Puncta 21 Maret 2025
Jum’at Prapaskah II Matius 21: 33-43.45-46 PENGUASA Kerajaan Hastina yang sah adalah Pandu Dewanata. Ia memiliki 5 anak dari Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Mereka disebut Pandawa. Karena Pandu meninggal saat Pandawa masih kecil, maka Kerajaan dititipkan kepada Destarastra yang buta. Kelak saat Pandawa sudah dewasa, Hastina harus dikembalikan kepada yang berhak. Destarastra memiliki anak berjumlah 100 orang yang disebut Kurawa. Duryudana atau Kurupati disuruh menjadi raja di Hastina untuk sementara didampingi oleh Sengkuni sebagai patihnya. Setelah berkuasa mereka lupa diri. “Melik nggendhong lali.” Ibarat “Wong sing ngemut manising madu njur suthik nglepeh,” Kurawa tidak mau melepaskan kerajaan Hastina kepada Pandawa. Berbagai macam cara licik dan jahat dilakukan untuk melenyapkan Pandawa, pewaris tahta Hastina. Pandawa diracun dan dibakar saat pesta di Bale Sigala-gala. Werkudara disuruh terjun ke samudera mencari Banyu Suci Perwitasari. Sampai permainan dadu yang membuat Pandawa dibuang selama duabelas tahun di hutan. Yesus menggambarkan bahwa Israel adalah kebun anggur Tuhan. Para penggarap adalah penyewa yang harus bertanggungjawab kepada Sang Pemilik. Penyewa yang ingin merampas hak milik lahan garapan adalah pengkhianat. Para nabi diutus untuk menagih tanggungjawab para penggarap. Tetapi mereka ditolak, dicerca, dianiaya dan dibunuh para penggarap. Allah mengutus Anak-Nya, ahli waris yang sesungguhnya. Tetapi Anak-Nya juga dibunuh oleh mereka. Raja-raja Israel yang tidak takut akan Tuhan dan malah mendengar bujukan nabi-nabi palsu hanya memikirkan kepentingannya sendiri, bukan mendengar suara Tuhan. Para dewan perwakilan rakyat dalam kelompok Sanhedrin, kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat sebagai tokoh pemimpin justru ingin menguasai kebun anggur Tuhan. Kaum Farisi dan kelompok imam-imam sadar bahwa merekalah yang dituduh sebagai pengkhianat. Maka mereka membenci Yesus dan mengarah kematian-Nya. Mereka mulai berseberangan dan melawan Yesus. Orang yang sudah duduk dalam nikmatnya kursi kekuasaan sering lupa akan janji dan tanggungjawabnya. Pada saatnya Tuhan akan menagih janji, mempertanggungja-wabkannya. Apakah kita juga sebagai penggarap yang lupa janji-janjinya? Mangan gethuk asale saka tela, Mata ngantuk iku tambane apa ya. Bisaa rumangsa, aja rumangsa bisa, Dadi wong sing ber budi bawa leksana. Wonogiri, belajar sadar diri Rm. A. Joko Purwanto, Pr
1 Comment
Puncta, 20 Maret 2025
Kamis Prapaskah II Lukas 16: 19-31 PERJALANAN hidup kita itu ibarat perang Baratayuda, yakni sebuah perjalanan memperjuangkan baik lawan buruk, benar lawan salah, adil lawan sewenang-wenang dan jalan dharma lawan adharma. Di posisi mana kita berpijak, dari situ kita akan memetik buahnya. Yang baik akan menerima kebaikan. Yang jahat akan mendapat hukuman. Delapan belas hari perang antara Pandawa dan Kurawa telah berjalan. Yang tersisa tinggal Raja Duryudana di pihak Kurawa. Ia tidak mau mengalah, tetap pongah dan sombong dengan megahnya. Dengan angkuh dia berkata, “Kalau saya menang, saya makin jaya. Tetapi kalau saya kalah, Pandawa akan kecewa, terkejut karena kerajaan tinggal puing-puing tak tersisa. Semua sudah hancur lebur. Yang tersisa tinggal anak-anak yatim piatu dan janda-janda.” Ia mengejek Werkudara, “Saya sudah pernah mengalami semua kenikmatan hidup. Makan dengan piring kencana, dilayani dayang-dayang