Puncta 4 September 2024
Rabu Biasa XXII Lukas 4: 38-44 NAMA aslinya adalah Anjeze (Agnes). Lahir di wilayah Albania, Kekaisaran Utsmani pada 26 Agustus 1910. Anjeze kecil sudah ingin menjadi biarawati Katolik karena sering membaca kisah-kisah para misionaris yang diutus pergi ke Timur Jauh. Umur 18 tahun dia diutus pergi ke Kalkuta bersama biarawati dari Loreto. Dari sana namanya berubah menjadi Suster Teresa. Ketika di Kalkuta marak penyakit tuberkolosis, Teresa tergerak hati menolong mereka. Ia mengunjungi mereka di daerah kumuh, miskin dan menolong yang sakit dan merawat mereka yang menderita. Ia mengajak teman-temannya anggota Ordo Misionaris CintaKasih di Kalkuta untuk fokus menolong orang sakit, yatim piatu, kusta, tuna wisma dan gelandangan di daerah miskin India. Sejak saat itu dia dijuluki sebagai “The Saint of the Gutters” atau orang suci dari selokan-selokan kumuh dan kotor. Karya Yesus menolong orang sakit dan menderita itulah yang menjadi inspirasi Bunda Teresa menjalankan misinya. Yesus sesudah mengajar di sinagoga, pergi ke rumah mertua Simon dan menumpangkan tangan-Nya sehingga sembuhlah sakitnya. Lalu sepanjang hari banyak orang sakit datang kepada Yesus minta disembuhkan. Ketika matahari terbenam, semua orang membawa kepada-Nya orang-orang sakit, yang menderita bermacam-macam penyakit. Iapun meletakkan tangan-Nya atas mereka masing-masing dan menyembuhkan mereka. Melalui Yesus dan Bunda Teresa kita bisa belajar beberapa hal; Pertama, sikap empati dan belaskasih. Yesus mengajarkan pentingnya empati dan belaskasih pada mereka yang menderita. Teresa menjadi contoh nyata belaskasih bagi mereka yang miskin. Kedua, Yesus dan Teresa menunjukkan kesetiaan pada nilai-nilai ilahi. Mengasihi orang miskin dan sakit adalah wujud nyata dari kasih ilahi sebagai panggilan hidup. Yesus berkata, "Juga di kota-kota lain Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Aku diutus." Ketiga, kasih itu terwujud dalam tindakan nyata. Yesus dan Teresa tidak hanya mengajar tentang kebaikan, tetapi mempraktekkan dalam tindakan kongkret. Kebahagiaan bukan terletak dari banyaknya harta, tetapi sejauhmana pelayanan nyata kita sumbangkan bagi dunia sekitarnya. Makan gudeg di kota Yogya, Sambil duduk di trotoar balaikota. Bukan karena harta kita bahagia, Berbagi kasih bagi para penderita. Wonogiri, siap misa dengan Bapa Suci.... Rm. A. Joko Purwanto, Pr
0 Comments
Puncta 3 September 2024
PW. St. Gregorius Agung, Paus dan Pujangga Gereja Lukas 4: 31-37 WAKTU masih menjadi seminaris, kami mempunyai Romo Rektor yang berwibawa. Beliau adalah Rm. Martinus Soenarwidjaya SJ. Suatu kali ada acara MK (Malam Kesenian). Kelas kami menampilkan drama kelahiran Yesus. Karena seminari tidak ada siswi-siswinya, maka salah satu dari kami memerankan Maria. Karena gaya dan tutur kata yang sedikit menirukan “perempuan” para penonton bersorak bergemuruh. Nampaknya Romo Rektor tidak berkenan. Maria diperankan dengan gaya lelucon. Beliau hanya berdiri dengan muka serius. Frater Priyo Pujiono membaca gelagat yang tidak enak. Dia langsung naik ke sisi panggung dan membuat gerakan tangan memotong leher. Teriaknya; “Cut! Cut! Cut!” Petugas layar menarik tali cepat-cepat menutup panggung pertunjukan. Pentas langsung dihentikan. Malam itu kami para pemain drama dipanggil di kamar Romo Rektor. Tidak dimarahi tetapi diberi wejangan. Kata-katanya tajam dan mengena. “Bagaimana perasaanmu kalau ibumu yang kamu hormati diperlakukan seperti itu?” Kami semua diam tertunduk kelu di lidah. Yesus datang di Kapernaum. Ia mengajar dengan penuh kuasa. Bahkan setan pun diusir keluar dengan kuasa-Nya. Semua orang takjub, lalu berkata seorang kepada yang lain, katanya: "Alangkah hebatnya