Puncta 28 Agustus 2025
Pw. St. Agustinus, Uskup dan Pujangga Gereja Matius 24:42-51 PENJAGAAN perbatasan Israel itu dikenal super ketat. Tentara berada dimana-mana. Mereka sadar bahwa musuh bisa datang kapan saja dan pada waktu yang tidak diduga-duga. Hal ini terjadi pada awal Oktober 2024 ketika pasukan Hamas tiba-tiba pada hari sabtu pagi menyerang dengan roket-roketnya ke wilayah Israel. Kendati penjagaan sangat ketat namun pada saat-saat tertentu bobol juga. Serangan tiba-tiba itu menewaskan ratusan orang dan beberapa tentara dan rakyat sipil disandera Hamas. Inilah pemicu perang Israel dan Hamas yang sampai sekarang tidak pernah berhenti dan telah memakan korban yang besar serta penderitaan rakyat yang memprihatinkan. Ada pepatah Latin berkata, “Si vis Pacem Para Bellum” artinya jika ingin damai, siapkanlah perang. Ungkapan ini sering digunakan dalam dunia militer sebagai filosofi dasar untuk membangun kesiapsiagaan. Si Vis Pacem Para Bellum menjadi landasan untuk membangun pertahanan suatu negara yang modern dan efektif dalam rangka berjaga-jaga secara pertahanan dan keamanan. Berjaga-jaga itulah yang dinasehatkan Yesus kepada para murid dan orang-orang banyak. Yesus mengingatkan kepada kita, “Berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang.” Sama seperti kedatangan pencuri yang tidak bisa diduga-duga, demikian juga kedatangan Anak Manusia. Kalau tuan rumah tahu kapan pencuri datang, pastilah dia berjaga-jaga, jangan sampai rumahnya dibobol maling. Seperti sistem pengamanan di perbatasan yang terus menerus diperbaharui dan diperketat, demikianlah hidup kita juga harus selalu siap siaga, terus memperbaharui diri agar selalu berjaga jika Tuhan datang. Apa yang anda gunakan untuk berjaga-jaga saat kedatangan Tuhan? Mungkin lebih mudah membayangkan kematian datang daripada hari kedatangan Tuhan. Dengan cara apa anda menyiapkan datangnya kematian itu? Bermain air di pinggir Pantai Bali, Terbawa ombak sampai Pulau Babi. Tanda kematian tak bisa diprediksi, Kita harus siap sedia menjaga diri. Wonogiri, berjaga-jagalah, Rm. A.Joko Purwanto, Pr
0 Comments
Puncta 27 Agustus 2025
Pw. St. Monika, Matius 23:27-32 SAYA pernah diminta memberkati sebuah makam pada peringatan seribu hari orang yang meninggal. Makam itu besar, bagus dengan gambar Tuhan Yesus dan Bunda Maria, serta patung relief perjamuan malam terakhir. Pasti biaya pembangunan makam itu bisa mencapai ratusan juta. Mereka beranggapan makam adalah rumah masa depan yang harus bagus dan indah. Agar orang yang meninggal krasan tinggal di sana dan bangunan ini juga sebagai wujud penghormatan kepada yang telah berpulang. Saya hanya bertanya dalam hati, “Mengapa menghormati saat orang sudah mati. Apakah waktu masih hidup mereka juga dihormati atau malah dibuang di rumah jompo, disingkirkan dari keluarga supaya tidak merepoti?” Yesus mengkritik orang-orang Farisi dan para Ahli Taurat seperti kuburan yang luarnya dilabur putih bersih tetapi dalamnya penuh tulang belulang dan kotoran. Kritik ini kiranya bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk murid-murid Yesus dan kita semua. Sikap munafik itu terlihat dari apa yang ada di luar berbeda dengan apa yang ada di dalam. Antara tutur kata dan tindakan berbeda dengan suara hati yang ada di dalam. Luarnya kelihatan bagus-bagus, tetapi dalamnya punya niat jahat, dendam, benci dan iri hati. Ada ungkapan-ungkapan Jawa yang menggambarkan kemunafikan atau kepura-puraan ini. Misalnya, “inggih-inggih ora kepanggih” (mengatakan iya-iya tapi gak pernah melakukan), “mesam-mesem atine kucem,” (mulutnya tersenyum tetapi hati dongkol), “nundhuk-nundhuk