cantik, tidur di atas kasur permadani. Kalian hidup terlunta-lunta sebagai pengemis dan tak ada tempat berteduh serta menderita seumur hidup.” Akhir dari perang adalah yang jahat dikalahkan. Duryudana gugur lebur oleh gada Werkudara. Kebaikan mengalahkan kejahatan. Yesus menggambarkan akhir kehidupan dengan contoh orang kaya yang tak berbelaskasih dengan Lazarus yang miskin dan menderita. Orang kaya itu sering berpesta pora dengan segala kemewahannya. Sedang di dekatnya ada Lazarus yang miskin, lapar dan penyakitan sampai anjing-anjing menjilati boroknya. Namun orang kaya itu tak sedikitpun berbelas kasih pada si miskin. Keduanya mati dan Lazarus berada di pangkuan Abraham. Sedang si Kaya berada dalam siksaan abadi. Dengan kisah ini, Yesus mengingatkan bahwa buah perbuatan kita akan menentukan kehidupan kita. Siapa menanam kebaikan akan memetik buah yang baik. Siapa menabur kejahatan akan memperoleh keburukan. Orang kaya itu anonim, tak bernama. Bisa jadi dia adalah kita yang tidak punya belaskasihan pada orang miskin di sekitar kita. Nasi jagung untuk sarapan, Sambal tomat bikin kelaparan. Mari kita menanam kebaikan, Dengan hati dan belaskasihan. Wonogiri, “Ngundhuh wohing pakarti” Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta, 19 Maret 2025
HR St. Yusup, Suami Perawan Maria Matius 1:16. 18-21.24a atau Lukas 2:41-51a TAHUN 2020 tepat pada Hari Raya Maria dikandung tanpa noda, Paus Fransiskus mengeluarkan surat Apostolik berjudul “Patris Corde” (dengan hati seorang Bapa). Surat apostolik ini menandai dibukanya Tahun St. Yusuf yang berlangsung sampai 8 Desember 2021 yang lalu. Paus Fransiskus ingin menandai peringatan 150 tahun ditetapkannya St. Yusuf sebagai pelindung Gereja Universal oleh Paus Pius IX tahun 1870. Ada beberapa gelar disematkan kepada St.Yusuf; Pelindung Para Pekerja, Penjaga Sang Penebus, Tukang Kayu, Mempelai Sang Perawan. Patris Corde menegaskan sifat-sifat kebapaan Santo Yusuf. Kisahnya tidak kentara di dalam Kitab Suci, tetapi peranannya dalam kehidupan awal Sang Kristus sangat besar. Dialah yang menjadi saksi pertama Allah menjelma menjadi manusia lewat rahim Perawan Maria. Melalui Yusuf, digenapi ramalan para nabi bahwa Mesias akan lahir dari keturunan Daud. Yusuf memiliki garis keturunan Daud yang lahir di Betlehem. Tetapi perjuangan Yusuf juga tidak mudah. Ia harus menerima Maria yang mengandung dari Roh Kudus. Namun dari karakter Yusuf yang luar biasa, ada satu yang paling kuat yaitu ketaatannya pada kehendak Allah. Ia taat tanpa reserve pada perintah Tuhan. Apa pun yang diperintahkan kepadanya langsung dan segera dilaksanakan. Dalam mimpi, dia diperintahkan untuk mengambil Maria sebagai istrinya. Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ketika bayi dan ibunya terancam nyawanya oleh Herodes, Yusuf diperintahkan malaikat untuk mengungsi ke Mesir. Tanpa banyak kata, Yusuf segera melaksanakannya. Ketaatannya sungguh luar biasa. Tidak ada satu kata pun terucap dari mulut Yusuf. Tetapi tindakannya yang segera menunjukkan ketaatan mutlak pada kehendak Tuhan. Marilah kita belajar taat pada Allah seperti Bapa Yusuf ini. Matahari bersinar dari selatan, Dari timur dia sudah mulai bosan. Ketaatan jalan menuju keselamatan, Yusuf menjadi teladan dan pedoman. Wonogiri, belajar taat pada Tuhan Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 18 Maret 2025