perkataan ini! Sebab dengan penuh wibawa dan kuasa Ia memberi perintah kepada roh-roh jahat dan merekapun keluar." Orang-orang mengakui kekuatan dari ajaran-Nya. Kata-kata-Nya dahsyat mengusir kuasa kegelapan. Kendati iblis itu tahu siapa Yesus - Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah" - namun Yesus tak membiarkan dia menguasai orang itu. Yesus mewahyukan Diri-Nya dengan kuasa Allah yang mengatasi kejahatan. Terserah bagaimana orang menanggapinya. Apa mau percaya atau menolak-Nya. Ada banyak yang percaya tetapi juga ada yang tidak mau mempercayai-Nya, seperti para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Apakah anda pernah mengalami kuasa Tuhan yang begitu besar? Lalu apa sikap anda melihat karya Tuhan itu? Jalan ke pasar beli mangga, Pedagangnya cantik mempesona. Tuhan sungguh luar biasa, Kuasa-Nya mengatasi segalanya. Wonogiri, Tuhanku memang hebat... Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 2 September 2024
Senin Biasa XXII Lukas 4:16-30 KITA ini sering lebih menghargai produk Luar Negri daripada produk milik kita sendiri. Hal ini kelihatan dari barang-barang yang sering kita pakai. Merek-merek Luar Negri jadi pameran di sekujur tubuh kita. Ada yang senang belanja barang-barang branded Luar Negri dengan pesawat jet pribadi. Ada yang bangga memakai arloji, tas, sepatu atau baju-baju bermerk asing. Sedangkan produk-produk lokal, dalam negeri dikucilkan dan tidak dianggap atau disepelekan. Kita masih dijajah melalui produk-produk luar. Hal ini membuat mental kita tidak bangga dengan produk atau milik kita sendiri. Kita tidak mampu menghargai hasil karya bangsa sendiri. Inilah yang dialami Yesus ketika Dia pulang ke kampung halaman-Nya di Nazaret. Yesus menawarkan nilai-nilai baik dari Allah. Tetapi orang-orang di kampung-Nya menolak, tidak mau menerima-Nya. Mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: "Bukankah Ia ini anak Yusuf?" Orang-orang Nazaret meragukan dan tidak mau menerima Dia. Bahkan mereka berusaha menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu. Orang-orang Nazaret itu tidak mau menghargai Yesus dan karya-Nya. Mereka hanya menilai dari permukaan yang dilihatnya saja. Mereka tidak menangkap makna apa yang disampaikan Yesus. Kadang kita juga hanya melihat tindakan dan karya orang lain secara lahiriah saja, yang kelihatan di permukaan. Kita menilai orang lain hanya dari apa yang kelihatan dari luar saja. Atau kita menilai orang dari latar belakang keluarga yang jeleknya saja. Dengan menilai demikian, kita menutup kebaikan-kebaikan atau segi-segi yang positif. Kita tidak mau membuka hati terhadap segi positif dan kebaikan karya Tuhan. Maka tidak ada karya mukjizat yang terjadi. Hal-hal baik menjadi tertutup karena kita tidak mau percaya kebaikan Tuhan. Untuk itu kita bisa belajar untuk tidak menilai orang laih hanya berdasarkan apa yang kita lihat sesaat saja. Kita diajak membuka diri memahami orang lain lebih dalam. Jangan menilai buku dari covernya, Bacalah isi sampai sedalam-dalamnya. Yesus akan membuat mukjizat-Nya, Karena Dia sangat mengasihi kita. Wonogiri, tetaplah percaya Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 1 September 2024