pengin ngepruk.” (menunduk tapi pengin menghancurkan), “tangan sedhakep nanging ngawe-awe, nggutuk lor kena kidul.” Yesus tidak seperti orang Jawa. Dia berkata langsung keras dan tegas pada sikap kemunafikan para ahliTaurat dan Farisi. Orang Jawa tidak berani langsung kritik tajam. Mereka muter-muter dengan bahasa halus agar tidak menyakiti. Yesus langsung to the point. “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.” Bisa jadi saya, anda, kita semua seperti kuburan itu. Luarnya kelihatan bagus, indah, sopan dan saleh. Tetapi dalamnya penuh kejahatan dan kotoran. Benar gak? Sakit gula bisa bikin mata rabun, Kalau bisa tiap hari makan telur kalkun. Jalani imamat tigapuluh satu tahun, Tetap sukacita walau harus jatuh bangun. Wonogiri, marilah bertobat Rm. A.Joko Purwanto, Pr Puncta 26 Agustus 2025
Selasa Biasa XXI Matius 23:23-26 SEKARANG ini orang melakukan korupsi seperti makan kacang bawang saja. Orang melakukan korupsi semakin enjoy tanpa beban. Tidak cuma pejabat tinggi, pejabat rendahan pun kalau ada kesempatan akan bertindak korupsi. Kasus wamenaker makin menambah deretan pejabat yang korupsi. Modal jadi pejabat sangat besar, hanya mengandalkan gaji tak mungkin bisa kembali. “Untung-untunganlah, kalau tidak ketahuan KPK ya melenggang, kalau ketangkap ya sedang sial saja. Dihukum paling hanya beberapa tahun, tetapi uang yang didapat bisa untuk tujuh turunan.” Kalau mental kita seperti itu, kita tidak akan maju. Sementara rakyat kecil dikejar-kejar harus membayar pajak. Para pejabat yang berkedudukan hidup dalam gelimang harta dan berfoya-foya; mobil mewah, gaji besar (Kompas menulis gaji DPR tembus 230 juta per bulan), fasilitas serba mahal. Rakyat harus hidup miskin dan menderita. Kehidupan seperti inilah yang dikecam oleh Yesus pada zaman itu. Ahli Taurat dan kaum Farisi adalah kelompok elit yang suka makan rejeki orang kecil. Mereka menindas rakyat dengaan ayat-ayat Kitab Suci. “Hai kamu pemimpin-pemimpin buta, nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan. Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan.” Selama hukum tidak dijalankan secara benar, maka korupsi akan tetap merajalela. Maka Yesus memberi solusi dengan memberi perhatian pada keadilan, belas kasih dan kesetiaan. “Bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih,” kata Yesus. Perbaharui diri dari dalam melalui sikap tobat hati dan mental baru nanti mengalir pada tindakan nyata dari luar. Kalau mental koruptif dari dalam itu tidak dibenahi, godaan untuk korupsi akan terus menjerumuskan kita. Tidak mengherankan kalau dari tahun ke tahun selalu saja akan ada pejabat dicongkok KPK karena korupsi. Rompi oranye jadi seragam pejabat, Bagi mereka yang makan uang rakyat. Mari kita memperbaharui semangat, Gunakan pikiran dengan akal sehat. Wonogiri, berani berkata tidak pada korupsi Rm. A.Joko Purwanto,Pr Puncta 25 Agustus 2025
Senin Biasa XXI Matius 23:13-22 KAUM Farisi dicela oleh Yesus karena mereka bersikap munafik. Mereka senang mencari-cari kesalahan orang untuk menghakimi, atau menjatuhkan di depan umum supaya mereka dianggap pinter, saleh, suci dan peduli. Padahal mereka tidak berbuat apa-apa untuk kebaikan bersama. Orang munafik kelihatan dari tutur katanya. Antara apa yang dikatakan dan dilakukan tidak seiring sejalan. Orang zaman sekarang menyebut “Omdo” omong doang atau NATO “Not Action Talk Only.” Di mata orang Farisi, apa yang dilakukan orang lain itu tidak ada yang benar. Semua serba salah. Dia suka mengkritik, menyalahkan orang lain, menghakimi segala perilaku orang dan suka memamerkan diri biar dilihat baik di mata orang. Kaum Farisi ini menindas