau melewati perkebunan sawit yang jalannya sangat membingungkan. Kalau tidak hapal tanda-tanda, kita bisa tersesat. Jika sudah melewati kebun sawit yang panjang, kita harus berjuang lagi menyusuri jalan setapak menaiki bukit dan hutan. Kadang juga ada jembatan putus dan hanya melewati sepotong papan kayu sebagai titian. Kalau hujan jalan menjadi licin sekali. Roda motor tidak bisa dikendalikan. Kita hanya bisa mengikuti alur lubang yang sudah ada saja. Tanjakan dan turunan harus dilewati sebelum mencapai kampung Tanjung Bunga. Untunglah ada Bapak Prodiakon namanya Uder yang selalu siap mengantarkan pastor jika mengadakan turne ke Tanjung Bunga. Pak Uder sangat hapal jalan yang harus dilewati. Ia selalu mendampingi saya agar bisa melayani umat di Tanjung Bunga. Ia seperti malaikat yang menuntun dan menolong saya di tengah perjalanan. Kalau ada Pak Uder saya merasa aman dan tenang melewati jalan-jalan yang rusak, licin, masuk hutan dan kebun sawit tak bakal tersesat. Saya merasa Tuhan mengutus malaikat pamomong melalui Pak Uder yang hadir dalam perjalanan hidup saya. Sekarang Pak Uder sudah bahagia di surga. Dia tetap bersedia hadir sebagai malaikat penolong, jika sewaktu-waktu diperlukan. Hari ini kita memperingati Malaikat Pelindung yang selalu menuntun dan menolong kita. Yesus berkata kepada para murid-Nya: “Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga.” Hati Allah selalu memandang mereka yang kecil, lemah dan menderita. Maka Allah melindungi mereka dengan mengutus malaikat-malaika-Nya. Malaikat itu hadir dalam diri orang-orang baik yang diutus menolong kita. Selalu ada malaikat penolong di sekitar kita. Maka jangan takut menghadapi apapun, malaikat penolong siap menuntun kita. Lagu indah di bawah ini, bisa menguatkan kita. Kula tansah dipun jagi malaikat, Juru pamong ingkang setya yekti. Rinten dalu tansah nyuwun ken rahmat, Kang supados gesang amba murni. Wonogiri, terimakasih malaikatku Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 1 Oktober 2024
Pesta St. Teresia Kanak-Kanak Yesus, Perawan, Pujangga dan Pelindung misi. Matius 18: 1-5 ANAK-ANAK kecil mudah memaafkan. Mereka polos, lugu, tanpa banyak prasangka. Mereka kadang berantem dengan temannya, berebut mainan. Mereka marah, menangis, jengkel. Tetapi esok harinya mereka sudah bermain lagi bersama-sama. Tak ada dendam dalam diri anak-anak. Beda dengan orangtuanya. Ibu dari anak-anak itu saling marah membela anaknya. Mereka bahkan tak mau saling menyapa. Mereka menyimpan dendam tak berkesudahan. Padahal anak-anak mereka sudah bermain bersama-sama dengan riang gembira. Mereka sudah lupa apa yang kemarin terjadi, tetapi ibu mereka masih tak mau tegor sapa. Yesus berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.” Hari ini kita merayakan Pesta St. Teresia dari Kanak-Kanak Yesus. Teresia menempatkan dirinya sebagai anak kecil di hadapan Yesus. Ia mengajak Yesus bermain-main. Ia bersedia menjadi bola kecil yang menjadi kesayangan Yesus. Sikap merendahkan diri sebagai kanak-kanak yang lugu, polos, tak berdosa dan mudah memaafkan itulah yang dihayati Teresia kecil mengabdi pada Tuhan. Ia mengembangkan jalan kecil untuk melayani Yesus. Hal-hal kecil dilakukan dengan cinta yang besar. Jalan-jalan sederhana dan yang dipandang rendah oleh dunia justru menjadi jalan kesempurnaan. Teresia menjalankan tugas-tugas kecil di dapur, di kebun dengan semangat pengabdian yang besar. Seperti anak kecil, segala sesuatu dijalankan dengan sukacita dan penuh cinta. Tuhan tidak memandang hina dan rendah segala sesuatu yang dikerjakan dengan tulus dan cinta. Tidak ada yang tidak berharga di hadapan Tuhan, sekecil apapun perbuatan baik kita. Marilah kita lakukan hal-hal kecil dan sederhana dengan cinta yang tulus dan ikhlas. Sinar senja tak pernah dusta, Setiap waktu ia datang menyapa kita. Tak ada yang tidak berharga, Asal semua dilakukan dengan cinta. Wonogiri, semua karena cinta Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 30 September 2024