Minggu Biasa XXII Markus 7:1-8.14-15.21-23 ADA kelompok masyarakat yang menghayati agama hanya sebatas formalisme saja. Yang diutamakan adalah aspek legal formalnya, tanpa menyentuh substansi atau inti hidup beragama. Mereka mengukur kesalehan atau kesempurnaan diri lewat ketaatan buta terhadap dogma, aturan, hukum dan adat istiadat yang kaku dan ketat. Mereka mudah curiga pada orang lain dan menilai buruk atau negatif bila tidak sesuai dengan paham mereka. Mereka merasa paling benar dan mudah menghakimi orang lain. Kelompok ini suka memakai simbol-simbol agama di ruang-ruang publik untuk menunjukkan mereka lebih dari yang lain. Symbol-simbol itu sebagai bentuk formalisme saja tanpa mengerti apa makna batiniahnya. Misalnya suka pakai kalung rosario panjang-panjang, tapi suka mengumpat kata-kata kotor pada orang lain. Mereka tidak mementingkan makna rohani rosarionya tetapi hanya untuk pamer, biar dinilai saleh, biar kelihatan suka sembahyang, cari pujian dan previlegi egoistik. Orang formalis mudah mengadili orang lain secara moral (membully, persekusi) dan sosial (merusak, melarang) yang tidak sejalan dengan pahamnya. Nada-nada sikap formalisme ini ada dalam dialog antara kaum Farisi dengan Yesus. Orang Farisi memprotes murid-murid Yesus yang makan tanpa membasuh tangan lebih dahulu. "Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?" Yesus meluruskan pandangan mereka dengan mengutip pesan Nabi Yesaya: “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia." Yesus mengembalikan makna substansial dari kehidupan agama. Bukan yang masuk tetapi yang keluar dari manusia, itulah yang menajiskan. Bukan simbol-simbol agama, tetapi tindakan kasih yang nyata itu yang lebih berguna. Mungkin kita juga sering jatuh ke formalisme agama. Suka pamer simbol-simbol agama tetapi tidak peduli pada orang menderita. Lebih mementingkan yang artifisial daripada inti yang substansial. Suka menghakimi orang lain sebagai najis atau kafir, tetapi peri hidupnya sendiri jauh dari nilai-nilai itu. Mari kita memperbaiki diri lebih dahulu sebelum menuntut orang lain berubah. Kalau doa pakai Bahasa roh, Tapi perilakunya suka goroh. Kemana-mana pakai rosario, Jebul uripe ya mung “mletho.” Wonogiri, jadilah bijaksana dalam hidup Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 31 Agustus 2024
Sabtu Biasa XXI Matius 25: 14-30 DALAM perumpamaan ini, Yesus menggambarkan bahwa Kerajaan Sorga itu seperti Tuan yang mempercayakan hartanya kepada hamba-hambanya. Ada yang diberi lima talenta, dua talenta dan satu talenta sesuai dengan kemampuannya. Masing-masing menurut kesanggupannya. Tuan itu tidak membeda-bedakan. Satu talenta itu seharga 6.000 dinar. Satu dinar adalah upah buruh sehari. Jadi kalau lima talenta itu berarti 30.000 dinar. Betapa sangat banyak harta yang dipercayakan Tuan itu kepada hamba-hambanya!!! Mereka menganggap Tuannya seorang pribadi yang baik hati, penuh pengertian, murah hati, “loma.” Karena merasa begitu dikasihi, hamba yang diberi lima talenta bekerja keras dan mendapat laba lagi lima talenta. Begitu juga yang mendapat dua talenta mendapat laba lagi dua talenta. Beda dengan sikap hamba yang mendapat satu talenta. Dia menganggap tuannya seorang yang keras, memaksa dan penuh perhitungan. Hamba itu berkata, “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam.” Perumpamaan ini menjadi renungan bagi kita, siapakah Allah itu bagi kita? Tuan yang baik dan murah hati atau Tuan yang kejam, menuntut, dan kritis pada kita? Penilaian kita tentang siapa Allah akan mempengaruhi tindakan yang kita perbuat kepada Tuhan dan sesama. Jika hidup kita ini adalah bentuk talenta kemurahan hati Tuhan, kita akan memperjuangkan dengan segala kekuatan agar memperoleh laba yang banyak. Tetapi jika hidup kita ini adalah tuntutan yang berat dari Tuhan, maka kita menanggung beban berat sepanjang hidup dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Inilah sikap Allah yang murah hati itu: “Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya. Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi." Hidup ini adalah pilihan. Mana yang akan anda pilih? Dicampakkan atau diberi dengan penuh kelimpahan? Naik kereta cepat ke Surabaya, Untuk ngejar waktu ke bandara. Banyak talenta ada di tangan kita, Apakah mau dibuang begitu saja? Wonogiri, kembangkan talentamu Rm. A. Joko Purwanto, Pr Punca 30 Agustus 2024