orang kecil, kaum lemah dengan ayat-ayat Kitab Suci, tetapi mereka sendiri hidup berfoya-foya. Mereka lebih mengedepankan formalisme agama. Mulutnya mengajarkan kasih sayang, tetapi dari mulut yang sama keluar ujaran kebencian, hasutan, penghinaan dan penindasan terhadap kelompok yang berbeda. Orang lain dianggap musuh, bukan sesama saudara. Yesus mengecam mereka karena sikap kepura-puraan atau kemunafikan ini. “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu kamu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat.” Mari kita merenungkan sabda Yesus ini. Apakah kita sendiri juga bertindak munafik seperti kaum Farisi itu? Suka mengkritik orang tetapi tidak mau melakukan kritikannya sendiri. Suka memprotes tetapi tidak pernah mau diberi tanggungjawab? Hampir di tiap lingkungan, wilayah, paroki atau kelompok-kelompok ada orang-orang yang berlaku munafik. Dengan sabda Yesus itu, kini saatnya bertobat dan terlibat. Lebih baik terlibat daripada hanya banyak” nyacat.” Ke ladang bawa parang, Banyak pohon harus dibabat. Mengkritik itu gampang, Terlibat itu butuh niat kuat. Wonogiri, Jangan Omong Doang Rm. A.Joko Purwanto, Pr Puncta 24 Agustus 2025
Minggu Biasa XXI Lukas 13: 22-30 WILLIAM Holman Hunt adalah seorang pelukis Inggris yang hidup pada tahun 1827-1910. Salah satu karyanya yang terkenal adalah lukisan Yesus mengetuk pintu rumah. Sebelum dilaunching lukisan itu ditunjukkan ke teman-temannya. Hunt ingin agar mereka mencari titik lemah atau kekurangan dari karyanya itu. Teman-teman yang meneliti tidak melihat kekurangan lukisannya. Mereka memuji karya Hunt sangat bagus. Sekali lagi dia mengundang banyak orang lagi untuk memberi komentar. Salah satu pemerhati lukisan mengatakan ada satu kekurangan fatal dalam lukisan itu. Yaitu tidak ada handle atau pegangan di pintu. “Ada satu kekurangan fatal dalam lukisanmu, yaitu pintu ini tidak mempunyai handle untuk membuka,” kata teman yang disetujui oleh pengunjung lainnya. “Ini bukan kekurangan, tetapi kesengajaan.” Jawab Hunt. “Pintu ini tidak sekedar pintu. Tetapi ini adalah pintu hati kita. Yesus mengetuk hati kita. Yang membuka adalah kita sendiri dari dalam,” jelasnya. Ketika ditanya orang, “Sedikit sajakah orang yang diselamatkan?” Yesus menjawab, "Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sesak itu! Sebab Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan berusaha untuk masuk, tetapi tidak akan dapat.” Mengapa tidak dapat? Karena ketika Yesus mengetuk pintu hati manusia, mereka tidak berusaha membukanya. Untuk bisa membuka hati dibutuhkan perjuangan. Orang harus berjuang sendiri. Yesus hanya mengetuk pintu hati. Dia tidak memaksa dengan kuasa-Nya. Kita bebas memilih mau diselamatkan atau hidup dalam dosa. Semua tergantung dari kesediaan kita untuk berjuang. Perjuangan itu akan menentukan keberhasilan. Maka Yesus mengingatkan, “Sesungguhnya ada orang yang terakhir yang akan menjadi orang yang terdahulu dan ada orang yang terdahulu yang akan menjadi orang yang terakhir." Kalau kita sudah dibaptis sejak bayi tetapi tidak mau bertobat, kita akan menjadi yang terakhir. Namun penjahat yang disalib di samping Yesus walau dia baru pada akhir-akhir bertobat, dia menjadi yang terdahulu masuk ke dalam Kerajaan Tuhan. Maka maukah kita membuka pintu untuk bertobat? Makan gratis bikin perutku kenyang. Di kelas otakku jadi melayang-layang. Ikut Yesus bukan soal senang-senang, Harus bertobat dan mau berjuang. Wonogiri, bertobat dan berjuang Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 23 Agustus 2025