Pw. St. Hieronimus, Imam dan Pujangga Gereja Lukas 9: 46-50 PIKIRAN Allah berbeda dengan pikiran manusia. Rancangan Allah berbeda dengan rancangan manusia. Allah ingin turun menjadi manusia. Sedang manusia justru ingin naik menjadi Allah. Tetapi manusia selalu gagal. Allah pasti yang berhasil. Menara Babel adalah contoh usaha manusia yang ingin naik menuju Allah. Tetapi usaha manusia itu hancur runtuh berantakan. Manusia ingin menjadi yang tertinggi, terbesar dan terhebat dari segalanya. Tetapi hasilnya adalah nol besar. Dalam perikope ini Yesus tahu apa yang ada dalam pikiran murid-murid-Nya. Mereka memperdebatkan siapa yang terbesar di antara mereka. Mereka berebut menjadi yang terbesar. Seumumnya kita semua juga ingin menjadi yang terbesar, terhebat dan ter-segala-galanya. Pikiran Yesus berbeda dengan kita dan para murid-Nya. Ia berkata kepada mereka: "Barangsiapa menyambut anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku; dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia, yang mengutus Aku. Karena yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar." Siapa yang terkecil, justru dialah yang terbesar. Allah justru mengambil jalan pengosongan diri. Ia merendahkan diri menjadi yang terkecil. “Barangsiapa menyambut anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.” Disinilah pelajaran bagi kita untuk mengasihi mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Inilah pilihan Allah menjadi anak kecil. Jika kita menerima dan mengasihi mereka berarti kita juga mengasihi Allah. Paus Fransiskus dalam setiap kunjungannya selalu bertemu dan memberkati anak-anak kecil. Di jalan-jalan yang beliau lewati anak-anak kecil diberkati, bahkan ibu yang sedang hamil pun diberkati sebagai tanda cintanya pada anak-anak kecil. Mereka yang cacat, lemah, difabel mendapat tempat khusus di hati Paus. Demikianlah semestinya sikap dan pola hidup kita, mengikuti jalan pikiran Allah, menghargai mereka yang kecil. Sebab barangsiapa menyambut orang-orang kecil dan lemah, sama saja kita menerima Tuhan dalam hati kita. Maukah kita mengambil pola dan jalan pikiran Tuhan yang berbeda dengan jalan pikiran kita? Di Sleman ada desa namanya Bokongan, Kalau di Sulawesi ada Desa Tumpaan. Jalan Allah adalah jalan pengosongan, Jalan kita adalah jalan kesombongan. Wonogiri, jalan Allah melawan arus Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 29 September 2024
Minggu Biasa XXVI Markus 9:38-43.45.47-48 DALAM suatu kelompok ada kosa kata magis yaitu “Wong kito atau orang kita.” Dalam bahasa prokem Jawa ada istilah yang hampir sama artinya yaitu “Jape Methe.” Pola rumit ini dibuat pada era 80-an oleh kelompok anak muda di Jogja yang membalik aksara Jawa untuk membuat istilah-istilah prokem. Hanya orang-orang di dalam kelompok mereka saja yang mengerti istilah-istilah itu. Misalnya, Jape Methe dab itu artinya “Cahe dhewe mas” atau bocahe dhewe. Dia adalah kelompok kita, anak buah kita, bagian dari kita. Dia adalah anggota geng atau kelompok kita. Kelompok akan melindungi dan membelanya karena dia adalah bagian dari kita. Orang yang tidak sealiran atau satu kelompok menjadi orang luar, musuh atau saingan. Mereka tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak sepaham dengan mereka. Kelompok akan menjaga dan membela hidup anggotanya dari serangan atau saingan lainnya. Seringkali terjadi tawuran-tawuran antar kelompok karena masing-masing mempunyai kebenarannya sendiri dan mereka tidak mau disaingi oleh yang lain. Akhir-akhir ini terjadi keresahan di kota-kota besar karena tawuran antar kelompok. Sampai-sampai beberapa kampus menghimbau mahasiswanya untuk tidak berkegiatan melebihi jam 21.00 agar tidak berhadapan dengan geng atau kelompok-kelompok brutal. Dalam diri murid-murid Yesus nampaknya juga ada suasana eksklusifisme kelompok. Yohanes memprotes karena ada orang lain di luar kelompoknya membuat mukjizat atas nama Yesus. “Guru, kami melihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” Yesus berkata, “Janganlah kamu cegah dia, sebab tak seorang pun yang telah mengadakan mukjijat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku.” Yesus berpikir inklusif, terbuka pada kebaikan dan kebenaran yang ada di luar sana. Siapa saja bisa memakai nama Yesus demi kebaikan dan kesejahteraan bersama. Toleransi dan semangat inklusif mesti dijunjung tinggi agar damai dan harmoni terjadi dimana saja. Mari kita berpikir dan bertindak tidak terkotak-kotak, supaya wawasan kita jadi terbuka luas. Berpandangan luas dan komprehensif, Agar kita tidak berpikir eksklusif. Mari bertindak toleran dan inklusif, Kita bangun persaudaraan secara massif. Wonogiri, jangan memaksakan kehendak sendiri Rm. A.Joko Purwanto, Pr |
Archives
December 2034
Categories |
RSS Feed