Jum’at Biasa XXI Matius 25: 1-13 DALAM adegan perang kembang, bertemulah antara Raksasa yakni Buta Cakil dan Raden Arjuna. Cakil itu banyak bicaranya, nyerocos tak henti-henti, sok pinter, suka menyombongkan diri, suka merendahkan orang lain. Dia juga bertingkah polah “pethakilan,” banyak tingkah seperti paling hebat sendiri. Sedangkan Arjuna lebih banyak diam, tutur katanya ditata dengan runtut dan berhati-hati. Dia berdiri dengan tenang dan tidak bertingkah polah yang keterlaluan. Arjuna menunjukkan pribadi yang matang dan bijaksana. Dalam pertempuran itu, Arjunalah yang memenangkannya. Ia tidak banyak bicara, dan bertingkah polah. Tindakan dan tutur katanya dikendalikan dengan seksama, terukur dan terarah pada sasarannya atau “mrantasi.” Dalam Injil, Yesus memberi perumpamaan tentang gadis bodoh dan gadis bijaksana. "Pada waktu itu hal Kerajaan Sorga seumpama sepuluh gadis, yang mengambil pelitanya dan pergi menyongsong mempelai laki-laki. Lima di antaranya bodoh dan lima bijaksana. Gadis-gadis yang bodoh itu membawa pelitanya, tetapi tidak membawa minyak, sedangkan gadis-gadis yang bijaksana itu membawa pelitanya dan juga minyak dalam buli-buli mereka.” Dalam kehidupan ini kita diajak untuk bersikap bijaksana. Pandai atau pinter secara intelektual saja tidak cukup. Orang perlu memiliki kebijaksanaan moral yang kuat agar bisa mengatasi berbagai macam masalah dan kesulitan dengan baik. Seperti tokoh Arjuna berhadapan dengan Cakil, orang bijak tidak menyombongkan kemampuannya, ia justru merendahkan diri tanpa banyak pamer kekuatan. Ia hemat dengan kata-kata, tidak mengobral sampai berbuih-buih di mulutnya. Orang bijak tidak hanya pakai logika berpikir, tetapi juga memakai perasaan dan intuisi hatinya. Gadis yang bijak itu tidak hanya bawa pelita, tetapi juga bawa minyak dalam buli-buli. Ia memakai intuisinya kalau-kalau pengantin terlambat, memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi.Gadis bijak itu mempertimbangkan berbagai sudut sebelum memutuskan sesuatu. Marilah kita hidup dengan bijaksana. Tepa selira dalam bertindak, sedikit bicara tetapi banyak berbuat demi kebaikan sesama. Dengan sikap bijaksana kita berjaga-jaga menyiapkan bekal untuk kedatangan Tuhan. Pergi ke toko menjajal kacamata, Mau cari yang bentuknya beda. Hidup tidak hanya mencari kaya, Namun harus berhati bijaksana. Wonogiri, jadilah orang bijaksana Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 29 Agustus 2024
PW. Kemartiran St. Yohanes Pembaptis Matius 24: 42-51 JANGAN mengira kalau di kota-kota besar Eropa tidak ada copet. Banyak beredar video yang mengingatkan para pejalan kaki, peziarah, turis atau orang-orang tua yang ada di kerumunan. Mereka berteriak-teriak “pickpocket, pay attention please!” Orang-orang itu mengajak para pejalan kaki, penumpang bus atau kereta untuk waspada ada copet berkeliaran mencari mangsa. Mereka sangat lihai mencari orang-orang yang berlalu lalang di kerumunan. Ketika terlena dan tidak sadar dibuntuti, para pencopet itu beraksi. Ada yang berdiri berdesak-desakan, ada yang mengajak ngobrol santai, sementara temannya beroperasi mengambil barang-barangnya. Mereka tidak menduga kalau pencopet atau maling sedang beroperasi menguras harta bendanya. Maka kita diharap selalu waspada dan menjaga barang-barang bawaan di tas atau ransel kita. Kalau di rumah kita diajak selalu berjaga-jaga. Maka Yesus berkata, “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang. Tetapi ketahuilah ini: Jika tuan rumah tahu pada waktu mana pada malam hari pencuri akan datang, sudahlah pasti ia berjaga-jaga, dan tidak akan