Sabtu Biasa XX Matius 23:1-12 ORANG Parisi adalah orang yang berusaha mentaati hukum Taurat sedetil-detilnya, tetapi motivasinya adalah agar dilihat dan dihormati orang. Mereka mengajarkan, menasehati orang lain, tetapi tidak mau melakukannya. Kadang saya, anda, kita juga sering jatuh seperti orang-orang Parisi itu. Yesus menunjukkan motivasi jahat mereka, “Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.” Di kalangan kita sering terlihat orang yang suka pamer kemunafikan; memakai baju agamis, tetapi perilaku dan tutur katanya kasar, tidak sopan, menghakimi dan menjelek-jelekkan orang lain. Ada yang suka mengkritik, tetapi tidak mau terlibat di dalam kegiatan. Anak sekarang bilang, ”OMDO, Omong Doang.” Merasa sok pinter, menyalahkan orang lain; ketua RT, ketua umat, pimpinan atau direktur, suka “nggerundel, slinthutan” ngomong di belakang tetapi kalau diberi tanggungjawab gak pernah mau. Ada yang suka cari hormat, ngejar posisi atau kedudukan, tetapi cuma pengin disanjung-sanjung. Suka dipanggil “Bos atau Tuan Besar,” tetapi suka menindas bawahan atau orang lemah. Mari kita belajar dari karakter padi yang bernas. Padi yang berisi atau bernas adalah padi yang merunduk ke bawah. Kalau padi itu menjulang ke atas, tanda bahwa tak ada isinya alias “gabuk atau kopong.” Padi yang baik justru merunduk, merendahkan diri. Mirip dengan prinsip padi, Yesus juga berkata, “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Orang akan dinilai dari tutur kata dan tindakannya. Orang Jawa bilang, “Ajining dhiri gumantung ana ing kedhaling lathi,” harga diri seseorang tergantung dari ucapannya. Apa yang diucapkan mesti terwujud dalam tindakan. Mungkin kita juga termasuk orang-orang Parisi atau ahli-ahli kitab yang dikritik Yesus pada zaman ini. Penyanyi Dangdut namanya A.Rafiq, Lagu hitnya “Pandangan Pertama.” Kalau kita jadi orang munafik, Tidak disukai dimana-mana. Wonogiri, belajar dari padi yang bernas Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 22 Agustus 2025
Pw. St. Perawan Maria Ratu Matius 22: 34-40 TIDAK secara kebetulan bahwa sila pertama dan kedua dalam Pancasila berbicara tentang Tuhan dan manusia. Sila pertama berbunyi, Ketuhanan yang mahaesa. Sila kedua langsung berkata, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Cinta pada Allah dan sesama itulah yang tertuang dalam Pancasila. Sebagai seorang Katolik kita selalu membuat tanda salib. Salib terbuat dari dua palang kayu. Palang vertikal dan palang horisontal. Palang vertikal melambangkan relasi kita dengan Allah. Palang horisontal melambangkan relasi dengan sesama manusia. Relasi vertikal mengarah pada hukum kasih kepada Allah. Sedangkan relasi horisontal menggambarkan hukum kasih kepada sesama manusia. Dua hukum itu seperti dua sisi dalam sekeping mata uang. Keduanya menyatu tidak bisa dipisahkan. Seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus untuk mencobai Dia, “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” Terasa aneh bahwa seorang ahli kitab yang setiap hari mempelajari Taurat tidak tahu mana hukum yang terutama. Yesus menjawab, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan segenap akal budimu. Dan hukum yang kedua yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kasih kepada Allah diwujudkan dengan kasih kepada sesama. Tidak mungkin mengasihi Allah tanpa mengasihi sesama. Begitu pun sebaliknya. Tidak mungkin mengasihi sesama dengan mengabaikan kasih kepada Allah. Sejalan dengan pemikiran itu, kita pantas bersyukur mempunyai Pancasila. Karena dalam butir-butir Pancasila itu juga terkandung cinta kepada Tuhan dan sesama. Presiden Sukarno adalah peletak pondasi bangsa yang visioner jauh ke depan. Kita harus melandaskan hidup pada kasih