Selasa Prapaskah II Matius 23:1-12 BAGI orang-orang tertentu agama memang menjadi ladang subur untuk mencari popularitas dan mengeruk keuntungan pribadi. Agama gampang dijual untuk mendapatkan keuntungan demi mengumpulkan kekayaan. Kesalehan seseorang tidak dinilai dari apa yang melekat pada tubuhnya tetapi pada kelakuan, sikap dan tutur katanya. Siapa pun bisa memakai atribut-aksesoris agama; pakai jubah, jumbai, gambyok, sarung, peci dan lainnya. Tetapi itu hanyalah penampilan luar saja. Yang penting apa tindakan nyata demi kebaikan orang lain? Yesus mengkritik ahli-ahli kitab dan kaum Farisi yang memamerkan sisi luar kesalehan agar dilihat orang. Kata Yesus, “Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang; mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat; mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi.” Kita masih ingat kan, warga netizen pernah memprotes seorang tokoh yang menghina penjual es teh dalam sebuah kegiatan massal. Ada banyak warga yang kritis melihat tingkah laku para tokoh agama. Warga yang jeli, kritis dan peka hatinya dapat melihat bahwa kesalehan atau religiusnya seseorang bukan karena populer, terkenal, sering muncul di medsos, berpakaian agamis. Tetapi yang dinilai adalah sikap, tutur kata dan tindakannya. Yesus mengkritik ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang menjadi pemimpin tetapi tidak menjadi panutan. "Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.” Kita harusnya bertanya, apa tindakan nyata tokoh agama kalau ada kemiskinan, toleransi yang tercabik-cabik, korupsi dan ketidak-adilan merajalela, kesenjangan ekonomi makin terasa. Apa artinya kesalehan pribadi kalau banyak orang menderita di sekitar kita? Gajah diblangkoni Bisa kotbah ora bisa nglakoni. Tuku layah neng Wonogiri Bisa kojah ora bisa nindaki. Wonogiri, tidak usah pamer kesalehan Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 17 Maret 2025
Senin Prapaskah II Lukas 6: 36-38 PUNTADEWA adalah raja Amarta. Dia adalah kakak pertama dari para Pandawa. Puntadewa adalah titisan Batara Dharma, dewanya kebajikan. Dia dikisahkan mempunyai darah putih. Artinya segala tindakannya hanya didasarkan pada kebaikan semata. Sejak muda dia adalah pribadi yang berhati mulia. Mengasihi siapa pun tanpa membeda-bedakan. Hatinya jujur tidak berpura-pura. Yang benar dikatakan benar. Yang salah dikatakan salah tanpa dikurangi atau ditambah. Dia menerima kekalahan saat bermain dadu dengan para Kurawa. Dia tidak sakit hati ketika tahta dan kuasa diambil Kurawa. Dia menerima dengan legawa saat dibuang di tengah hutan selama duabelas tahun. Ketika perang Baratayuda, Puntadewa tidak mau maju sebagai panglima. Baginya perang hanya membawa kehancuran di kedua belah pihak. Ia lebih suka hidup dalam damai kendati harus mengalah. Oleh Kresna, dia dinilai sebagai pribadi yang selalu berbuat dharma. Yang baik diberi kebaikan. Yang jahat pun tetap diberi kebaikan yang sama. Hanya karena perintah Dewa Wisnu, Puntadewa harus maju perang mengalahkan Prabu Salya dengan senjata Jimat Kalimasada (Kalimat Syahadat atau Credo). Yesus mengajarkan kepada para murid agar meniru Allah Bapa yang murah hati. Ia berkata, “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati. Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni.” Murah hati tidak hanya soal materi. Murah hati adalah sikap batin yang mau mengasihi dan mengampuni, suka memberi tanpa mengharapkan balasan. Semakin banyak memberi, kita juga akan makin banyak menerima berkah dari Tuhan. Hujan rintik-rintik belum juga reda, Mendung gelap masih ada di atas mega. Marilah kita seperti Bapa di surga, Murah hati suka memberi dengan cinta. Wonogiri, marilah kita bermurah hati Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 16 Maret 2025