membiarkan rumahnya dibongkar.” Ada yang mengatakan bahwa menunggu atau berjaga-jaga itu membosankan. Waiting is boring. Ya kalau waktu menunggu kita hanya diam saja atau tidak berbuat apa-apa, pastilah akan membosankan. Tetapi kalau menunggu itu kita gunakan untuk beraktivitas, pasti tidak akan membosankan. Belajarlah dari budaya orang Jepang. Mereka selalu mengisi waktu menunggu dengan aneka aktivitas. Minim mereka akan membaca buku. Kemana pun orang pergi, mereka membawa buku bacaan. Dengan membaca buku mereka mengisi waktu dan memperoleh banyak pengetahuan. Dengan demikian menunggu atau berjaga-jaga tidak akan membosankan dan tidak ada waktu yang terbuang. Kita memanfaatkan waktu berjaga-jaga dengan baik. Jika begitu, Tuhan akan memberi berkah yang banyak kepada kita. Yesus berkata: “Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya tuannya itu akan mengangkat dia menjadi pengawas segala miliknya,” Buah mangga buah papaya, Jadi rujak enak rasanya. Mari kita selalu berjaga, Kita waspada jangan sampai terlena. Wonogiri, berjaga dan waspada Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 28 Agustus 2024
PW. St. Agustinus, Uskup dan Pujangga Gereja Matius 23: 27-32 UNTUNGLAH Agustinus berjumpa dengan Ambrosius, Uskup di Milan. Perjumpaan itulah yang membuat Agustinus tertarik untuk menjalani hidup sebagai orang Kristen. Sebelumnya Agustinus muda menjalani kehidupan yang bejat. Ia pernah hidup bersama tanpa nikah selama 15 tahun sampai memiliki anak, Adeodatus waktu di Kartago. Hidupnya hanya dipakai untuk mengejar kenikmatan duniawi. Ia mengikuti ayahnya yang kafir. Sementara ibunya, St. Monika adalah seorang Kristen yang tekun, taat dan saleh. Ia terus mendoakan anaknya agar bertobat. Dalam tulisannya, "Confessiones," Agustinus berkata, “Aku tertarik bukan pada kotbah-kotbahnya (Ambrosius) yang cemerlang, tetapi cara hidupnya yang sederhana dan tulus menerima aku apa-adanya,” Teladan hidup Ambrosius mengubah Agustinus untuk mencari hidup yang lebih damai, tentram, bahagia tanpa dikejar oleh hawa nafsu duniawi. Sejak saat itu, Agustinus mempelajari Kristus melalui Injil yang dibacanya. Ambrosius bukanlah tipe pemimpin atau tokoh yang dikritik oleh Yesus dalam bacaan Injil hari ini. Yesus mengkritik dengan keras, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan.” Untunglah Agustinus mendapatkan contoh teladan baik dari Uskup Ambrosius, bukan seperti ahli-ahli Taurat atau kaum Farisi yang dikecam oleh Yesus. Agustinus melihat cara hidup Ambrosius dan bertobat mengubah dirinya menjadi murid Kristus yang total. Teladan baik akan menjadi jalan keselamatan bagi orang-orang di sekitar kita, sekalipun itu hanya perbuatan kecil, seperti antri di jalan atau menolong sesama. Kita semua diingatkan agar tidak berlaku munafik seperti Kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat. Kita diajak berani bertobat seperti Agustinus, menjadi pemimpin yang dapat diteladani karena peri hidup yang baik. Ambrosius adalah teladan hidup yang membawa kepada pertobatan nyata. Itulah yang dialami oleh St. Agustinus, uskup dan pujangga Gereja. Nyapu lantai sampai resik, Bersih putih hilang kotoran. Teladan adalah guru yang baik, Memberi contoh dengan tindakan. Wonogiri, merajut cinta Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 27 Agustus 2024