dengan Tuhan dan sesama. Pancasila itu bisa dikatakan sebagai perwujudan dari Hukum Kasih yang diajarkan Kristus. Mengamalkan Pancasila berarti juga mengamalkan Hukum Kasih. Dalam kehidupan berbangsa, Pancasila itu adalah hukum tertinggi yang menjadi rel bagi seluruh warga negara. Hukum Kasih adalah rel bagi kita seluruh umat manusia dalam membangun kehidupan damai dan sejahtera. Dekat stasiun ada Pasar Kembang, Tempat orang berjualan bunga. Hidup kita harus seimbang, Mengasihi Tuhan dan sesama. Wonogiri, kasih tiada membedakan Rm. A.Joko Purwanto, Pr Puncta 21 Agustus 2025
Pw. St. Pius X, Paus Matius 22:1-14 BEBERAPA kali saya mendapat undangan hajatan ketika bertugas di Nanga Tayap. Ada undangan pernikahan, sunatan atau aqiqoh yang diadakan warga. Saya tidak mengenal tuan rumah yang mengadakan pesta. Entah mengapa kok kartu undangan diberikan kepada saya. Ketika saya datang ke pesta, saya tidak mengenal si empunya rumah. Tamu-tamu yang datang pun juga terasa asing. Sebagai rasa hormat, saya datang memasukkan amplop saja, bersalaman sesudah itu pulang. Sesudah tanya sana tanya sini, ternyata mereka itu mengundang siapa saja walaupun tidak mengenal satu sama lain. Ibaratnya menebar jala, pasti satu dua ikan akan masuk ke jalanya. Undangan disebar kemana-mana, siapa tahu mereka datang. Yesus menggambarkan Kerajaan Allah itu seperti raja yang mengadakan pesta pernikahan. Semua orang diundang tanpa kecuali. Hamba-hambanya disuruh mengumumkan kepada para undangan. Tetapi mereka tidak mau datang. Berbagai alasan disampaikan; ada yang pergi ke ladang, ada yang mengurus usahanya. Bahkan utusan itu disiksa dan dibunuh. Maka raja itu menyuruh siapa pun orang di pinggir-pinggir jalan untuk datang ke pestanya. Perumpamaan ini adalah sindiran bagi orang-orang Yahudi sebagai bangsa yang dipilih Allah. Tetapi mereka tidak mengindahkan undangan Allah. Ia mengutus nabi-nabi untuk mengajak mereka kepada Allah. Tetapi nabi-nabi itu ditolak, disiksa dan dibunuh. Allah mengutus Putera-Nya dan mengajak siapa pun untuk masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Orang baik, orang jahat, pemungut cukai, orang berdosa, wanita berzina, orang lumpuh, buta, semua orang sakit dan rakyat jelata tanpa kecuali diundang Tuhan. Itulah kemurahan hati Allah, siapa pun diundang tanpa kecuali. Kita semua dipanggil dalam perjamuan-Nya, apakah kita siap memakai baju pesta agar pantas memasuki Kerajaan-Nya? Kalau kita datang ke suatu pesta, Kita tidak asal pakai baju seadanya. Kerajaan Allah untuk siapa saja, Kita boleh masuk karena kasih-Nya. Wonogiri, mari datang ke pesta-Nya Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 20 Agustus 2025
Pw. St. Bernardus, Abas dan Pujangga Gereja Matius 20: 1-16 PETRUS bertanya kepada Yesus, "Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?" Lalu Yesus menceritakan perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur. Ada lima grup atau rombongan pekerja: mereka yang bekerja mulai jam 06.00. Grup jam 09.00. Grup jam 12.00. Rombongan jam 15.00 dan terakhir jam 17.00. Ternyata Tuan pemilik kebun membayar mereka masing-masing satu dinar. Kelompok pertama merasa paling berjasa karena telah bekerja 12 jam dijemur di terik matahari. Maka mereka marah dan protes disamakan dengan kelompok yang bekerja hanya satu jam saja. Sambil menerima upahnya, mereka bersungut-sungut kepada tuan itu, katanya: “Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari.” Pelajaran yang dapat kita petik dari perumpamaan ini adalah tentang kemurahan hati Allah yang tak pilih kasih. Kedua, Allah memberikan keselamatan berdasarkan kedaulatan-Nya, bukan karena