Minggu Prapaskah II Lukas 9: 28b-36 KITA sering mendengar pepatah berkata, “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu. Bersenang-senang kemudian.” Pepatah ini mengajak kita untuk mau bekerja keras, bersakit-sakit bahkan sampai berdarah-darah dahulu. Baru sesudah itu kita akan memetik hasilnya dan bisa bersenang-senang kemudian. Hasil tidak akan mengkhianati segala jerih payah kita. Kesuksesan dan kebahagiaan akan mengiringi kerja keras setiap usaha yang kita jalankan dengan tekun dan giat. Kita tidak boleh terlena oleh kepuasan atau kesenangan. Fokus pada tugas dan tanggungjawab, pasti nanti akan ada buahnya. Yesus mengajak tiga murid inti yakni, Petrus, Yakobus dan Yohanes untuk naik ke gunung. Mungkin mereka ingin sedikit refreshing dari padatnya pelayanan. Kadang kita juga perlu “healing” agar memperoleh kesegaran dalam rutinitas tugas. Di atas gunung itu Yesus menampakkan kemuliaan-Nya. Ketika berdoa, Ia berubah rupa dan pakaian-Nya berkilau-kilauan bercahaya dalam kemegahan. Ia sedang berbicara dengan Musa dan Elia. Mereka adalah dua nabi besar di Israel. Kebahagiaan tiada tara dialami para murid saat Yesus dimuliakan. Mereka ingin tetap tinggal di sana dengan mendirikan kemah. Kemuliaan surgawi itu sungguh mempesonakan mereka. Namun mereka tidak boleh terbuai oleh pesona surgawi itu. Yesus mengajak mereka turun kembali ke dunia nyata. Karena tugas perutusan-Nya belum selesai. Musa, Elia dan Yesus membicarakan tujuan kepergian-Nya yang akan digenapi di Yerusalem. Itu berarti tugas perutusan harus diselesaikan dengan perjuangan memanggul salib. Di Yerusalem Yesus menggenapi tugas kenabian-Nya dengan pengorbanan di kayu salib. Para murid diajak untuk ikut serta dalam penggenapan karya-Nya. Kebangkitan hanya terjadi setelah penyaliban. Kebahagiaan akan tiba setelah pengorbanan. Kita bisa bersenang-senang setelah bersakit-sakit dahulu. Kesuksesan hanya bisa tercapai jika kita mau bekerja dengan keras. Dengan pengalaman transfigurasi, Tuhan memberi janji atas perjuangan yang tiada henti. Ada kemuliaan dibalik pengorbanan. Ada kebangkitan dibalik salib. Mari kita jalani hidup bersama Yesus. Naik-naik ke puncak gunung, Tinggi-tinggi sekali. Jangan kita ragu dan bingung, Mari kerja sekuat hati. Wonogiri, setia memanggul salib Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 14 Maret 2025
Jum’at Prapaskah I Matius 5: 20-26 PADA zaman Yesus penghuni surga dipegang oleh kaum Farisi dan ahli-ahli kitab. Dengan cara hidup mereka, para Farisi merasa mendapat jaminan masuk surga. Mereka merasa diri sebagai penghuni tetap kerajaan surga. Orang lain yang tidak sepaham dianggap tidak punya peluang masuk surga. Mereka menilai diri sebagai rohaniwan terbaik dan terkemuka pada era itu. Ketekunan mereka memegang tradisi agama dan kesalehan ibadahnya adalah gold standard hidup keagamaan orang Israel. Tetapi Yesus menjungkir-balikkan penilaian hitam putih itu. Yesus tidak mau kita hidup dengan polesan kosmetik keagamaan yang semu. Luarnya kelihatan baik tetapi dalamnya bobrok seperti kuburan. Maka Yesus menegaskan, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.” Yesus memberikan tuntutan yang lebih berat