PW. St. Monika, Matius 23: 23-26 SYAIR lagu waktu kita masih kecil diajarkan oleh ibu guru kita dan kita terus menghapalnya. Syair itu berbunyi; "Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa. Selalu memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia." Kasih ibu yang tiada batasnya itu kita kenangkan pada hari peringatan Santa Monika. Dia adalah ibu dari St. Agustinus yang terus menerus berdoa bagi pertobatan anaknya. Berpuluh-puluh tahun lamanya St. Monika meminta kepada Tuhan agar Agustinus menemukan Tuhan dan hidup dalam jalan-Nya. Pada waktu muda Agustinus menjalani kehidupan yang tidak baik. Ia mengejar nafsu duniawi dan jauh dari moral yang benar. Berkat doa-doa yang tiada henti dari cinta seorang ibu, Agustinus sadar dan bertobat. Ia menemukan kasih sejati dalam diri Yesus yang dia baca dari Kitab Suci. Tulisan Agustinus di bawah ini merangkum pengalamannya dalam mencari Tuhan. “Betapa lambat aku akhirnya mencintaiMu, keindahan begitu lama – begitu baru, betapa lambat Kau kucintai!” Engkau mengajak, memanggil dan menggempur ketulianku, Engkau bersinar, cemerlang dan menghalaukan kebutaanku… Terlambat aku mencintaiMu, ya Tuhanku!” Walau terlambat, namun akhirnya Agustinus memeluk Tuhan sebagai harta terindah satu-satunya. Ini semua berkat kesetiaan dan ketekunan St. Monika yang terus berdoa bagi keselamatan jiwa anaknya. Mari kita tunduk sebentar dan mengenang kebaikan ibu kita masing-masing. Kita bersyukur memiliki ibu yang berhati mulia dan terus berdoa bagi kebaikan kita. Seperti Monika, begitulah hati seorang ibu yang tulus mengasihi anak-anaknya. Ya Tuhan, bahagiakanlah ibuku dalam hidupnya. Seberapa pun usahaku, aku belum bisa membalas kasihnya. Semoga ibu berbahagia dalam keabadian di surga. Tigapuluh tahun jalani imamat, Semua karena doa ibuku di surga. Kasih ibu takkan pernah tamat, Ia menemani aku sepanjang masa. Wonogiri, pesta 30 tahun imamat Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 26 Agustus 2024
Senin Biasa XXI Matius 23: 13-22 BEBERAPA hari ini banyak kalangan masyarakat mulai dari mahasiswa, intelektual, buruh, dan warga sipil merasa geram dan marah atas rencana anggota DPR yang hendak merevisi Undang-Undang Pilkada yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya. Dua hal yang rencananya akan direvisi yakni ambang batas pencalonan dalam Pilkada serta syarat batas umur bagi calon. Dua syarat ini nampaknya menghambat pencalonan “anak muda” yang belum cukup umur untuk naik tahta. Mahasiswa dan masyarakat tidak ingin demokrasi dikebiri dan dibegal hanya untuk kepentingan penguasa melanggengkan dinastinya. Mereka yang ambisi berkuasa mencoba menggunakan segala cara merebut pengaruh bagi pemerintahan ke depan. Tetap harus dilawan mereka yang ingin merusak demokrasi dan cita-cita pendiri bangsa kita. Maka para mahasiswa, buruh dan masyarakat sipil turun ke jalan mengingatkan para pemimpin yang buta dan haus kekuasaan. Dalam pengajaran-Nya, Yesus juga mengkritik para ahli Taurat, kaum Farisi dan pemimpin-pemimpin buta yang suka menindas kaum kecil, janda dan rakyat jelata. “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu kamu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat,” kata Yesus. Yesus juga menegaskan, “Celakalah kamu, hai pemimpin-pemimpin buta, yang berkata: Bersumpah demi Bait Suci, sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi emas Bait Suci, sumpah itu mengikat.” Reformasi yang dibangun dengan berdarah-darah dan pengorbanan jiwa raga tidak boleh dikembalikan untuk melanggengkan sebuah dinasti. Kekuasaan yang tidak dibatasi hanya akan merusak tatanan demokrasi dan menyengsarakan rakyat. Kita semua harus mengingatkan para penguasa agar kembali ke cita-cita awal negara demokrasi. Kita lihat apakah mereka peduli dan mendengarkan hati nurani rakyat yang punya kedaulatan tertinggi. Semoga muncul pemimpin yang punya hati nurani. Ada keramaian di alun-alun kota, Suara hiruk pikuk membahana. Kita sedang tidak baik-baik saja, Semua rebutan untuk berkuasa. Wonogiri, tetap jaga konstitusi Rm. A. Joko Purwanto, Pr |
Archives
December 2034
Categories |