jasa-jasa manusia. Ketiga, bagaimana sikap kita, lebih bersyukur karena Allah murah hati atau bersungut-sungut karena kita iri hati. Cerita tentang Yunus yang marah kepada Tuhan karena Ninive diampuni memberi contoh pada kita yang suka iri hati karena Allah mengampuni orang berdosa dan menyelamatkan mereka. Pikiran kita sama dengan Yunus. Ninive yang jahat harus dihukum, bukan malah diampuni. Kita menuduh Allah bertindak tidak adil. Orang iri hati suka membanding-bandingkan dan menghitung-hitung jasa dan prestasi. Orang iri hati tidak bisa bersyukur atas anugerah Allah. Mata orang iri hati hanya melihat kejelekan dan keburukan orang lain. Tak ada yang positif! Sikap iri hati sering merusak hubungan personal dan komunal. Kita sering iri dan nyinyir dengan etnis tertentu yang sukses dan kaya. Padahal mereka bisa sukses karena kerja keras, ulet, rajin dan hemat. Orang iri hati hanya pinter ngomong dan menghakimi. Mereka tidak bertambah sejahtera, tetapi makin miskin, bodoh, malas dan tertinggal. Di lingkungan umat sering terjadi hubungan rusak karena provokasi orang iri hati. Santo Yakobus mengingatkan, “Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.” Orang iri hati ngomongnya nyinyir, Mulutnya nyerocos baunya anyir. Kalau ngomong lebih dulu dipikir, Jangan sampai dianggap wong kenthir. Wonogiri, iri hatikah engkau? Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 19 Agustus 2025
Selasa Biasa XX Matius 19:23-30 ORANG Afrika memiliki cara cerdik menangkap kera. Dia akan menanam botol di dalam tanah. Botol itu berbentuk seperti gitar. Badannya besar, lehernya sempit. Di dalam botol ditaruh kacang kesukaan kera. Botol dipasang dimana kera-kera suka mencari makan. Mencium ada bau kacang yang merangsang selera, kera itu akan menjulurkan tangannya ke dalam botol. Dia meraih kacang-kacang dan menggenggamnya untuk ditarik keluar. Tetapi karena jari-jari mengepal, menggenggam biji-biji kacang, tangan kera itu tak bisa keluar dari leher botol yang sempit. Sepanjang hari kera terjebak di situ karena tidak mau melepaskan kacang dari genggamannya. Makin kuat menggenggam, makin sulit dia keluar dari jebakan. Petani tinggal menangkap kera itu dengan mudah. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah." Mengapa orang muda kaya itu sukar masuk ke dalam Kerajaan Sorga? Karena ia terjerat oleh harta kekayaannya yang banyak. Seperti kera yang ngotot memegang kacang di dalam botol, orang muda itu juga ngotot tidak mau melepaskan hartanya demi Kerajaan Sorga. Seandainya kera itu mau melepaskan kacangnya, ia akan selamat dan tetap hidup di alam yang bebas. Tetapi karena tak mau melepaskan kacangnya, dia justru terjerat dan ditangkap. Sama halnya dengan unta dan lubang jarum. Lubang jarum adalah bahasa kiasan dari sebuah pintu sempit yang bentuknya seperti lubang jarum demi keamanan warganya. Pada zaman dulu kota-kota sering diserang musuh atau perampok. Demi keamanan, dibuatlah pintu kecil yang hanya bisa dimasuki oleh seorang manusia atau seekor unta saja. Supaya bisa masuk kota maka beban-beban yang dibawa unta harus diturunkan lebih dahulu. Dia harus melepaskan semua barang-barang bawaanya agar bisa selamat masuk ke dalam kota. Begitu juga kita agar bisa selamat masuk ke dalam Kerajaan Sorga, harus rela melepaskan harta kekayaan dan dosa-dosa yang jadi beban-beban hidup kita di dunia. Maukah kita melepaskan itu demi memperoleh keselamatan dan hidup kekal? Naik onta di gurun Sahara, Jalannya lambat tak berdaya. Kalau kamu ingin bahagia, Berbagilah dengan sesama. Wonogiri, lepaskan beban-bebanmu Rm. A. Joko Purwanto, Pr |
Archives
December 2034
Categories |