dan tegas dalam menjalani praktek hidup keagamaan. Bukan hanya soal membunuh, tetapi Yesus mempertegas dengan berkata, “Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.” Sekarang ini hampir tidak ada hari tanpa kemarahan dimana pun. Kita bisa menemui orang marah-marah dimana-mana; di jalan, di kantor, di rumah, bahkan di gereja. Kemarahan juga meledak dan tertumpah di media sosial. Sumpah serapah dan hojatan-hojatan berseliweran di medsos. Kemarahan dan hojatan sama beratnya dengan pembunuhan. Hojatan-hojatan bisa membunuh karakter seseorang. Itu akan lebih kejam karena orangnya masih hidup tetapi karakternya dijelek-jelekkan dan direndahkan. Apakah kita sudah sempurna, baik dan tak bercacat sehingga kita membunuh karakter orang dengan mengumbar kemarahan di mana-mana? Anda tidak membunuh orang, tetapi kemarahan anda bisa membunuh karakternya. Hati-hatilah! Jalan di pinggir waduk Wonogiri, Melihat ikan-ikan ke sana kemari. Jangan meniru orang-orang Farisi, Merasa paling bersih dan paling suci. Wonogiri, jangan suka mengumbar kemarahan Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 13 Maret 2025
Kamis Prapaskah I Matius 7:7-12 “SEGALA sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka,” demikian Yesus mengajarkan kepada orang banyak di dalam kotbah-Nya diatas bukit. Mari kita belajar dari kisah Sengkuni dalam epic Mahabarata. Sengkuni adalah adik Gendari yang dinikahkan oleh Bisma dengan Destarastra yang buta. Ini dianggap sebagai penghinaan terhadap kakak perempuannya. Maka ia sangat benci kepada Bisma dan seluruh keturunannya. Ia ditunjuk sebagai penasehat Destarastra dan para Kurawa di Kerajaan Astina. Dengan licik dia selalu mengadu domba keturunan Bisma yakni Pandawa dan Kurawa. Dia selalu membuat cara bagaimana mereka saling bermusuhan dan saling membunuh. Ia membujuk Duryudana untuk meracuni Pandawa. Ia menyuruh Puruchana membakar balai “Sigala-gala” tempat Pandawa berpesta. Ia membujuk Pandawa bermain dadu. Saat mabuk kemenangan, dia mempermalukan Drupadi di depan umum dengan mengurai kain penutup tubuhnya. Drupadi ditelanjangi. Bima bersumpah akan membalas penghinaan ini dalam perang Baratayuda. Sengkuni mati dikuliti oleh Bima. Hukum tebar tuai berlaku. “Wong nandur bakal ngundhuh, wong utang kudu nyaur, wong nyilih kudu mbalekake.” (Orang menanam akan menuai, orang berhutang harus melunaskan. Orang pinjam harus mengembalikan) Yesus bersabda, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Yesus merumuskan hukum tebar tuai itu dengan kalimat positif aktif. Perintah lain berbunyi, “Jika kamu tidak ingin disakiti, janganlah menyakiti. Jika kamu tidak ingin direndahkan, janganlah merendahkan sesamamu.” Dunia ini berputar dengan hukum-hukumnya. Maka berhati-hatilah dengan segala perbuatan kita. Pada saatnya kita akan memetik buahnya. Sungguh indah pesona Pantai Drini, Ombak besar, pantai bersih langitnya biru. Jika tak mau disakiti, jangan menyakiti. Jika ingin dicintai, maka cintailah sesamamu. Wonogiri, taburkan kebaikan Rm. A. Joko Purwanto, Pr Puncta 12 Maret 2025
Rabu Prapaskah I Lukas 11: 29-32 “MANA buktinya kalau kamu mencintaiku?” tanya sang pacar menuntut kekasihnya membuktikan cintanya. Lelaki itu hanya memeluknya, memberi kehangatan dan menenangkan hati pacarnya. Kemarahan seringkali menutupi mata hati sehingga ia tidak bisa melihat tanda-tanda kasih yang dilakukan pacarnya. Lelaki itu dengan setia mengantar ke kantor. Ia juga dengan tepat waktu menjemputnya. Ia menemani di saat-saat sulit. Ia mendengarkan keluh kesah di saat-saat berat. Ia menghibur di saat-saat kesedihan dan kesepian menghantui. Namun hal-hal kecil itu tidak dilihat sebagai tanda kasih kepadanya. Ketika kekasihnya mati, wanita itu baru menyesal seumur hidup karena belum pernah bisa membalas pengorbanannya, sebab dia selalu menuntut, menuntut dan menuntut bukti atau tanda-tanda. Orang lain akan menyalahkan, mengapa ia menyia-nyiakan pengorbanan kekasihnya. Ketika orang banyak mengerumuni-Nya, berkatalah Yesus: "Angkatan ini adalah angkatan yang jahat. Mereka menghendaki suatu tanda, tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus.” Mereka tidak mampu melihat apa yang dilakukan Yesus adalah tanda. Yesus menyembuhkan orang sakit. Ia memberi makan 5000 orang. Ia membangkitkan anak Yairus dan Lazarus yang mati. Yesus lebih berkuasa dari Yunus atau Salomo. Tetapi orang-orang itu tidak mau percaya. Maka Ratu Syeba dari selatan akan datang mengadili mereka karena ratu itu bisa melihat tanda bahwa Yesus adalah Mesias dan dia percaya. Apakah kita sering juga menuntut tanda agar Tuhan menunjukkan kuasa-Nya? Kita bisa bernafas, bisa melihat indahnya dunia, bisa makan dengan enak, bisa tertawa dengan teman-teman, bisa bangun dengan sehat. Semua itu adalah tanda Allah mengasihi kita. Mau tanda apa lagi yang kita butuhkan? Kalau kita piknik ke pantai Ngobaran, Jangan lupa beli ikan segar di Ngrenehan. Kita hidup adalah tanda kasih Tuhan, Mari kita syukuri dengan kebahagiaan. Wonogiri, indahnya kasih Tuhan Rm. A.Joko Purwanto, Pr Puncta 11 Maret 2025
Selasa Prapaskah I Matius 6: 7-15 PHILIP YANCEY menulis buku berjudul The Prayer. Diterjemahkan, Doa Mengubah Segalanya. Dia mengatakan bahwa orang-orang ateis pun berdoa. Partai Komunis yang berkuasa di Rusia waktu itu memasang tulisan di bawah potret pemimpin besar mereka, Joseph Stalin. "Jika kamu menghadapi kesukaran dalam pekerjaanmu, atau mendadak ragu pada kemampuanmu, ingatlah akan Stalin-maka kepercayaan dirimu akan pulih. Jika kamu menjadi kelelahan yang tidak pada tempatnya, ingatlah akan Stalin-maka pekerjaanmu akan tetap lancar. Jika kamu perlu mengambil keputusan yang benar, ingatlah Stalin-dan kamu akan berhasil." Ada dua kelompok pendoa yang disebut Yesus dalam perikope hari ini. Yang pertama adalah kaum munafik. "Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang.” Kelompok ini suka memamerkan diri dalam hal berdoa. Mereka berdoa di rumah-rumah ibadat dan di tikungan-tikungan jalan raya supaya dilihat orang. Yesus meminta kepada murid-murid-Nya untuk tidak meniru mereka. Kelompok kedua adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah. “Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya,” kata Yesus. Ini yang terjadi dengan kaum ateis di Rusia. Partai Komunis menggunakan doa sebagai alat untuk mendewakan tokoh mereka. Doa bukan ditujukan untuk memuliakan Tuhan tetapi untuk memuja tokoh partai. Doa menjadi alat indoktrinasi. Yesus mengajarkan doa Bapa Kami yang singkat dan padat untuk memuliakan Allah sebagai Bapa. Doa juga ditujukan untuk membangun relasi yang baik dengan sesama melalui semangat pengampunan sebagaimana Allah mengampuni kita. Apakah kita sudah berdoa dengan benar di hadapan Allah? Ubur-ubur ikan lele. Kalau berdoa jangan bertele-tele. Wonogiri, berdoalah Bapa Kami Rm. A. Joko Purwanto, Pr |
Archives
December 2034
Categories |